Mohon tunggu...
Amel Widya
Amel Widya Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - PPNASN

Perempuan Berdarah Sunda Bermata Sendu. IG: @amelwidyaa Label Kompasiana: #berandaberahi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Anatomi Berahi di Hari Puisi

18 November 2018   11:02 Diperbarui: 18 November 2018   22:50 1137
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hadiah buku dan tanda tangan | Dokpri

Cuma saya yang membaca puisi di depan penonton dan ke atas panggung hanya untuk menjura dan menyapa penyaksi. Bagi saya semua arena pertunjukan adalah panggung, malah penonton adalah bagian dari pembacaan puisi.

Selagi asyik menikmati sajian puisi, seorang penyair mendekati saya dan menyodorkan sebuah buku. Yose S Beal namanya. Beliau berasal dari Malang. Pada buku hadiahnya ia sertakan tanda tangan dan petikan akhir puisi saya.

Hadiah buku dan tanda tangan | Dokpri
Hadiah buku dan tanda tangan | Dokpri
Tiga orang mahasiswa Universitas Mercu Buana mendekati dan menyalami saya. Mereka ingin mewawancarai pendapat saya tentang peringatan Hari Puisi Indonesia dan perasaan saya melihat puisi dirayakan sedemikian rupa oleh ratusan penyair.

Saya menjawab sesuai alir pikiran saja. Panitia, Yayasan Hari Puisi Indonesia, harus diacungi jempol untuk acara seperti ini. Apalagi tahun ini memasuki tahun keenam acara seperti ini digelar. Tentu menggembirakan karena ada konsistensi. Kehadiran puisi juga dinikmati oleh anak-anak milenial. Siswa SMA terlihat antusias menikmati suguhan.

Para penyair bergiliran mengisi panggung hingga matahari senja menghilang di balik gedung-gedung pencakar langit di depan TIM. Sebagian pengisi panggung pada hari pertama tidak muncul karena mereka meminta digeser ke hari kedua. Maklum, beberapa penyair dari daerah baru tiba di Jakarta pada Sabtu siang atau sore. Mereka tentu masih letih.

Saya dan teman-teman bergeser ke sebuah kedai kopi, mengobrol kian kemari, membahas acara yang riuh dan gegap gempita. Adhi Nugroho terpana. Ia baru saja menyaksikan sebuah dunia yang jauh dari kesehariannya. Meskipun rajin menulis, selama ini dunia Mas Adhi adalah hiruk-pikuk perbankan. Baru kali ini ia saksikan puisi dibacakan oleh banyak orang.

Mas Adhi pamit pulang. Magrib berlalu. Saya, Iqbal, dan Khrisna berpindah ke pelataran TIM. 

Sajian makanan tradisional memanjakan perut kami. Ya, setelah jiwa kami diasupi puisi, giliran perut yang mesti dimanjakan.

Setiba di panggung, setelah menyanyikan Indonesia Raya, para penghadir kembali menyaksikan helat perayaan Hari Puisi. Gubernur Jakarta, Anies Baswedan, turut larut bersama hadirin. Beliau membuka acara. Penyaji puisi kembali menghiasi elok panggung.

Begitulah. Puisi yang lahir dari dorongan batin untuk mengulang atau mengabadikan momen perasaan secara intens memang harus dirayakan. []

Amel Widya

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun