Mohon tunggu...
Amel Widya
Amel Widya Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - PPNASN

Perempuan Berdarah Sunda Bermata Sendu. IG: @amelwidyaa Label Kompasiana: #berandaberahi

Selanjutnya

Tutup

Financial

Dari Wakaf Tanah Menuju Wakaf Tunai

14 Januari 2019   22:48 Diperbarui: 14 Januari 2019   23:01 490
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumentasi Pribadi

Saya pernah membaca kisah seorang kakek yang menanam pohon mangga di halaman rumahnya. Beliau tidak peduli sekalipun kelak tidak merasakan buah dari pohon yang beliau tanam.

Seseorang bertanya kepada beliau, "Buat apa Kakek menanam pohon yang belum tentu Kakek nikmati buahnya?" 

Beliau menjawab, "Saya menanam pohon
untuk anak dan cucu atau orang-orang setelah saya."

Saya juga pernah mendengar kisah seorang kakek yang menolak ganti rugi ketika tanahnya terkena perluasan jalan. Ketika seseorang bertanya, beliau menjawab, "Tanah yang saya wakafkan itu kelak akan menjadi sungai tempat pahala mengalir. Dari sungai itulah saya dan anak-cucu saya mereguk pahala hingga akhir zaman."

Kisah dua kakek di atas sering terjadi di sekitar kita. Di luar sana, selalu ada orang baik yang tulus berbagi demi kebaikan bersama--baik bagi si penerima maupun bagi si pemberi manfaat. Pada sisi lain, kebajikan kedua kakek tersebut sejatinya adalah esensi perangai "berbagi tanpa pamrih"--yang tiada terkikis kendatipun zaman dan peradaban terus berkembang.

Dari kedua kisah itu kita dapat merenungi hakikat wakaf dalam pemaknaan paling
sederhana. Bisa menanam pohon, laksana kakek pertama yang berwakaf lewat tanaman. Bisa merelakan tanah, seperti kakek kedua yang berwakaf lewat tanahnya. 

Apakah kita yang tidak punya kebun untuk menanam "pohon kebaikan" atau tidak punya tanah untuk mengalirkan "sungai kebajikan" bisa berwakaf kepada sesama?

Supaya enteng, mari kita tilik dulu makna "wakaf" secara sederhana. Sejatinya, wakaf merupakan "perbuatan tulus menyerahkan harta yang kita miliki demi kebaikan orang banyak". Artinya, wakaf masih sekerabat atau sekeluarga dengan zakat, infak, dan sedekah. Persis seperti berzakat, berinfak, dan bersedekah, berwakaf juga harus lahir dari rahim ketulusan dan kerelaan.

Wakaf di Zaman Digital

Sekarang kita sudah memasuki era kecerdasan buatan. Segala hal perlahan-lahan beralih dari pola konvensional ke corak digital. Belanja misalnya, kini tidak hanya di pasar atau mal. Tinggal mengunduh aplikasi niaga daring (e-commerce) di gawai, selanjutnya kita
bisa berbelanja di rumah. 

Dunia sumbang-menyumbang juga memasuki zaman digital. Teknologi finansial berkembang sedemikian pesat sehingga kini kita bisa menyalurkan zakat/wakaf secara digital.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun