"Hati-hati ukh..." Kang Ali maju mengulurkan tangannya kalau-kalau gelas itu bertaburan memecah lantai.
"Maaf.." kuletakkan baki itu dengan cepat ke tempatnya, kucadari wajahku, dan berlalu begitu saja tanpa memanjangkan kata lebih banyak. Sebelum kembali masuk mushalla, aku minta tolong pada Ratna untuk mengantarkan makanan minuman yang tadi kutinggal.
***
 Ada saja cara Allah merebut hatiku dengan cintaNya, Dia tak mau aku membaginya dengan siapapun. Dia tak rela aku dilanda galau, maka setiap siang sampai sore aku diberi amanah menemani anak-anak ngabuburit dengan mendengar kisah Nabi. Aku menyanggupi, karena pasti jam segitu Kang Ali tidak berada di mushalla, ia mengajar di pesantren almamaternya. Aman.
Melihat reka bahagia anak-anak satu persatu, aku jadi iri. Mengapa mereka bisa setenang itu menghadapi hidup. Tak satupun masalah mampu menghapus senyum mereka. Rasanya ingin sekali aku kembali seumur mereka.
 Saat aku sibuk bercerita tentang Nabi Adam, kurasakan pundakku diketuk-ketuk seseorang. Ketika kulengoskan kepalaku, tangan mungil itu memberiku sepucuk surat. Dari siapa, pikirku? Ia mengangkat bahu. Diluar hanya ada bapak marbot, mana mungkin beliau.
Malam itu kuputuskan beri'tikaf di kamar, dengan tetap mengenakan mukena. Bismillah, kubuka surat yang sedari sore membuatku penasaran.
Assalamu'alaikum ukhti. Beriring lukis sang tinta, terbersit harap dalam hati agar dirimu senantiasa dilindung Dzat Maha Tinggi. Amin. Afwan jikalau surat ini mengganggu harimu yang selalu berseri. Akhi hanya ingin mengakhiri drama yang akhir-akhir ini mengitari hati sanubari.
Ukhti Maryam, sejujurnya aku sangat terkejut dengan perubahanmu. Hijab yang kau kenakan itu menegaskan ikhtiar besar dalam dirimu. Lakumu pun berubah tiada mau lagi bertemu pandang denganku, kau selalu berusaha menghindar apabila tak sengaja kita bertemu. Kau yang dulunya selalu semangat bertadarus malah menghilang lebih awal sehabis witir. Dan terakhir saat pandang kita bertemu saat menjadi panitia tim ramadhan. Kau langsung berlalu tanpa menyelesaikan tugasmu. Aku mafhum akan semuanya. Dari awal pertemuan kita kembali di halaman rumahmu, sekilas lalu aku mengenali sorot mata itu. Takkan pernah kulupa.
Sejujurnya tiada ingin kuulur waktu, ingin kusunting dirimu menjadi khadijahku, Ukhti. Allah telah mengaitkan hati ini padamu. Aku ingin menikahimu, Ukhti Maryam. Jadilah ibu dari anak-anakku. Ingin kuhabiskan sisa ramadhan bersamamu, dan menyambut syawal dengan kemenangan hakiki.
 Tanpa terasa mukenaku basah dengan air mata, aku bersujud memuji Dzat Yang Maha Penyayang. SayangNya benar tiada berbilang. Maka jadilah 15 ramadhan, aku resmi menyanding diri dengan Kang Ali, imam hatiku. Ia telah halal bagiku dan aku telah halal baginya. Separuh ibadah telah kusempurnakan bersamanya.     Â