1Â
Pukul tujuh pagi kamu tergeragap di kamar hotel. Matamu setengah terpejam saat buru-buru kaumatikan ponsel. Gadis belia di sebelahmu berhenti menggeliat. Kecupanmu di tengkuknya gara-garanya. Ia mendengkur sambil memeluk lutut.
Empat jam sebelumnya, pukul tiga pagi, berahi seakan meledakkan pembuluh darahmu. Kau mengendus, mendesah, dan melenguh, tetap begitu, meski ia sudah berkali-kali mengaduh dan meminta ampun. Tetapi kamu enggan berhenti.
2Â
Pagi ini ciuman lembutmu mendarat di pundaknya. Napasmu memburu. Namun dering ponsel menahan laju berahimu. Sekali lagi kaumatikan ponsel. Seolah istrimu mendadak muncul dan menutup mulut melihatmu bugil sambil memeluk perempuan lain.
Angkat ponselmu. Biar istrimu puas membunuhmu lewat desak tanya dan umbar curiga. Jangan cemas. Gadis di sisimu tak akan waswas. Dia tahu, aku tidak berniat menyakitinya.
3Â
Sejak pukul satu dini hari aku ingin membunuhmu. Tenang saja. Aku bukan peluru yang akan menghabisimu lewat satu letusan. Aku bukan sembilu yang ingin membunuhmu dalam beberapa sayatan. Aku semata pisau yang hendak memotong senjata di pangkal pahamu: biar darahmu getas, biar binalmu lepas.
Melihat bibirmu berkeliaran di punggungnya sungguh membuatku kesal. Sebetulnya muak. Tetapi aku tidak mampu meloncat ke dadamu dan menancap di jantungmu.
Aku hanya bisa menelan ludah. Mataku dikilatkan kemarahan: ia mengaduh, pahanya dileleri darah. Kamu melenguh, pahamu dilelehi sperma.Â
4Â