Mohon tunggu...
Ameliyaros
Ameliyaros Mohon Tunggu... Dosen - Adventure Seeker I Literation Enthusiast

Knowledge is the Power I You are What You Think I Ig: @ameliyaros

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Indoktrinasi dan Latihan Aerofisiologi, Rahasia Jitu Pilot Atasi Kendala Kesehatan Fisik Saat Terbang

1 Agustus 2024   20:00 Diperbarui: 5 Agustus 2024   00:06 396
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Peserta Bersiap Melakukan Pelatihan Night Vision Trainer. (Sumber: Dokumentasi Pribadi) 

Pada saat menaiki pesawat terbang,         

Pernahkah Anda merasa adanya sumbatan ditelinga pada saat pesawat terbang yang akan take off?

Atau gejala pusing ataupun mual saat pesawat berada diketinggian tertentu ?


Mungkin sebagian dari kita pernah ataupun sering mengalaminya, atau ada juga yang tidak ada kendala apapun saat menaiki pesawat terbang. Ya, hal tersebut adalah normal. Apa yang dirasakan oleh kita, merupakan respon tubuh kita terhadap kondisi eksternal yaitu perubahan tekanan udara saat tubuh berada dalam penerbangan.

Secara ilmiah, hal ini dapat dijelaskan secara ilmiah melalui ilmu Aeorofisiologi.

Aerofisiologi, berasal dari bahasa Yunani Kuno.

"Aero" artinya, terbang atau udara  dan 

Fisiologi, yang berasal dari gabungan "Physis" (asal usul atau hakikat) dan "Logia" (kajian); kemudian disebut juga sebagai fisiologi yang merupakan serapan dari bahasa Belanda, Physiologie.  Fisiologi adalah salah satu cabang ilmu biologi yang mempelajari fungsi dari suatu organisme makhluk hidup dan bagian-bagiannya. Objek kajian fisiologi mencakup manusia, hewan, dan tumbuhan.

Jadi, Aerofisiologi adalah ilmu tentang kesehatan tubuh ketika berada dalam penerbangan atau dalam misi penjelajahan ruang angkasa.


     Gejala tersumbatnya rongga telinga ataupun mual dan pusing diatas merupakan gejala ringan, yang dapat dialami oleh siapapun. Jika hal ini dibiarkan berlangsung lama dan tidak diatasi dengan cermat, tidak menutup kemungkinan seseorang dapat terserang masalah kesehatan yang lebih berat dari sesak nafas hingga kehilangan kesadaran yang berimplikasi pada kejadian fatal. 

Beberapa Kendala Kesehatan yang Umumnya Timbul Saat Penerbangan?

1). Disbarisme

Kondisi tersumbatnya rongga telinga seseorang saat berada diketinggian udara tertentu tersebut disebut dengan masalah disbarisme. Menurut pengertian medis seperti yang dipaparkan oleh dr. Endah Wiranty, Sp.KP, M.Han selaku Kepala Bagian Mineval Aerofisiologi  Lakespra dr. Suryanto, Disbarisme adalah suatu penyakit atau kelainan yang terjadi akibat perubahan tekanan disekitar tubuh, tepatnya yang terjadi karena adanya trapped gas. Setiap tubuh manusia memiliki ruang dan rongga yang berisi udara, seperti pada rongga telinga tengah, rongga sinus, dan saluran pencernaan. Nah, sesuai dengan Hukum Boyle, saat terpapar di ketinggian udara tertentu, didalam rongga tubuh akan memuai, akibatnya terjadi gejala fisik tersebut.

 

Sumber: Informasi ILA oleh dr. Endah Wiranty, Sp.KP, M.Han.
Sumber: Informasi ILA oleh dr. Endah Wiranty, Sp.KP, M.Han.

2). Hipoksia

Hipoksia adalah kondisi dimana tubuh kekurangan oksigen (O2) dalam sel dan jaringan tubuh sehingga mengganggu sistem pernafasan. Kondisi ini sangat berbahaya karena dapat menganggu fungsi otak, hati dan organ lainnya.

Sumber: Informasi ILA oleh dr. Endah Wiranty, Sp.KP, M.Han.
Sumber: Informasi ILA oleh dr. Endah Wiranty, Sp.KP, M.Han.

        Diatas ketinggian 10.000 kaki, kandungan oksigen pada atmosfer bumi kita semakin sedikit atau dinamakan zona defisit, karena itulah gejala atau kendala kesehatan fisik seseorang biasanya mulai terjadi. Tidak hanya penumpang pesawat terbang, namun lebih jauh lagi kendala kesehatan ini dapat pula dialami oleh penerbang udara termasuk: pilot pesawat atau helikopter, prajurit TNI AU yang sedang bertugas di udara dan awak penerbang lainnya baik sipil maupun militer. Hal ini penting untuk dimitigasi karena faktor keselamatan (safety) khususnya di industri penerbangan adalah yang utama. Seorang pilot wajib untuk mempelajari dan menguasai ilmu aerofisiologi dengan baik agar saat pesawat dan penumpang dapat sampai ditujuan dengan aman.

Lantas, Bagaimana Strategi Untuk Mengatasi Potensi Kendala Kesehatan Fisik Pilot dan awak penerbang saat diketinggian udara tertentu? 

Strategi utama yang dilakukan adalah dengan Indoktrinasi dan Latihan Aerofisiologi (ILA). 

        ILA ini adalah sebuah rangkaian pelatihan dan pengayaan komprehensif khususnya yang diberikan kepada TNI-AU, pilot dan awak penerbang, untuk mengatasi berbagai potensi kendala kesehatan khususnya fisik atau tubuh manusia yang mungkin terdampak  berada termasuk isu hipoksia dan disbarisme saat berada dipenerbangan. Dalam perkembangan berikutnya, ILA ini pun meluas juga turut dipelajari tidak hanya oleh aparat militer namun juga masyarakat sipil khususnya di industri penerbangan sampai dengan publik. 

        Nah, ternyata di kota Jakarta Selatan, tepatnya di Jl. Letjen M.T. Haryono No.41, Cikoko, Kecamatan Pancoran ini, kita memiliki Pusat Indoktrinasi dan Latihan Aerofisiologi (ILA) yang tertua dan salah satu yang terlengkap di Asia Tenggara. Tempat ini bernama Lembaga Kesehatan Penerbangan dan Ruang Angkasa (Lakespra) dr. Suryanto. Lembaga ini merupakan milik TNI-AU, dimana kedudukannya dibawah dinas kesehatan TNI AU. Tempat ini berada di kawasan strategis di samping jalan raya dan cukup mudah dikenali selain dari visualisasi keberadaan nama tempat, juga dapat ditemuinya sebuah pesawat DC-3 Dakota di halaman didepan bangunan awal yang berbentuk segi delapan tersebut. 

Penasaran, bagaimana sejarah dan keistimewaan dari Lakespra dr Suryanto ini? lengkapnya dapat mengunjungi link artikel penulis berikut: Pusat ILA se-Indonesia: Terbaru, buka Aktivitas Scuba Diving untuk Publik. Simak bagaimana caranya!

Lalu, bagaimana solusi mengatasi kendala tersebut?

Mitigasi Potensi Kendala Kesehatan Awak Penerbang dengan Kegiatan ILA berikut:

1. Untuk mengatasi gejala atau kendala kesehatan hipoksia dan disbarisme saat berada di ketinggian tertentu (high altitute), dilakukan pelatihan dengan Ruangan Udara Bertekanan Rendah (RUBR) atau alat Hypobaric Chamber atau Altitude Chamber. 

Peserta Penerbang Helikopter TNI AD Sesaat Akan Melakukan Tes Matematika Sederhana dalam Hypobaric Chamber (Sumber: Dokumentasi Pribadi)
Peserta Penerbang Helikopter TNI AD Sesaat Akan Melakukan Tes Matematika Sederhana dalam Hypobaric Chamber (Sumber: Dokumentasi Pribadi)

dr Endah dan tim Lakespra Memonitor Kondisi Peserta Saat Uj Berlangsung (Sumber: Dokumentasi Pribadi)
dr Endah dan tim Lakespra Memonitor Kondisi Peserta Saat Uj Berlangsung (Sumber: Dokumentasi Pribadi)

        Dengan ruangan atau chamber yang didesain khusus ini, para awak penerbang diberikan latihan praktek dengan memberikan penggunaan selang hirup oksigen murni (o2), pada tekanan yang lebih besar dari tekanan atmosfer. Ketinggian udara diatur sedemikian rupa naik dan turun mulai dari 5.000 sampai 12.000 kaki melalui mesin panel kontrol, sehingga tekanan udaranya pun akan berubah. Latihan ini bertujuan untuk mengajarkan awak penerbang cara menyesuaikan dengan tekanan dan metode bernafas yang benar dalam ruangan. Terdapat dokter dan staff pengawas yang mendampingi para peserta atau awak penerbang yang mengikuti latihan pada RUBT ini. Sebelum dapat melakukan latihan RUBT, para peserta diwajibkan untuk memiliki kondisi kesehatan fisik yang prima termasuk dengan uji Medical Check Up. 

Peserta kurang lebih akan berada dalam ruangan ini tidak kurang dari 20 menit dan selama berlangsungnya latihan, para dokter dan instruktur pelatih mengamati gejala gangguan kesehatan yang mungkin timbul termasuk: pusing/ mual, pandangan kabur., sakit telinggam sesak nafasm genetar, kesemutan, rasa ketakutan, rasa melayang dan gejala lainnya pada peserta, kemudian selang beberapa menit kemudian secara paralel, peserta diminta mengerjakan tes matematika sederhana seperti penjumlahan dua variabel: 25+23; 27+ 39 dan seterusnya tidak kurang dari 10 halaman dimana setiap halamannya terdiri dari 20 soal. Hal ini untuk melihat seberapa jauh kesadaran, konsentrasi dan kecepatan respon peserta pada situasi ketinggian udara yang fluktuatif. Indikator kesehatan fisik peserta selain dimonitor melalui kondisi fisikya melalui jendela ruangan termasuk detak jantung dan kondisi tingkat pernafasannya. 

2.  Latihan kecepatan fisik untuk meloloskan diri dari situasi genting atau emergency escape, melalui latihan:

a). Pelatihan dengan Kursi Lontar (Ejection Seat Training)

Saat keadaan darurat seperti pesawat tertembak ataupun jika terjadi kecelakaan fatal sehingga pesawat tidak dapat terus diterbangkan, maka jalan keluar akhir (bail out), adalah pilot harus keluar dari pesawat untuk menyelamatkan diri. Pada latihan ini diajarkan bagaimana posisi tubuh yang benar termasuk dalam mengatur sikap duduk yang baik seperti kaki dirapatkan pada pedal, siku dirapatkan kebadan, dada dibusungkan, kepala disandarkan ke headrest, mengecangkan otot paha, perut, tangan dan bahu dikencangkan hingga pandangan lurus kedepan, mata terpejam. 

Saat melakukan tur edukasi ke Lakespra dr. Suryanto bersama komunitas pencinta aviasi Kompasianer Air, penulis berkesempatan untuk mencoba langsung pelatihan ini. Dipandu oleh Bp. Toto selaku staf pengajar Aerofisiologi Lakespra, saya mencoba dengan cukup deg-degan, melihat rel kursi lontar yang cukup tinggi sekitar lima meter keatas. 

Dengan menggunakan sabuk pengaman dan helmet penerbang, setelah simulasi digital dimulai, terlihat visual dasboard  pesawat yang mulai mengalami kondisi darurat dengan visualisasi  munculnya selubung asap yang menandakan mesin pesawat mengalami permasalahan terbakar, kemudian disatu titik saat peserta (pilot) merasa sudah cukup krusial, dengan sikap duduk yang sesuai dengan kondisi Standar Operating Procedure (SOP) diatas, saya menarik tuas ditengah kaki saya, dan memberikan kode teriakan: Inject, Inject, Inject sebanyak 3x, kemudian jika posisi helmet di kepala saya sudah pas menekan tombol lontar disandaran kursi pesawat, maka tidak kurang dari tiga detik, dan whoosss..saya terlontar dari kursi pesawat ke udara. 

Cukup menegangkan dan cepat sekali. Dalam Ejection Seat Training milik Lakespra yang terbaru, mesin lontar menggunakan mesin elektrik sehingga daya lontar dan goncangan yang terasa cukup halus. Sebelumnya, latihan ini menggunakan kursi lontar manual. Pada kejadian darurat sebenarnya, kursi lontar akan dilontarkan dengan roket yang berdaya lontar jauh lebih cepat dan tinggi.

Didampingi Instruktur Lakespra Bp Toto, Penulis Mencoba Latihan Kursi Lontar (Sumber Foto: Mutiah)
Didampingi Instruktur Lakespra Bp Toto, Penulis Mencoba Latihan Kursi Lontar (Sumber Foto: Mutiah)

b).  Latihan Helicopter Under Water Escape Training (HUET)

Latihan HUET ini dilakukan untuk mempersiapkan awak penerbang dapat meloloskan diri dengan baik dan tepat dari pesawat ataupun helikopter bila terjadi pendaratan darurat di air. Diutarakan oleh Ketua Lakespra dr. Suryanto, sejauh ini Lakespra dr. Suryanto, merupakan satu-satunya pusat pelatihan ILA yang memiliki fasilitas HUET. 

Disini para peserta diberikan teori penyelamatan diri yang tepat melalui presentasi teori di kelas yang bernama bina kelas, termasuk bagaimana sikap tubuh pada saat membuka sabuk pengaman di pesawat atau helikopter, posisi siku tangan melindungi tubuh, sampai dengan teknik bernafas yang baik dan benar. 

Selain penting untuk tidak menjadi panik, peserta diharapkan dapat membaca situasi dengan cermat termasuk menentukan pintu atau jendela helikopter yang nantinya perlu dibuka untuk jalan keluar menyelamatkan diri. 

Latihan HUET ini dilakukan di kolam renang Lakespra dr. Suryanto, yang memiliki kedalaman 5 meter dan diawasi oleh instruktur dan pelatih secara khusus untuk menjaga seandainya ada peserta yang kesulitan mengevakuasi dirinya dari air. Sebelum memulai pelatihan, para peserta diberikan pemanasan fisik berupa senam peregangan tubuh dan wajib menggunakan helm dan alas kaki karet untuk keselamatan. 

Penulis Berfoto Bersama Penerbang Helikoter TNI AD, Instruktur dan Tim Lakespra - Pasca Latihan HUET (Sumber: Lakespra)
Penulis Berfoto Bersama Penerbang Helikoter TNI AD, Instruktur dan Tim Lakespra - Pasca Latihan HUET (Sumber: Lakespra)

3. Untuk mengatasi Disorientasi Spacial pada saat pesawat melakukan Manuver Tinggi (High Manuever), dilakukan latihan:

a). Menangani Unfamiliar Movement dengan Basic Orientation Trailer (BOT) dan Advance Orientation Trailer (AOT)

Latihan dasar dan tingkat lanjutan ini bertujuan untuk melatih awak pesawat khususnya pilot dan co-pilot dalam mengantisipasi dan mengatasi kondisi Disorientasi Spacial pada saat terbang di angkasa. Disorientasi Spacial adalah ketidakmampuan seseorang dalam menentukan posisi, pergerakan maupun sikap tubuh atau pesawatnya terhadap permukaan bumi dan gravitasi vertikal, penerbang terhadap pesawatnya sendiri maupun pesawatnya terhadap pesawat lain.

Latihan ini menggunakan metode simulasi seperti halnya bermain permainan simulator pesawat, namun disini awak pesawat ditempatkan dalam ruangan khusus yang dapat digerakkan seperti halnya pesawat dan kondisi eksternal seperti: cuaca hujan, angin besar dan medan destinasi dapat diatur oleh pelatih. Keberhasilan peserta dinilai dari ketepatan dan kesigapan peserta dalam cara mengontrol orientasi pesawat atau helikopter mulai dari take off, terbang sampai dengan mendarat di bandara atau helipad yang tersedia, dengan kondisi ekstrem sekalipun.

Peserta Pilot Helikoper TNI AD Bersiap Memasuki Ruang Uji AOL (Sumber: Dokumentasi Pribadi)
Peserta Pilot Helikoper TNI AD Bersiap Memasuki Ruang Uji AOL (Sumber: Dokumentasi Pribadi)

Instruktur Lakespra Sedang Memberikan Uji Latihan AOL  (Sumber: Dokumentasi Pribadi)
Instruktur Lakespra Sedang Memberikan Uji Latihan AOL  (Sumber: Dokumentasi Pribadi)

b). Menguasai Acceleration dengan pelatihan Human Centrifuge (HC)

Melalui pelatihan HC ini, awak penerbang atau peserta dilatih kemampuannya dan stamina khususnya ketahanan fisik terhadap adanya kondisi akselerasi di udara termasuk gejala visual seperti black out, gray out, tunnel vision akibat gaya gravitasi (gaya G), juga mempertimbangkan kondisi cardiac system dan visual system.

Penulis Berfoto Bersama Tim Lakestra Didepan Alat Human Centrifuge (Sumber Foto: Lakespra)
Penulis Berfoto Bersama Tim Lakestra Didepan Alat Human Centrifuge (Sumber Foto: Lakespra)

4. Meminimalisir Masalah Penglihatan Malam pada Penerbangan dengan Latihan Night Vision Training (NVT).

Penglihatan seseorang terhadap suatu objek bergantung pada besaran cahaya. Pada malam hari, dengan cahaya matahari atau sorot lampu yang terbatas, umumnya seseorang akan mengalami keterbatasan penglihatan karena kondisi gelap sampai dengan kendala terjadinya night blind spot, ilusi black hole, ground light confusion, gangguan dept perception, autokinesis dan juga efek hipoksia. Untuk mengantisipasi dan meminimalisir potensi kendala tersebut, dilakukan pelatihan NVT. 

Dengan menggunakan ruangan simulasi penglihatan malam ini, disimulasikan beberapa fenomena penglihatan yang dapat terjadi pada kondisi penerbangan malam hari, sehingga awak penerbang atau peserta dapat beradaptasi dan melatih penglihatan terhadap situasi penerbangan malam dengan optimal. Latihan ini menggunakan ruangan besar yang dipersiapkan khusus dengan beberapa kondisi dan objek yang terkait dengan penerbangan, kemudian lampu ruangan dimatikan total selama tidak kurang dari tiga puluh menit. 

Peserta Bersiap Melakukan Pelatihan Night Vision Trainer. (Sumber: Dokumentasi Pribadi) 
Peserta Bersiap Melakukan Pelatihan Night Vision Trainer. (Sumber: Dokumentasi Pribadi) 

Salah Satu Maket Objek dalam Pelatihan Training (Sumber: Dokumentasi Pribadi)
Salah Satu Maket Objek dalam Pelatihan Training (Sumber: Dokumentasi Pribadi)

Dilakukan observasi terhadap respon dan prilaku peserta dalam kondisi gelap. Seiring dengan perkembangan teknologi, saat ini keterbatasan penglihatan kita pada kondisi gelap atau malam hari khususnya untuk pilot, dapat dibantu optimalisasikan juga dengan menggunakan alat tambahan yaitu kacamata khusus untuk kondisi malam hari (night vision goggles). 

Nah, itulah berbagai Indoktrinasi dan Latihan Aerofisiologi (ILA) yang dilakukan untuk mencegah dan menanggulangi kendala kesehatan fisik dari awak penerbang di udara. ILA sendiri wajib dilakukan secara berkala khususnya bagi pilot penerbang militer idealnya, tiap enam bulan  sampai satu tahun sekali, untuk menjaga kesigapan dan performa fisik dari penerbang. Menariknya lagi, biasanya pelatihan ILA ini dilakukan oleh awak penerbang di bulan ulang tahunnya, lho.


Nah, menurut teman-teman dari berbagai Pelatihan Aerofisiologi diatas, mana yang paling menegangkan dan membuat penasaran? Yuk cerita di kolom komentar :)

Terima Kasih

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun