Negara, berdasarkan Pasal 32 ayat 2 UUD 1945, menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional. Siapakah yang termasuk dalam puak "negara" itu? Bukan Presiden saja. Gubernur, Bupati, dan Walikota juga termasuk. Warga negara, semisal Kang Doel, sudah berikhtiar, negara mesti hadir mengobarkan dan menggelorakan ikhtiar itu.
Ikhtiar pengembangan, pembinaan, dan pelindungan itu harus dilakukan secara bertahap, sistematis, dan berkelanjutan. Begitu amanat Pasal 42 dalam UU No. 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan.
Bagaimana caranya? Bolehlah seminar-seminar, lokakarya-lokarya, atau hal-hal yang serumpun dengan itu terus diselenggarakan, tetapi jangan lupakan selera kaum milenial. Sentuh kawasan gaul generasi kiwari. Lahirkan Kang Doel-Kang Doel baru, sekalipun bukan Doel yang "sumbang".
Audisi band Sunda, misalnya. Boleh juga Sunda Idol---kalau mau agak keminggris. Asalkan dikemas dengan citarasa milenial, gaul, dan kekinian. Siapa saja boleh ikut, selama sesuai dengan batasan usia tertentu.
Kalau ada yang mau bereksperimen menyanyikan lagu Sunda dengan langgam jazz, rap, atau seriosa, biarkan saja. Apabila ada yang menggunakan harfa, gitar, atau kecapi, biarkan saja. Pokoknya, bebaskan anak-anak muda untuk berekspresi.
Masalahnya, negara mesti berani atau bernyali!
Ulah Eundeug-eundeugan, Kang Doel
Tidak. Saya tidak mengatakan bahwa apa yang telah negara lakukan selama ini berakhir sia-sia. Saya hanya menyatakan bahwa perlu ada gebrakan atau terobosan baru. Saya hanya menyodorkan sisi pandang berbeda, bahwa target kegiatan pelestarian bahasa perlu juga diarahkan kepada generasi kiwari.
Festival band atau tarik suara sekadar contoh belaka. Kalau perlu, gelar pula Festival Ngadangding atau Karnaval Ngabodor. Libatkan anak-anak yang ramah dengan dunia digital, yang intim dengan media sosial, yang ingin menunjukkan bahwa mereka juga layak dilirik dan diwawas.
Jika lagu-lagu Sunda merambat dan menjalar di nadi generasi kiwari, saya yakin mereka juga akan tergerak untuk merawat budaya dan tradisi Sunda lainnya. Inilah yang disebut Ajian Ketok Tular. Ajian yang meniscayakan sesuatu diketok dulu baru menular dengan sendirinya.
Ketika itu tercapai, Doel Sumbang tidak akan eundeug-eundeugan atau oyag-oyagan gara-gara mencemaskan kelestarian bahasa Sunda. Begitu pula Teh Nining Meida. Bahkan arwah Kang Darso, Kang Nano, Kang Ibing, atau Kang Ujang akan tersenyum di alam sana.
Pada akhirnya, orang Sunda tidak boleh berleha-leha hanya lantaran bahasanya termasuk dalam 12 bahasa daerah yang berstatus aman bersama bahasa Aceh, Bali, Bugis, Jawa, Makassar, Muna, dan Sentani. Sampai kapan bahasa Sunda berstatus aman?