Mohon tunggu...
Amel Widya
Amel Widya Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - PPNASN

Perempuan Berdarah Sunda Bermata Sendu. IG: @amelwidyaa Label Kompasiana: #berandaberahi

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Hakim di Kepala Tetangga

12 Agustus 2018   22:07 Diperbarui: 16 Agustus 2018   15:39 734
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Ilustrasi: semai.dutadamai.id

1

Di diskotek, ia duduk sendirian. Tanpa rokok, bir, dan ekstase. Kepalanya mengangguk-angguk, matanya mengedip-ngedip, jemarinya mengibas-ibas asap rokok yang bergulung-gulung mendekati wajahnya.

Sepasang lelaki berpelukan di pojok kiri; sepasang wanita berciuman di pojok kanan; seorang lelaki paruh baya, di depannya, meremas tetek gadis--yang lebih kecil dari payudaranya.

2

Di taksi, ia ingin sekali mencongkel mata supir yang jelalatan mengintai pangkal susunya. Hingga turun, mata si supir bagaikan sepasang tangan kudisan tengah menggerayangi sekujur tubuhnya.

Sebelum membanting pintu taksi, ia melihat pantat lelaki buncit di belakang setir itu bagai duduk di kursi berkutu.

3

Di gang menuju rumahnya, masjid sudah terjaga. Muazin baru saja memanggil-manggil jemaah. Para tetangga, yang bergegas ke masjid dan berpapasan dengannya, serentak kasak-kusuk sambil melirik kepadanya. Sebagian meneguk ludah, sebagian lagi mencebik.

Jemaah perempuan bisik-bisik seperti kawanan semut merayakan temuan sebutir gula. Tiba-tiba mereka menjadi hakim dengan mata paling palu.

4

Di rumah, kantuk sudah menanti. Tetapi anaknya harus sarapan sebelum ke sekolah. Belajar akan berat kalau perut kosong. Ia masih menahan kantuk ketika mengantar anaknya hingga ke pagar.

Kepalanya mendadak pengar. Layaknya batang pisang, ia tersungkur ke tanah. Gedebuk tubuhnya mengalahkan derum motor. Tetangga-tetangga berlarian meninggalkan tukang sayur.

5

Di beranda, belajar sabar paling sulit selagi sakit. Apalagi kala seorang ibu berkerudung sepinggang mulai berceloteh. Sakit itu pengurang dosa, katanya dengan mata seperti polisi penyelidik.

Seorang lagi berkata dengan ketus. Makin lama sakit diderita, makin banyak dosa berkurang. Ia tercenung. Ia tahu itu. Ia pun setuju sekaligus tidak setuju. Walau hatinya terkoyak dan berderak, ia tetap tersenyum. 

6

Di kamar, ia buru-buru mendatangi Tuhan. Dengan suara pelan ia bertanya. "Tuhanku, apakah sakit parah dan lama yang ditanggung Nabi Ayub adalah buah dari dosa atau ujian bagi cintanya kepada-Mu?"

2017

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun