Faktanya keliru. Tubuh koruptor di negara kita rata-rata sehat, tetapi sebenarnya jiwa mereka sakit. Andai kata jiwa mereka sehat walafiat, mereka pasti tidak akan mengerat uang rakyat.
Selain itu, lagu kebangsaan kita--yang dianggit oleh pemusik berjiwa puitis, W.R. Supratman--mengamanati kita untuk lebih dahulu membangun jiwa dibanding raga. Sungguhpun tidak ada yang ingin kita dahulukan, seyogianya dibangun secara bersamaan.
Akan tetapi, ah, sudahlah. Mari kita kembali saja pada dua versi perayaan puisi itu. Saking pentingnya Hari Puisi Indonesia bagi penyair dan pencinta puisi, sampai-sampai puisi diperingati pada dua hari berbeda. Yang pertama pada 28 April dan yang kedua pada 26 Juli.
Artinya, puisi di Indonesia dirayakan sebanyak dua kali. Jika ditambahkan dengan Hari Puisi Internasional berarti masyarakat sastra Indonesia tiga kali merayakan puisi. Dahsyat, bukan?
Pendapat penyair pun beragam. Ada yang kukuh memilih kelahiran Si Binatang Jalang, ada yang ngotot memilih hari wafatnya beliau. Ini menunjukkan bahwa lahir dan mati itu sama-sama penting. Ini menegaskan bahwa perayaan hari puisi amat penting.
Bayangkan bila kelahiran dan kematian para maestro puisi Indonesia dijadikan sebagai hari puisi kita, maka akan ada Hari Puisi Indonesia versi lahir dan wafatnya Amir Hamzah, Raja Ali Haji, Rendra, dan lain-lain. Makin maraklah puisi dirayakan di negeri yang rakyatnya gemar bertukar caci.
Bagi Arco Transept, penyair yang doyan mengulik tradisi sebagai pembingkai gagasan, dua versi perayaan puisi tidak memengaruhi kecintaannya pada puisi. Ia justru kian terlecut. "Tidak apa-apa, malah makin ramai," ujarnya kepada saya lewat cuitan di Twitter.
Khrisna Pabichara, penyair yang saban hari tekun memacari puisi, justru lebih ekstrem. Katanya, "Bagi saya, setiap hari adalah puisi. Dua versi perayaan itu hanyalah perayaan belaka, biar kita lebih gigih mencintai puisi. Sejatinya, puisi mesti dirayakan setiap hari."
Lantas, versi mana yang mesti kita ikuti? Tentu saja deklarasi Hari Puisi Indonesia di Riau dapat kita jadikan tumpuan, walaupun maklumat serempak warganet pada 28 April 2016 tidak bisa kita abaikan begitu saja. Atau, kita pilih sikap Arco dan Khrisna saja?
Menurut saya, nikmati saja. Kita mah yang asyik-asyik saja, asalkan tetap berpuisi. Setidaknya, tetap mencintai puisi. Jangan sampai puisi kalah dan tunduk pada serakan ujaran kebencian di media sosial.
Maka, patut kita camkan nasihat Chairil.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!