Mohon tunggu...
Amel Widya
Amel Widya Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - PPNASN

Perempuan Berdarah Sunda Bermata Sendu. IG: @amelwidyaa Label Kompasiana: #berandaberahi

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Menyapa Cinta dalam Sengsara Kolera

16 Agustus 2018   14:22 Diperbarui: 28 Januari 2019   12:54 1238
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

El Amor en los Tiempos del Colera. Begitu Gabriel Garcia Marquez menjuduli novelnya dalam edisi bahasa Spanyol pada 1985. Dalam edisi Inggris dijuduli Love in the Time of Cholera. Dian Vita Ellyati menerjemahkannya ke dalam versi Indonesia dengan judul Cinta Sepanjang Derita Kolera.

Sepanjang rentang 2010 hingga 2015, selama sembilan semester selaku mahasiswa di jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, saya menceburkan diri ke dalam samudra sastra. 

Buku-buku sastra, baik edisi terjemahan maupun karya pengarang Indonesia, bagai sepotong uli yang saya lahap setiap pagi. Lezat sekali. Tidak menjemukan meski sudah dibaca berkali-kali.

Pada mulanya sebatas memenuhi kewajiban untuk membaca dan mengapresiasi karya sastra saja. Lambat laun tumbuh menjadi kecintaan luar biasa, sampai-sampai ada yang berasa kurang kalau tidak membaca buku sastra dalam seminggu. Dan, hal sebegitu masih terasa hingga hari ini.

Pada tahun-tahun perkuliahan itulah saya bertemu dengan Gabriel Garcia Marquez. Agar lebih singkat, berikutnya akan saya sebut Gaby. Pengarang terkemuka asal Kolombia itu termasuk dalam barisan pengarang favorit saya.

Setidaknya ada tiga alasan mengapa saya menyukai karya-karya Gaby. Pertama, karena saya menyukai caranya menciptakan tokoh. Pahit, getir, suka, dan tawa tergambar dengan baik. 

Kedua, karena kefasihan Gaby menata cerita yang berlapis-lapis, seperti ada cerita di dalam cerita, seperti ombak di dalam ombak, seperti mimpi di dalam mimpi. Ketiga, lantaran Gaby mahir merangkai kejutan atau intensi yang tidak terbaca hingga ujung cerita.

Ketiga alasan itulah yang membuat saya betah selama berhari-hari, bahkan berminggu-minggu, menuntaskan One Hundred Years of Solitude dalam versi Inggris dan terjemahannya. Cinta saya kepada Gaby bermula di Kampung Macondo, di sela batang-batang pisang, di antara tujuh turunan keluarga Buendia.

Akan tetapi, saya tidak akan bercerita tentang hikayat klan Buendia ataupun Kampung Macondo yang masyhur itu. Kali ini saya ingin menulis tentang kisah Gaby yang lain, tentang novelnya yang serupa kamus cinta paripurna, tentang kesedihan Fermina Daza dan kegetiran Florentino Ariza dan ketangguhan Juvenal Urbino.

Kisah itu saya temukan dalam novel Gaby, Cinta Sepanjang Derita Kolera. Saya tidak menemukan versi Inggrisnya, pada tahun pertama kuliah saya, sehingga saya membaca terjemahan karya Peraih Nobel Sastra 1982 itu yang diterbitkan oleh Selasar pada Agustus 2010.

Inilah novel cinta sepanjang masa. Sebuah kisah cinta abadi melintasi abad dalam emosi-emosi yang sangat unik, sekaligus paling kuat yang bisa dirasakan oleh manusia, di balik fragmen demi fragmen tentang cinta dan keniscayaan yang menghanyutkan.

Begitu keterangan pembuka di sampul belakang. Saya terbiasa membaca sinopsis atau simpulan kisah di sampul belakang, sebab di situlah saya dapat mereka-reka atau menerka-nerka apakah sebuah novel menarik atau tidak untuk dibaca, meskipun saya paham bahwa sinopsis di sampul belakang adalah bagian dari promosi untuk memancing hasrat para pembeli buku.

Dua hari lalu saya kembali membaca novel setebal 672 halaman tersebut. Kemudian, terlintas pikiran untuk menulis ulasan atas hasil pembacaan itu. Maka, mengalirlah tulisan ini.

Meski sudah tiga kali membacanya, sensasi yang saya rasakan ketika pembacaan pertama pada 2010 dan pembacaan kedua pada 2014 masih sama. Tidak berbeda, tidak berubah. Kekuatan narasi, jalinan alur, dan ketegangan konflik masih membetot mata saya hingga akhir kisah.

Gaby, yang karya-karyanya telah diterjemahkan ke dalam puluhan bahasa, mengisahkan berbagai bentuk cinta di dalam novel ini. 

Ada cinta monyet, cinta yang bertepuk sebelah tangan, cinta platonik, cinta membosankan dalam sebuah pernikahan, cinta yang marah, cinta yang berhias api cemburu, cinta yang berbahaya, cinta yang terkekang, cinta jarak jauh, cinta yang berselingkuh, cinta yang berlangsung sesaat dalam satu persanggamaan saja, dan diakhiri dengan cinta yang bertahan hingga usia senja.

Gaby menulis dalam Cinta Sepanjang Derita Kolera, "Orang-orang tercinta seharusnya membawa serta semua miliknya ketika mereka mati."

Kalimat itu dirangkai Gaby jauh sebelum saya lahir. Namun, kebenaran yang tersirat dalam kalimat tersebut masih terasa hingga sekarang. Tidak bisa dimungkiri, kehilangan karena kematian selalu menyisakan sesak berkepanjangan bagi yang ditinggalkan.

Kenangan atas orang yang meninggal bisa muncul dari pelbagai pintu: pakaian, bau keringat, kebiasaan remeh, lagu kesukaan, buku favorit, atau apa saja. Ketika kita melihat peninggalan-peninggalan tersebut, kenangan pada yang sudah pergi serta-merta mencuat dan menguat. Makin ditahan makin mencuat, makin ditekan makin menguat.

Kalimat itu tercantum di halaman 95 dalam bagian ketika Fermina Daza, si tokoh perempuan yang dicintai dua lelaki, menyaksikan kematian suaminya, Juvenal Urbino, ketika usianya kian senja.

Kalimat tentang kuasa kenangan pada yang sudah pergi tersebut muncul karena kehadiran lelaki lain semasa Fermina masih perawan, semacam cinta remaja yang kuat dan menggairahkan, namun terhalang karena tidak disetujui oleh orangtua Fermina.

Alasan Lorenzo Daza, ayahnya, melarang Fermina menerima dan membalas cinta Florentina Ariza, lelaki penyuka biola dan puisi, sangatlah sederhana. Masa depan Florentino amat muram dan tanpa jaminan kehidupan rumah tangga yang bahagia dan penuh cinta. Fermina dan Florentino akhirnya menjalin cinta diam-diam lewat surat yang disampaikan secara sembunyi-sembunyi.

Namun, Fermina tahu alasan sesungguhnya di balik penolakan ayahnya pada Florentino. Lelaki yang mahir mendeklamasikan puisi itu, yang menggesek dawai biola bagai menyayat hatinya sendiri itu, yang mencintai sastra sebesar cintanya kepada dirinya sendiri itu, adalah putra tunggal seorang pelacur yang sudah tobat dan membuka toko kelontong.

Alasan Lorenzo tersebut ternyata tidak pernah termakan oleh perubahan zaman. Hingga sekarang masih banyak sepasang manusia yang menjalani cinta terkekang, sedikit lebih lunak dibanding cinta terlarang, dan dipaksa takdir untuk menggigit jari dan menelan duka sepanjang hidup. 

Malahan setelah era sudah secanggih ini, perbedaan status sosial atau agama atau suku masih kerap dijadikan alasan oleh orangtua untuk mengekang cinta anak-anak mereka.

Pada bagian lain Gaby menulis, "Masalah dalam kehidupan bersosial adalah belajar mengatasi ketakutan; masalah dalam kehidupan berumah tangga adalah belajar mengatasi kebosanan."

Gaby sudah melahirkan pernyataan itu jauh sebelum saya lahir, namun kebenaran yang tersurat dalam kalimat tersebut masih berasa hingga hari ini.

Alangkah banyak pasangan yang cinta mereka sangat membara selama masa pendekatan, tetapi berakhir pada episode menjemukan setelah memasuki pernikahan. Sebagian di antara pernikahan menjemukan itu terancam bubar, sebagian kecil malah berantakan dan terpesai-pesai atau tercerai-berai.

Kalimat sakti tersebut diungkap Gaby pada halaman 407 ketika Fermina menemukan rasa bosan menyelimuti rumah tangganya dengan dokter terpandang pilihan ayahnya, pilihannya juga. 

Pada halaman lain, 427, Gaby menggambarkan kejenuhan itu lewat dialog Dr. Juvenal Urbino ketika mendorong piring berisi makanan. Masakan ini diolah tanpa cinta, katanya. Saat mencerup teh, dokter dari kalangan elite itu mengeluh. Teh ini rasanya seperti daun jendela, katanya.

Ketika saya tiba pada kalimat ini, saya teringat pada percakapan dengan Ibu. Kata Ibu, perempuan harus mahir memanjakan lidah lelakinya. Percakapan itu kemudian saya tumpahkan ke dalam puisi yang berjudul Tungku Berahi di Dapur Ibu.

Ketika fajar menyingsing, ketika suaminya masih meringkuk memeluk lutut, Fermina menggerutu. Kebiasaannya mengendus pakaian yang baru dipakai suaminya ternyata mengantarnya pada kenyataan pahit. 

Ada aroma lain tercampur samar dalam bau tubuh suaminya. Kenyataan pahit itu semakin jelas beberapa hari kemudian ketika suaminya mengakui, benar-benar mengakui, fakta bahwa seorang pasien telah membuatnya lupa diri.

Pada sisi lain, Fermina juga menyadari bahwa di dalam dirinya masih tersembunyi cinta kepada lelaki lain, cinta kepada Florentino, yang tidak bisa ia cabut hingga ke akar-akarnya bahkan setelah ia beranak dan bercucu. Ia memang tidak berselingkuh secara ragawi, tetapi batinnya sering menghadirkan sosok selain suaminya.

"Nikmatilah sekarang, saat kau masih muda, dan menderitalah sekuat-kuatnya karena perasaan seperti ini tidak akan berlangsung sepanjang hidup."

Dialog tersebut dibubuhkan Gaby di halaman 117 ketika Transito Ariza, ibu dari Florentino, melihat anaknya demam, mengigau sepanjang malam, membasahi bantal dengan air mata, setelah sehari sebelumnya mengetahui bahwa Fermina akan menikah dengan Juvenal.

Adakah nestapa lebih menyengsarakan hati daripada menyaksikan perempuan yang dicintai akan menikah dengan lelaki lain? Florentino mencucurkan air mata. 

Ia lelaki, tetapi ia menangis. Ibunya, yang menanggung derita sepanjang hidup karena ditinggalkan oleh lelaki yang menyetubuhi dan menghamilinya dalam sekali persanggamaan, meminta Florentino menangis dan menikmati derita alih-alih menghapus air mata dan menghapus kenangan atas Fermina.

Saran Transito kepada putrinya itu sudah dituangkan Gaby jauh sebelum saya lahir, tetapi saran itu masih cocok dengan situasi sekarang. Ketika hati kita terluka karena cinta akan banyak orang di sekitar kita yang--mendadak arif dan bijak--meminta kita menghapus air mata. Mereka lupa bahwa air mata melarungkan dan meringankan penderitaan. 

Menangis saja, tidak peduli kamu lelaki atau perempuan.

"Satu-satunya yang membuatku terluka adalah karena aku tak punya kekuatan untuk memberimu pukulan yang pantas kauterima karena telah begitu kurang ajar dan berpikiran jahat."

Kalimat itu ditumpahkan Gaby dalam dialog Fermina di halaman 624. Ofelia Urbino gara-garanya. Putrinya yang sudah memberikan cucu-cucu yang manis itu melarang Fermina untuk bertemu lagi dengan Florentina. Apa pun alasannya, seberapa baik pun akibatnya.

Bagi Ofelia, kedatangan Florentino setelah ibunya menjanda akan mencoreng reputasi dan nama baik keluarga. Bagi Fermina, kecaman Ofelia justru mengantarnya kembali ke masa remaja, masa ketika moral dan etika telah mengacaukan cintanya dan cinta Florentino, masa tatkala keduanya tidak bisa berbuat apa-apa karena saat itu mereka masih remaja.

Masyarakat tentu punya alasan lain untuk menyebarkan kasak-kusuk tidak sedap. Florentino dan Fermina sudah sama-sama tua. Sudah 80 tahun. Rasanya ganjil secara etika apabila keduanya kembali jatuh cinta dan berniat merajut kembali hati mereka yang terkoyak-koyak karena cinta masa remaja.

Situasi saat ini masih sama, belum berubah sama sekali. Etika masih menempati tangga tertinggi, masih di atas tangga yang didiami oleh cinta.

Melanggar etika, pada masa itu, berarti merusak tatanan norma yang beredar di tengah masyarakat. Hal serupa masih terjadi hingga kini. Tidak peduli seberapa cinta pun kamu, selama itu dianggap bertentangan dengan etika maka kamu, suka tidak suka, harus mengubur cintamu dalam-dalam.

Begitulah hidup, begitulah cinta.

Namun, kisah Florentino dan Fermina berbeda dengan kisah serupa yang ditulis oleh pengarang lain. Nizami Ganjavi, dalam Layla Majnun, menciptakan Qays dan Layla dengan akhir kematian Layla dan kegilaan Qays. William Shakespeare, dalam Romeo and Juliet, menghadirkan kematian pada akhir cinta Romeo dan Juliet.

Gaby berbeda. Florentino dan Fermina memang tidak menyatu sewaktu mereka saling mencintai pada saat remaja, namun cinta mereka kembali bersemi semasa mereka menjelang renta. Kendatipun akhir yang bahagia jadi penutup novel Cinta Sepanjang Derita Kolera, namun tetap menyisakan kegetiran, kepahitan, dan kesengsaraan.

Tekanan dari luar diri Florentino dan Fermina, berupa kecaman keluarga dan warga, datang bertubi-tubi. Tekanan dari dalam diri ternyata tidak kalah hebat. Baik Florentino maupun Fermina sudah melewati rupa-rupa pengalaman dan masa lalu itu menghadirkan ancaman terselubung atas cinta mereka.

Kisah yang dikarang oleh Gaby saat saya belum lahir ini ternyata masih releven dengan zaman sekarang. Bahkan pada keluarga yang terlihat sempurna, bahagia secara batiniah, kadang masih menyisakan kegetiran berupa kesengsaraan lahiriah.

Bagi saya, seharian bersama Gaby dalam Cinta Sepanjang Derita Kolera kembali menghadirkan perjalanan batin yang sangat menyenangkan. Novel setebal 672 halaman itu tetap memukau. 

Terlepas dari beberapa pilihan kata yang keliru, saya masih menikmatinya.

Amel Widya

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun