Konser tersebut akan dilaksanakan pada Minggu, 13 Januari 2019, di Ciputra Artpreneur Theatre, Jakarta. Tiketnya sudah bisa dipesan melalui Loket.com atau Kaya.ID (melalui nomor kontak +62811-100-2280). Harganya variatif dari Rp500.000 hingga Rp3.000.000 untuk empat kategori. Khusus pembelian tiket hingga 31 Desember 2018 akan mendapat diskon spesial sebesar 25% dari harga tiket.
Rasa penasaran menggedor-gedor batin saya. Geletar seperti apa yang akan kita rasakan ketika karya Ismail Marzuki, yang kita kenal dengan gelar Bing Crosby dari Kwitang, andaikan kita hadir di depan panggung ketika Mas Ananda dan pemusik milenial beraksi di panggung konser?Â
Saya tidak dapat membayangkannya. Bagaimanapun, hanya rasa ingin tahu yang berkecamuk di benak saya.
Semenggetarkan apakah musik klasik ketika dinikmati dalam "citarasa milenial"? Saya tidak dapat menggambarkannya. Tidak bisa saya mungkiri ada getar-getar penasaran yang mengaduk-aduk batin saya. Tentu karena Konser Tahun Baru itu juga dilaksanakan pada waktu yang tidak biasa. Minggu sore, pukul 16.00 WIB, bukan malam seperti lazimnya sebuah konser. Kemasan yang unik sekaligus ajaib: sebab konser ini memang disajikan sebagai tontonan keluarga.
Satu-satunya perkara yang tidak memicu pertanyaan di benak saya adalah harga tiket. Mungkin ada beberapa orang yang bertanya-tanya mengapa harga tiketnya sedemikian mahal. Bagi saya, jawabannya sederhana. Sebuah karya yang diracik sepenuh hati, yang diramu setulus cinta, dan ditampilkan segenap kasih, selayaknya memang "dihargai" bukan dengan nilai receh. Selain itu, sudah bukan rahasia lagi bahwa orang Indonesia punya pendapat ajaib: makin mahal makin berkelas.
Hari ini, tepat ketika saya merayakan hari kelahiran yang ke-26, setelah beberapa jam berselancar di blog beliau (bloganandasukarlan.com), saya persembahkan hormat dan kagum saya kepada Mas Ananda lewat tulisan ini.Â
Saya selalu terbayang kata-kata yang meluncur dari bibir beliau, "Indonesia negara kaya. Kita tanam kopi, kita petik buahnya, lalu biji mentahnya kita ekspor ke luar negeri. Tidak lama kemudian, kita beli kembali kopi 'dalam bentuk jadi' dari luar negeri dengan harga selangit."
Kata-kata itu juga berlaku pada kerja-kerja kreatif, termasuk karya seni. Semoga mimpi Mas Ananda untuk menyajikan komposisi musik "sebagai bahan jadi" yang, dengan demikian, dapat dipentaskan oleh siapa saja, kapan saja, dan di mana saja di atas muka bumi segera terwujud.
Semoga pula harapan Mas Ananda untuk melihat Jakarta seperti Salzburg, kota kelahiran Wolfgang Amadeus Mozart di Austria, menjadi kenyataan. Salzburg punya Mozart, Jakarta punya Ismail Marzuki.Â
Bisakah itu terjadi? Bisa saja. Seperti pertemuan saya dengan Mas Ananda, semua bermula dari Taman Ismail Marzuki. Terus berkarya, Mas Ananda.
Amel Widya