Fakta kemajemukkan masyarakat di Indonesia dapat dilihat dari ke-bhineka tunggal ikaan Indonesia, dari banyaknya suku, agama, dan ras yang ada. Menurut UU No.6 tahun 1996, Indonesia memiliki kurang lebih 17.508 pulau, dan dilansir dari portal Indonesia.go.id, Indonesia sendiri memiliki lebih dari 300 kelompok etnik, tepatnya terdapat 1.340 suku bangsa di Tanah Air.
SARA dapat disebut deskriminasi yang merajuk pada sikap tak adil terhadap individu tertentu. Diskriminasi ini terjadi karena kecenderungan manusia membeda-bedakan orang lain karena karakteristik suku, agama, ras, dan antar golongan, aliran politik, dan lain lain.
Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Syarif Hidayat memberikan keterangan resmi pada 7 Agustus 2018 yang menyebutkan bahwa jika dilihat dari grass root, permasalahan tentang isu SARA sebenarnya tidak ada, dikarenakan masyarakat Indonesia sendiri memiliki sikap toleransi dan pengertian. Tetapi, letak permasalahannya ada pada isu SARA yang digoreng dan dimanipulasi oleh elite politik.
Penggunaan isu Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan (SARA) saat ini digunakan sebagai alat pendukung dalam mendapatkan simpati pendukung dalam mendulang suara.
ISU SARA
Dilansir dalam narasinewsroom, penggunaan isu SARA sudah menyelimuti kehidupan masyarakat Indonesia sejak Orde Lama, hal tersebut dapat dilihat dari;
Setiono, "Tionghoa Dalam Pusaran Politik", 2008. Saat orde lama tahun 1959, pemerintah membuat peraturan yang melarang hak dagang warga negara China di Pedesaan, dan menyebabkan 136 ribu warga keturunan China kabur dari Indonesia.
Jemma Purdey, "Anti-Chinese Violence in Indonesia, 1996-1999", 2006. Menyebutkan bahwa saat orde baru, isu SARA semakin menonjol yang dapat dilihat dari sentimen masyarakat anti China yang meningkat, yang menyebabkan terjadinya kerusuhan di Glodok pada 1998.
Tahun 2017, isu SARA ini dijadikan bisnis oleh sindikat SARACEN. SARACEN ini menjual jasa penyebaran kebencian atau Hate Speech yang bernuansa SARA dengan tarif puluhan juta rupiah.
Pada tahun 2018, Sari roti diboikot netizen karena dituding mensponsori aksi 212,
Pada tahun 2020, air mineral aqua di boikot lantaran Emmanuel Macron, Presiden Prancis, dituding melecehkan islam karena membiarkan adanya publikasi ulang karikatur Nabi Muhammad.
Baru-baru ini, Jne membuka lowongan pekerjaan, dengan kualifikasi pekerja wajib beragama islam.
Tidak hanya itu. Di era seperti ini, kekhawatiran akan isu SARA semakin mencuat dengan adanya politisi isu SARA yang digunakan dalam pemilihan umum yang menjadikan hambatan terbesar dalam konsolidasi demokrasi dan penyelenggaraan pemilu di Indonesia.
Survei Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, pada pemetaan kondisi politik, ekonomi, sosial-budaya dan pertahanan- keamanan menjelang pemilu serentak tahun 2019, menyebutkan bahwa pada tahun 2018, isu SRA menjadi besar karena dikapitalisasi dan dimanipulasi oleh elite politik. Dari hasil survei didapati angka 67,6% yang menyebabkan terjadinya tindakan persekusi di masyarakat  atas ketidakpercayaan antar kelompok, suku, agama, dan ras.
Dilansir dalam Hate speech clouds Indonesia's internet in 2016: Police, The Jakarta Post. Ketua peneliti LIPI, Firman Noor, menilai pada hakikatnya, sebuah banga terlahir dari beragam latar belakang, namun isu politisi SARA menunjukkan adaanya fenomena yang telah melampaui ide ide rasional. Bila hal tersebut tidak segera diatasi, kemungkinan besar akan berdampak pada demokrasi Indonesa dan bisa berujung pada diskriminasi dan semangat warga mayoritas yang lebih besar.
Isu SARA dalam dunia politik dapat dilihat pada kasus pemilu gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta tahun 2017 dimana sebagian masyarakat menyatakan tidak memilih pasangan Basuki Tjahaja Purnama (ahok) sebagai gubernur DKI Jakarta karena beliau merpakan seseorang yang berasal dari etnis China dan memeluk agama Kristen. Dari kasus tersebut, dapat dilihat bahwa setiap akan dilaksanakannya pemilu, para elite politik akan mengorbankan kepentingan umum dan membawa isu SARA untuk menarik suara masyarakat.
Tidak berhenti disitu, kehadiran media sosial juga menyebabkan isu SARA menjadi lebih mudah untuk disebarluaskan. Kominfo mencatat terdapat 4.000 lebih pengaduan tentang persoalan sara yang masuk sepanjang tahun 2019. Perkembangan teknologi informasi disebabkan karena adanya globalisasi yang berjalan sangat cepat. Internet merupakan subspace yang diciptakan untuk mempermudah arus penyebaran informasi.
Kebebasan berpikir dan berpendapat, kurangnya pengetahuan dan keterampilan masyarakat dalam memilah dan memastikan keabsahan sebuah berita, menyebabkan masyarakat yang menggunakan media sosial rentan terhadap isu isu yang provokatif, hoax, atau informasi yang tidak akurat. Masyarakat yang mengalami desensitifikasi atau menurunnya rasa sensitif terhadap orang lain kerap membuat perang komentar atau opini di media sosial yang sering kali mendebatkan isu agama, suku, ras ataupun antar golongan tanpa memikirkan korban atau lawannya karena media sosial membuat pihak yang berseteru merasa tidak berhadapan langsung dengan lawan.
UPAYA PENCEGAHAN
Dilansir dari tirto.id dan dikutip dari Buku Pendidikan Pancasila dan kewarganegaraan kelas IX tahun 2018 oleh Kementerian Pendidikan dan kewarganegaraan, ada 3 cara untuk mencegah terjadinya konflik SARA
Preventif. Yaitu, upaya dengan megembangkan dan memupuk sikap toleransi, kerja sama gotong royong, saling menghargai, serta menghormati
Represif. Yaitu, upaya yang dengan melakukan pembubaran paksa, penangkapan, dan lain sebagainya guna untuk menghentikan konflik yang telah terjadi.
Kuratif. Yaitu, upaya yang dilakukan dengan memberikan pendampingan bagi korban, perdamaian, kerja sama, dan lain sebagainya, guna untuk menindak lanjuti atau penanggulangan setelah terjadinya suatu konflik.
Refrensi
http://ditpolkom.bappenas.go.id/v2/?p=706 diakses pada 23 Desember 2021 pukul 15.00
Sumardiana, B. (2016). Formulasi kebijakan penanganan tindak pidana berbasis isu sara dalam pemilihan umum. Pandecta Research Law Journal, 11(1), 80-95.
Nugroho, D. A., & Sukmariningsih, R. M. (2020). PERANAN KOMISI PEMILIHAN UMUM DALAM MEWUJUDKAN PEMILU YANG DEMOKRATIS. Jurnal JURISTIC, 1(01), 22-32.
Hanif, A. Z., Budi, B. D. S., Permana, M. K., Akbar'Alim, R., Murthy, C. W., Pahlevi, M. R. F., & Almeyda, S. A. ISU SARA SEBAGAI SUMBER KONFLIK PADA MEDIA SOSIAL.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H