Mohon tunggu...
Amelina Junidar
Amelina Junidar Mohon Tunggu... Guru - Guru SD Islam Al Azhar 67 Bukittinggi

Nama pena Elina Ajrie. Ibu rumah tangga. Hobi coret-coret semenjak kelas 3 SD. Sudah memiliki sekitar 6 buku puisi solo dan 20 antologi cerpen-puisi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sang Imam Hati

30 Maret 2023   22:30 Diperbarui: 30 Maret 2023   22:34 130
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Ramadhan. Kau datang lagi. Sudah setahun berlalu sejak kisahku membeku di ujung waktu. Memori indah, walau judulnya yang 'bertepuk sebelah tangan' jelas-jelas sendu. Syukurlah, ujian zina hati itu telah berakhir. Kini, kuputuskan menjadi diri baru dengan tampilan hijab menjulur hingga dada. Sejalan dengan itu, juga belajar bagaimana perempuan mestinya menundukkan pandangan.

          Kang Ali. Rasanya aku tak punya muka lagi jika Allah mempertemukan kita kembali. Aku malu. Mengapa dulu seorang gadis tanpa kerudung berani-beraninya menguber-uber seorang mu'adzin yang notabene pesantren made. Mujur tak sampai seperti Siti Zulaikha yang menghalalkan segala cara. Ya Allah, berulang-ulang kali aku mengelus dada mengenang masa-masa kelabu itu.

***

 "Assalamu'alaikum Pak Buk, Sore. Sibuk toh? Alhamdulillah iya Pak, saya dipercaya lagi di Ramadhan tahun ini. Ditunggu kedatangannya di mushalla ya Pak." Seorang pemuda berkopiah, baju koko putih, dan sarung motif tenun dari kejauhan kulihat tengah beramah tamah dengan bapak ibu yang kebetulan sedang beres-beres menyambut satu Ramadhan.

Mataku seperti terpantik menyadari sesuatu. Segera, kusematkan ujung hijab yang panjang ke sudut kiri wajah membentuk cadar. Kubereskan sapu lidi dan serokan lalu melangkah cepat ke dalam rumah. Sejurus kilatan cahaya, kedua bola mata teduh itu menyapaku.

"Assalamu'alaikum ukhti..." Sapaannya nyaris menghentikan langkahku. Detak jantungku langsung tak karuan. "Waalaikumussalam." Jawabku sambil tetap meneruskan maksud awalku. Dari balik pintu, kuintip sosoknya yang masih berdiri disana, tak bergerak sedikitpun. Mungkin ia heran mengapa sambutanku tak sesumringah warga lain.

"Ali..." Seorang bapak tua berpakaian serupa bersorak dari mushalla tak jauh dari kediamanku. Sigap, pemuda yang dipanggil 'Ali' tadi menuju ke sumber suara sebelum sempat menyelesaikan teka-teki yang muncul di pikirannya.

***

 Kang Ali memang memiliki daya tarik tersendiri di hati setiap warga kampung kami. Ia sudah dianggap seperti putra kampung, walaupun statusnya hanya sebatas muadzin perantau. Setiap ramadhan, mushalla pasti selalu hidup dengan kehadirannya. Apalagi para ibu yang senantiasa menyalaminya selepas witir dan menawarinya datang ke rumah untuk berbuka atau sahur bersama. Niatnya tak lain tak bukan ingin mengkhitbah Kang Ali menjadi mantu mereka. Kuhela nafas panjang berkali-kali. Sudahlah kalau jodoh tak akan kemana, pikirku. Allah sajalah yang tahu isi hatiku. Tiada perlu kuumbar-umbar.

 Perihal shaf, kini aku lebih menyukai deret paling belakang. Bukan tak paham dengan keutamaan shaf depan, tapi aku tak mau kekhusyukanku buyar dan syetan memanfaatkan kelemahanku. Sehabis witir, aku bergegas pulang sebelum disuruh bapak marbot memimpin tadarus. Bukan tak mau, tapi aku lebih mau belajar menjaga nada sanubariku yang berantakan daripada menjaga bacaan quranku yang jauh lumayan.

Memang tak selamanya Allah mengizinkanku mengelak. Kala itu aku tergabung dalam panitia konsumsi tim ramadhan. Sewaktu akan mengangkat baki mengantarkan minum untuk para tamu, aku kaku ditempatku. Kang Ali tepat di depanku. Baki yang kupegang nyaris oleng.

 "Hati-hati ukh..." Kang Ali maju mengulurkan tangannya kalau-kalau gelas itu bertaburan memecah lantai.

"Maaf.." kuletakkan baki itu dengan cepat ke tempatnya, kucadari wajahku, dan berlalu begitu saja tanpa memanjangkan kata lebih banyak. Sebelum kembali masuk mushalla, aku minta tolong pada Ratna untuk mengantarkan makanan minuman yang tadi kutinggal.

***

 Ada saja cara Allah merebut hatiku dengan cintaNya, Dia tak mau aku membaginya dengan siapapun. Dia tak rela aku dilanda galau, maka setiap siang sampai sore aku diberi amanah menemani anak-anak ngabuburit dengan mendengar kisah Nabi. Aku menyanggupi, karena pasti jam segitu Kang Ali tidak berada di mushalla, ia mengajar di pesantren almamaternya. Aman.

Melihat reka bahagia anak-anak satu persatu, aku jadi iri. Mengapa mereka bisa setenang itu menghadapi hidup. Tak satupun masalah mampu menghapus senyum mereka. Rasanya ingin sekali aku kembali seumur mereka.

 Saat aku sibuk bercerita tentang Nabi Adam, kurasakan pundakku diketuk-ketuk seseorang. Ketika kulengoskan kepalaku, tangan mungil itu memberiku sepucuk surat. Dari siapa, pikirku? Ia mengangkat bahu. Diluar hanya ada bapak marbot, mana mungkin beliau.

Malam itu kuputuskan beri'tikaf di kamar, dengan tetap mengenakan mukena. Bismillah, kubuka surat yang sedari sore membuatku penasaran.

Assalamu'alaikum ukhti. Beriring lukis sang tinta, terbersit harap dalam hati agar dirimu senantiasa dilindung Dzat Maha Tinggi. Amin. Afwan jikalau surat ini mengganggu harimu yang selalu berseri. Akhi hanya ingin mengakhiri drama yang akhir-akhir ini mengitari hati sanubari.

Ukhti Maryam, sejujurnya aku sangat terkejut dengan perubahanmu. Hijab yang kau kenakan itu menegaskan ikhtiar besar dalam dirimu. Lakumu pun berubah tiada mau lagi bertemu pandang denganku, kau selalu berusaha menghindar apabila tak sengaja kita bertemu. Kau yang dulunya selalu semangat bertadarus malah menghilang lebih awal sehabis witir. Dan terakhir saat pandang kita bertemu saat menjadi panitia tim ramadhan. Kau langsung berlalu tanpa menyelesaikan tugasmu. Aku mafhum akan semuanya. Dari awal pertemuan kita kembali di halaman rumahmu, sekilas lalu aku mengenali sorot mata itu. Takkan pernah kulupa.

Sejujurnya tiada ingin kuulur waktu, ingin kusunting dirimu menjadi khadijahku, Ukhti. Allah telah mengaitkan hati ini padamu. Aku ingin menikahimu, Ukhti Maryam. Jadilah ibu dari anak-anakku. Ingin kuhabiskan sisa ramadhan bersamamu, dan menyambut syawal dengan kemenangan hakiki.

 Tanpa terasa mukenaku basah dengan air mata, aku bersujud memuji Dzat Yang Maha Penyayang. SayangNya benar tiada berbilang. Maka jadilah 15 ramadhan, aku resmi menyanding diri dengan Kang Ali, imam hatiku. Ia telah halal bagiku dan aku telah halal baginya. Separuh ibadah telah kusempurnakan bersamanya.         

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun