Dia ibuku.
Wanita pembohong nomor satu di dunia.
Yang rela menyodorkan sepiring nasi dan tempe dengan gigil tangannya.
Padahal sendirinya belum bertemu nasi semenjak hari semakin menjadi.
Iya, dia ibuku.
Perutnya yang kini sudah ditopang dengan berbagai kebutuhan sandang itu.
Di sana, aku berdiam.
Sebuah tempat tinggal yang nyaman.
Tanpa gangguan.
Sembilan bulan sepuluh hari.Â
Ragam siksa kuberikan.
Makanan yang dengan mudah keluar masuk.
Mempermainkan saluran pencernaannya.
Pusing syaraf dan urat nadinya.
Kian purnama kian membulat.
Memberat.Â
Sungguh beban berat. Itu aku.
Dia ibuku.
Wanita dengan tiga gelambir di perutnya.
Gelambir paling atas sumbangsih.
Gelambir kedua sumbangsih adik perempuanku.
Dan gelambir ketiga untuk adik lelakiku.Â
Kami mencabik pembuluhnya.
Memberinya rasa sakit dikuliti hidup hidup.
Ditusuk jarum dan berdarah.
Terima kasih wanita tiga gelambir,
karena masih bersama kami.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H