Di sinilah keunikan hari puisi kita. Satu pihak, terutama netizen, memilih hari mangkatnya Si Binatang Jalang sebagai puncak peringatan. Pihak lainnya, pegiat dan pencinta puisi, memilih hari kelahiran Si Binatang Jalang sebagai puncak perayaan.
Meskipun berbeda pilihan hari, kedua kubu sama-sama memilih sosok Chairil Anwar sebagai titik tolak perayaan. Bedanya hanya pada tanggal lahir dan tanggal wafat. Figur yang didaulat sebagai pelopor puisi modern Indonesia tersebut menjadi muara "perayaan puisi".
Kalau kita mau sedikit berandai-andai, perbedaan pilihan hari peringatan itu seperti perbedaan penetapan Hari Lebaran antara NU dan Muhammadiyah. Bedanya, kedua ormas Islam tersebut sesekali merayakan Lebaran pada hari yang bersamaan. Bedanya lagi, Pemerintah kerap menjadi perekat dan pelekat perbedaan itu.
Jangan sewot dulu. Saya hanya mengajak berandai-andai. Khusus pada perayaan hari puisi, Pemerintah tidak hadir. Sebenarnya sih belum hadir. Dengan kata lain, Pemerintah belum turun tangan menetapkan Hari Puisi Indonesia.
Andai kata negara hadir, barangkali "sengketa" (kata sengketa diapit tanda kutip loh!) hari peringatan puisi kita tidak akan berbeda, tidak akan terpisah, tidak akan terkotak-kotak. Namun, puisi mungkin bukan perkara penting bagi penyelenggara negara. Mungkin, ya. Apalah arti puisi di tengah riap pembangunan dan riak politik yang terus-menerus mewarnai perjalanan bangsa. Iya, kan?
Padahal, kehadiran sastra sangat penting bagi kesehatan batin kita. Umar bin Khattab berpesan, "Ajarkanlah sastra kepada anak-anak kalian, karena sastra dapat mengubah anak yang pengecut menjadi pemberani."
Maman S. Mahayana, Ketua Yayasan Hari Puisi,menyatakan bahwa puisi dapat mempererat renjana keindonesiaan, merayakan kebinekaan, memperkaya makna tolerasi, dan menutup lahirnya ujaran kebencian.
Dua pendapat tersebut jelas-jelas menunjukkan kedudukan puisi dalam upaya pendidikan karakter. Puisi dapat mencetak perangai yang pemberani sekaligus lemah lembut. Dalam konteks kedirian kita sebagai anak pertiwi, puisi dapat mengukuhkan keindonesiaan kita.
Nahasnya, kehidupan penyair di Indonesia tidak lebih dari "hidup segan bunuh diri enggan". Pagi sarapan, siang hingga malam tidak bersua makanan. Jiwa kaya, tetapi raga sengsara. Bikin kumpulan puisi untung tidak seberapa. Masih pula digerogoti permintaan buku gratis dari kerabat atau teman dekat. Dipajang di toko buku, tidak laku pula. Jangankan dibeli, dilirik pun tidak. Kalaupun ada yang laku, itu hanya pada buku tertentu. Khusus perkara ini, saya khatam banget.Â
Sungguh berbeda dengan nasib olahragawan. Di negara kita, atlet yang berprestasi pasti dapat banyak kucuran hadiah. Belum lagi bonus rumah atau diangkat menjadi pegawai dan digaji oleh negara. Sementara ity, sastrawan dan penyair terpinggirkan. Dikerling pun tidak.Â
Di lain sisi, kita selalu mengagul-agulkan slogan "di dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang sehat".Â