Mohon tunggu...
Amel Widya
Amel Widya Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - PPNASN

Perempuan Berdarah Sunda Bermata Sendu. IG: @amelwidyaa Label Kompasiana: #berandaberahi

Selanjutnya

Tutup

Music Pilihan

Marzukiana di Kepala Ananda Sukarlan

26 Desember 2018   23:22 Diperbarui: 27 Desember 2018   13:42 1195
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya suka musik. Tidak peduli genre atau aliran, selama mengena di hati atau membuai rasa, saya akan menyukainya. Tidak peduli musik klasik atau dangdut asalkan kaki bergerak ritmik dan kepala menganggut-anggut, itu pertanda saya suka. 

Meskipun lahir sebagai angkatan milenial, musik yang saya sukai acapkali lebih tua dibanding usia orangtua saya. Beberapa saat sebelum turun dari pesawat, misalnya, bulu roma saya sering mendadak merinding tatkala mendengar syair Tanah Airku, gubahan Ibu Sud, mengalun pelan dan syahdu. 

Uniknya, selera kekinian saya tetap ada unsur klasiknya. Ketika luluran sebelum mandi, misalnya, saya senang mengayun-ayun perasaan dengan mendengarkan suara Omara Portuondo.

Seperti angkatan milenial pada umumnya, benak saya juga dipenuhi rasa penasaran atau rasa ingin tahu yang sangat tinggi. Sering kali saya kepo demi memuaskan rasa ingin tahu itu. Itulah yang saya alami ketika menyaksikan seorang pianis andal beraksi di panggung.

Ananda Sukarlan. Komposer kelahiran Jakarta yang lama melanglang di Eropa itu tengah menarikan jemari di atas tuts-tuts piano, memindahkan kata ke sendu nada, mengalihkan aksara ke indah komposisi, dan puisi panjang La Ronde karya Sitor Situmorang memanjakan telinga saya.

Tidak hanya itu. Saya semakin takjub karena Ananda mengajak angkatan milenial untuk tampil sepanggung dengannya. Nikodemus Lukas, penyanyi muda bersuara emas dari Surabaya, berhasil membetot perhatian saya sewaktu melantunkan Surat Kertas Hijau.

Rasa penasaran saya menjadi-jadi. Serta-merta saya mengulik gawai untuk mencari tahu siapa sih Ananda Sukarlan yang malam itu, Kamis (19/3/2015), pada pembukaan Asean Literary Festival di Teater Kecil Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta, telah mengobok-obok hati saya. 

Hasil tamasya di internet membuat saya terperanjat. Ternyata saya sedang menyaksikan salah satu dari 2000 musisi yang dipilih oleh International Biographical Center of Cambridge dalam buku International Who's Who in Music.

Sehabis pembukaan, saya sempat berbincang amat dekat dengan Mas Ananda. Matanya berkilat-kilat penuh semangat ketika berkata, "Saya selalu berhasrat memaknai puisi dengan mengalihkannya dari gelora kata ke dalam nada." 

Saya terharu mendengarnya. Pada obrolan singkat di depan pintu masuk Teater Kecil bersama lelaki yang malam itu "saya temani ke TIM karena ikut tampil membacakan puisi karya Sitor Situmorang", rasa kagum kepada pianis itu menyelimuti hati saya.

Sepulang dari Taman Ismail Marzuki, lelaki yang saya temani itu bercerita banyak tentang Mas Ananda. Dari situ saya tahu bahwa Mas Ananda memang gemar menadakan puisi. Beberapa karya pujangga Indonesia telah digubah oleh beliau menjadi komposisi musik seperti karya Adimas Immanuel, M. Aan Mansyur, Hasan Aspahani, dan puisi karya "lelaki yang saya temani itu".

Dua tahun kemudian, semesta kembali mempertemukan saya dengan Mas Ananda. Kali ini di kota kelahiran "lelaki yang saya temani itu", Makassar, ketika gerimis sedang menyapu debu di Jalan Onta Lama. Tentu saja hati saya sangat senang. Bukan semata-mata karena akan menyaksikan dari dekat aksi Mas Ananda, tetapi sekaligus dapat mengetahui proses kreatif beliau.

Lebih menyenangkan lagi, kami--bertiga di sebuah ruangan di Grazioso Music School Makassar--bercakap-cakap hingga acara Singing Your Poetry dimulai. Diskusi itu termasuk rangkaian kegiatan pada MIWF 2017. Mas Ananda menjadi pembicara bersama Pak Sapardi Djoko Damono, sementara "lelaki yang saya temani" bertindak selaku pemandu diskusi.

Lagi-lagi saya terpana menyaksikan tarian jemari Mas Ananda di atas tuts piano. Komposer yang pernah mengalihwahanakan puisi karya pujangga dunia, seperti dalam film Dead Poet Society itu berbagi ilmu tentang bagaimana ia memindahkan kata ke bunyi. Reputasinya selaku komposer memang tidak perlu diragukan. Bukan semata-mata di kancah musik klasik tanah air, melainkan sekaligus di kancah internasional.

Kiprahnya pun tidak tanggung-tanggung. Musisi yang merantau ke Eropa ketika usianya baru 17 tahun itu aktif menularkan gairah bermusik kepada angkatan milenial melalui Ananda Sukarlan Award. Aktivitas itu sudah berlangsung sejak 2008 hingga sekarang.

"Saya ingin generasi milenial lebih gigih mencintai dan menekuni musik klasik," kata Mas Ananda ketika saya wawancarai lewat WA. "Saya juga ingin musik-musik klasik Indonesia kian mendunia. Itu sebabnya saya gubah Rapsodia Nusantara. Pada Konser Tahun Baru  nanti, 13 Januari 2019, akan saya sajikan karya-karya Ismail Marzuki ke hadapan pencinta musik di Indonesia."

Tuhan memang mahir menyuguhkan kejutan. Kali pertama bertemu Mas Ananda di Taman Ismail Marzuki, lalu sekarang mendengar beliau akan mempersembahkan "ramuan ulang" karya-karya Ismail Marzuki--salah seorang musisi Indonesia yang digelari Pahlawan Nasional oleh Pemerintah RI pada 2014.

Apakah Mas Ananda akan tampil tunggal di panggung Jakarta New Year's Concert 2019 nanti? Tidak. Kali ini beliau akan menampilkan sebuah orkestra. Ananda Sukarlan Orchestra. Bukan itu saja. Lagi-lagi Mas Ananda menggandeng musisi-musisi muda yang namanya sudah mendunia. Tidak heran jika konser yang dihelat bareng Lumina Kaya Indonesia atau Kaya.Id itu mengambil tajuk Millenial Marzukiana.

Sumber: bloganandasukarlan.com
Sumber: bloganandasukarlan.com
"Musik karya Ismail Marzuki merupakan kekayaan intelektual budaya Indonesia yang harus kita tunjukkan ke dunia internasional," tutur Nita Kartikasari, CEO Lumina Kaya Indonesia, pada konferensi pers di Ciputra Artpreneur, Jakarta, Selasa (18/12/2018), seperti saya kutip dari siaran persnya.

Sebenarnya, bukan kali ini saja Mas Ananda menggelar Konser Tahun Baru . Acara serupa sudah berlangsung sejak 2006. Hanya saja, dalam Jakarta New Year's Concert 2019, Mas Ananda akan menyajikan orkestra spesial bersama angkatan milenial.

Beliau akan tampil bersama lima musisi terbaik Indonesia kelahiran 1990-an. Jessica Sudarta memetik harpa, Finna Kurniawati menggesek biola, Anthony Hartono mendentingkan piano, serta Sang Solois Mariska Setiawan dan Sang Tenor  Aryo Widhawan.

Itulah alasan mengapa Konser Tahun Baru itu dinamai "Millenial Marzukiana". Hajat mengangkat karya klasik Ismail Marzuki, ditampilkan oleh angkatan milenial, disuguhkan lewat sajian orkestra, dan dipersembahkan kepada masyarakat Indonesia.

Konser tersebut akan dilaksanakan pada Minggu, 13 Januari 2019, di Ciputra Artpreneur Theatre, Jakarta. Tiketnya sudah bisa dipesan melalui Loket.com atau Kaya.ID (melalui nomor kontak +62811-100-2280). Harganya variatif dari Rp500.000 hingga Rp3.000.000 untuk empat kategori. Khusus pembelian tiket hingga 31 Desember 2018 akan mendapat diskon spesial sebesar 25% dari harga tiket.

Rasa penasaran menggedor-gedor batin saya. Geletar seperti apa yang akan kita rasakan ketika karya Ismail Marzuki, yang kita kenal dengan gelar Bing Crosby dari Kwitang, andaikan kita hadir di depan panggung ketika Mas Ananda dan pemusik milenial beraksi di panggung konser? 

Saya tidak dapat membayangkannya. Bagaimanapun, hanya rasa ingin tahu yang berkecamuk di benak saya.

Semenggetarkan apakah musik klasik ketika dinikmati dalam "citarasa milenial"? Saya tidak dapat menggambarkannya. Tidak bisa saya mungkiri ada getar-getar penasaran yang mengaduk-aduk batin saya. Tentu karena Konser Tahun Baru itu juga dilaksanakan pada waktu yang tidak biasa. Minggu sore, pukul 16.00 WIB, bukan malam seperti lazimnya sebuah konser. Kemasan yang unik sekaligus ajaib: sebab konser ini memang disajikan sebagai tontonan keluarga.

Satu-satunya perkara yang tidak memicu pertanyaan di benak saya adalah harga tiket. Mungkin ada beberapa orang yang bertanya-tanya mengapa harga tiketnya sedemikian mahal. Bagi saya, jawabannya sederhana. Sebuah karya yang diracik sepenuh hati, yang diramu setulus cinta, dan ditampilkan segenap kasih, selayaknya memang "dihargai" bukan dengan nilai receh. Selain itu, sudah bukan rahasia lagi bahwa orang Indonesia punya pendapat ajaib: makin mahal makin berkelas.

Hari ini, tepat ketika saya merayakan hari kelahiran yang ke-26, setelah beberapa jam berselancar di blog beliau (bloganandasukarlan.com), saya persembahkan hormat dan kagum saya kepada Mas Ananda lewat tulisan ini. 

Saya selalu terbayang kata-kata yang meluncur dari bibir beliau, "Indonesia negara kaya. Kita tanam kopi, kita petik buahnya, lalu biji mentahnya kita ekspor ke luar negeri. Tidak lama kemudian, kita beli kembali kopi 'dalam bentuk jadi' dari luar negeri dengan harga selangit."

Kata-kata itu juga berlaku pada kerja-kerja kreatif, termasuk karya seni. Semoga mimpi Mas Ananda untuk menyajikan komposisi musik "sebagai bahan jadi" yang, dengan demikian, dapat dipentaskan oleh siapa saja, kapan saja, dan di mana saja di atas muka bumi segera terwujud.

Semoga pula harapan Mas Ananda untuk melihat Jakarta seperti Salzburg, kota kelahiran Wolfgang Amadeus Mozart di Austria, menjadi kenyataan. Salzburg punya Mozart, Jakarta punya Ismail Marzuki. 

Bisakah itu terjadi? Bisa saja. Seperti pertemuan saya dengan Mas Ananda, semua bermula dari Taman Ismail Marzuki. Terus berkarya, Mas Ananda.

Amel Widya

Catatan: Lebih jauh tentang kiprah dan sosok Ananda Sukarlan dapat ditemui di bloganandasukarlan.com

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Music Selengkapnya
Lihat Music Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun