Mohon tunggu...
Gelora Kata
Gelora Kata Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Mahasiswa Sastra Indonesia yang tak kunjung lulus

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Titik Temu Sastra Dengan Agama

15 September 2013   09:03 Diperbarui: 24 Juni 2015   07:52 1239
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pembicaraan mengenai relasi antara agama dan sastra merupakan pembicaraan yang selalu menarik untuk dilakukan. Tidak jarang keduanya memunculkan pertentangan esensial, namun sering pula keduanya menunjukkan satu kesamaan perspektif.

Hakikat agama sebagai sumber yang melahirkan hukum-hukum keagamaan seringkali memunculkan kebakuan yang tidak dapat ditawar, agama selalu mempunyai batasan-batasan yang mengikat. Jelas sekali berbeda dengan hakikat sastra sebagai sesuatu yang lentur dan tidak terikat, oleh karena itu kemudian muncul istilah chatarsis, istilah yang dikemukakan oleh Aristoteles tersebut menandakan bahwa sastra adalah pembebasan atas jiwa, pembebasan atas apa yang terikat, karena itu pula, dalam dunia sastra dikenal istilah licensia poetica, yakni kebebasan atau hak dan wewenang seorang sastrawan dalam berkarya. Pada tataran itulah sastra dan agama menjadi dua entitas yang kontradiktif.

Namun, pada tataran tertentu, keduanya memiliki klaim yang sama sebagai sesuatu yang mencerahkan. Menurut Max Weber, sosiolog teologis, agama berperan bagi institusi sosial secara etis dengan memberikan pandangan dan sikap terhadap dunia. Dari sinilah, agama sebagai pemberi makna bagi kehidupan. Bahwa dengan agamalah manusia memiliki kehidupan yang bermakna, baik kepada Tuhan maupun sesama.

Esensi agama sebagai makna ternyata tidak jauh berbeda dengan sastra. Sastra (Sansekerta: shastra) secara etimologis bermakna teks yang mengandung intruksi , dengan kata lain, sastra adalah pedoman. Sastra sebagai pedoman tentu saja berperan dalam memberikan makna. Tidak melulu berbicara hanya pada tataran keindahan dan kebebasan, ada isi yang disampaikan di dalamnya. Sejatinya dengan kebebasan dan keindahan itulah sastra merepresentasikan makna. Karena itu, Horace menyebut sastra sebagai dulce et utile, yakni yang menghibur dan yang bernilai, keduanya (yang menghibur dan yang bernilai) harus selalu bersamaan dalam sastra.

Kesamaan agama dan sastra tidak hanya bermuara pada klaim pencerahan. Agama dan sastra juga sejatinya sama-sama bermuara pada jiwa. Sastra dengan chatarsis-nya adalah cara bagi manusia untuk membebaskan jiwa dari kegelisahan-kegelisahan atas kesemrawutan tatanan sosial dan kaburnya kemanusiaan di dunia. Manusia mencari kembali kemanusiaan-nya yang hilang dengan sastra, memuaskan diri dengan bersajak atau berprosa, mencari ketenangan darinya. Sama halnya dengan agama, agama menuntun manusia untuk membersihkan dirinya, menyucikan dirinya dari segala keruwetan jiwa. Meskipun agama memberikan berbagai aturan formal bagi pemeluknya, namun agama juga sekaligus memberikan sentuhan jiwa.

Peran sastra sebagai penggugah jiwa yang tidak jauh berbeda dengan peran agama sebagai penyentuh jiwa membuat Jean-Paul Sartre, seorang filsuf asal Perancis beranggapan bahwa pada masyarakat dengan peradaban modern, posisi sastra akan menggantikan agama, dengan pertimbangan bahwa agama dianggap sebagai sesuatu yang kaku, tidak bergerak, tidak lentur, dan sulit mengaktualisasikan diri dengan zaman. Anggapan ini rupanya diamini oleh Feuerbach, teolog Jerman yang dengan keras memberi aksentuasi kritik terhadap kaum beragama: Hanya orang-orang miskin yang setia pada agama, agar  mereka bisa bermimpi dan melupakan kemiskinannya. Akhirnya lupa mengkritisi penguasa negeri sendiri.

Benarkah apa yang ada di pikiran Sartre bahwa sastra akan menggantikan agama? Benarkah pula apa yang disampaikan Feuerbach bahwa agama membuat pemeluknya buta akan kritik sosial maupun kritik pemerintah?

Menurut hemat penulis, sastra tidak akan mampu menggantikan agama, meskipun peradaban sudah sedemikian modern, agama justru menjadi pelengkap bagi kehidupan manusia. Benar bahwa manusia sekarang lebih cenderung membutuhkan segala yang instan, sastra dianggap cara yang lebih instan untuk menggugah jiwa ketimbang dengan agama.

Agama dan sastra dianggap dua hal yang sangat bertentangan. Tetapi, realitas yang terjadi justru tidak demikian, sastra dan agama sebenarnya senantiasa berjalinkelindan. Alquran sebagai kitab suci umat Islam diciptakan dengan tingkat kebahasaan dan sastra yang sangat tinggi, pengisahan tentang sejarah penciptaan manusia, maupun sejarah Islam dibalut dengan prosa yang begitu apik. Doa-doa, kata-kata bijak serta sejarah yang dibalut dalam puisi maupun prosa juga banyak ditemui di dalam Injil, terutama dalam Mazmur. Bukti bahwa agama adalah keindahan, yang dengan keindahan itu makna diciptakan untuk menggugah iman dan jiwa pemeluknya.

Menjadi menarik jika kita menilik hubungan sastra dan agama yang ternyata begitu intens terjalin bahkan sejak penciptaan kitab suci dilakukan.

Selain itu, posisi agama sebagai yang kaku juga tidak selamanya benar, agama sebagai pedoman kehidupan manusia pada tataran tertentu akan selalu mengikuti ke arah mana zaman berubah. Kalangan muslim modern meyakini bahwa Alquran adalah aturan formal yang fleksibel dan dinamis, ia selalu bisa ditafsirkan dengan berbagai macam makna sesuai dengan kondisi zaman yang sedang terjadi. Benar bahwa agama adalah aturan, namun agama tidak perlu ditakuti sebagai sesuatu yang memenjarakan pemeluknya dengan aturan tersebut, sebab aturan dalam agama senantiasa mengikuti kebutuhan pemeluknya sesuai dengan kondisi zaman yang sedang terjadi.

Kurang tepat kiranya pernyataan Feuerbach mengenai sikap skeptis agama tentang kritik pemerintah maupun kritik sosial. Pedoman tentang kehidupan, kebijaksanaan, keadilan, serta kepemimpinan justru lahir dari agama. Pesan-pesan yang disampaikan agama untuk manusia sejatinya adalah kritik kepada mereka yang lalai dalam menjalankan amanat kehidupan. Amanat kehidupan manusia tidak hanya ditujukan untuk Tuhan semata, ada ibadah sosial yang harus dipratikkan oleh pemeluk agama, tentang pemimpin, bagi diri sendiri maupun untuk orang lain.

Dari segi semangat humanisme, agama hadir dalam kehidupan manusia untuk merevolusi kondisi sosial yang timpang dari sisi keadilan, agama hadir untuk melepaskan manusia dari segala bentuk penindasan. Melalui Rasulullah, kondisi sosial yang awalnya dalam keadaan carut-marut pada akhirnya mengalami pencerahan. Sastra pun demikian, ia hadir untuk mencerahkan manusia, sebab pengarang karya sastra dianggap memiliki kepekaan batiniah yang lebih tinggi dibanding manusia lainnya, karena itu tidak jarang kritik atas kesemrawutan tatanan diejawantahkan dalam sebentuk karya sastra yang sering kita sebut sebagai karya kritik sosial.

Menjadi jelas bagaimana posisi sastra dan agama, keduanya sama-sama menggugah dan menyentuh jiwa, sama-sama mengangkat isu kemanusiaan, sama-sama kritis terhadap kesemrawutan tatanan sosial, sama-sama memberikan makna bagi kehidupan. Maka tidak aneh kiranya jika kemudian lahir para sastrawan yang memadukan antara sastra dan agama, Muslim memiliki Gus Mus yang getol mengkritik pemerintahan dengan sastra relijiusnya, Kristiani memiliki Joko Pinurbo yang rajin menggelitik rasa humanisme kita dengan sajak-sajak dan prosanya. Akhirnya, tak ada lagi alasan untuk mempertentangkan entitas dan esensi sastra dan agama, sebab keduanya sama-sama bermuara pada satu titik; pendidik diri manusia serta penggugah jiwa dalam bingkai estetika.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun