Risiko bencana memang erat berhubungan dengan perilaku manusia sekitar. Risiko bencana dapat diperkecil dengan upaya meningkatkan kesadaran dan kepedulian masyarakat terhadap lingkungan. Sadar akan terjadinya menjadi hal penting dalam mempertahankan rasa peduli dalam menjaga lingkungan. Pendidikan kebencanaan seharusnya dapat meningkatkan pengetahuan masyarakat akan penanganan serta pencegahan bencana.Â
Kepedulian dan solidaritas setiap warga perlu ditumbuh-kembangkan agar terbentuk sikap sosial masyarakat dalam penanggulangan korban bencana. Mengingat bencana yang terjadi tidak terduga, perlu ditingkatkannya rasa kepedulian dan sadar antar masyarakat untuk saling menjaga. Diperlukan adanya rasa empati dan kepedulian setiap warga terhadap warga yang lain, terutama dalam menangani bencana yang mungkin terjadi.
Namun, pada faktanya banyak masyarakat yang masih acuh dengan hal ini karena merasa bencana belum terjadi, sehingga tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Mengubah pola pikir masyarakat memang tidak mudah, seseorang harus menyadari keselamatan dirinya sendiri dan sekitar. Melalui kebiasaan, kesiapsiagaan, dan kearifan lokal terhadap pencegahan bencana dengan cara simulasi dan mempraktikan keadaan saat bencana terjadi.
Masyarakat di Indonesia cenderung masih banyak memiliki sifat reaktif. Artinya, setelah kejadian bencana baru sadar pentingnya mitigasi bencana. Untuk itu, beberapa pendekatan psikologis diperlukan agar masyarakat bisa diajak untuk sadar akan mitigasi. Mereka hanya mengikuti takdir alam dan tidak mau ambil pusing terhadap perkara bencana.Â
Sikap apatis ini jelas akan merugikan masyarakat itu sendiri karena mereka yang akan menanggung risiko bencana. Sikap masa bodoh dan tidak peduli yang lahir dari kurangnya pemahaman akan arti kebencanaan dan mitigasinya, beresiko besar terhadap jatuhnya korban bencana. Sehingga, edukasi ini seharusnya menjadi program yang terus-menerus dilakukan agar menjadi habits (kebiasaan positif) masyarakat yang dilakukan secara sadar dan masif.
Masyarakat Mengantisipasi Tanda Bencana
Tidak hanya itu, peran pemerintah dalam mitigasi juga sangat diperlukan. Terutama dalam pembentukan regulasi dan kebijakan. Masyarakat dan pemerintah dapat melakukan penanganan tahap pra-bencana, yang mana berarti pencegahan dan mitigasi. Tahapan ini dapat dilakukan secara struktural maupun kultural (non struktural). Secara struktural upaya yang dilakukan untuk mengurangi kerentanan (vulnerability) terhadap bencana adalah rekayasa teknis bangunan tahan bencana. Sedangkan secara kultural upaya untuk mengurangi kerentanan (vulnerability) terhadap bencana adalah dengan cara mengubah paradigma, meningkatkan pengetahuan dan sikap sehingga terbangun masyarakat yang tangguh.
Selanjutnya, memasuki Tahap kesiapsiagaan yang mana dilakukan menjelang sebuah bencana akan terjadi. Pada tahap ini alam sudah menunjukkan tanda atau sinyal bahwa bencana akan segera terjadi. Maka pada tahapan ini, seluruh elemen terutama masyarakat perlu memiliki kesiapan dan selalu siaga untuk menghadapi bencana tersebut. Diperlukan adanya Rencana Kontinjensi, yaitu proses identifikasi dan penyusunan rencana yang didasarkan pada keadaan kontinjensi atau yang belum tentu tersebut.Â
Untuk masyarakat yang tetap acuh, harus diperingati dengan tanda dari lembaga resmi sekitar. Masyarakat harus bekerja sama dengan pemerintah setempat untuk menyusun langkah-langkah pencarian dan penyelamatan serta rencana evakuasi untuk daerah yang mungkin menghadapi risiko dari bencana berulang. Jika masyarakat sekitar tetap acuh, harus adanya surat resmi penegasan bagi mereka yang mau diselamatkan.Â
Selain mitigasi bencana, diperlukan juga adanya  difusi inovasi dan informasi agar masyarakat tidak acuh pada tanda-tanda bencana. Dengan memberikan inovasi baru seperti saluran dan media peringatan, masyarakat akan lebih sadar akan bahaya yang akan terjadi. Inovasi baru tersebut dapat berupa penggunaan alat komunikasi handy talkie yang dibagikan merata, menerjemahkan data dari sinar pemancar dalam bentuk grafik untuk ditujukan langsung kepada seluruh masyarakat sekitar, serta mengadakan komunikasi melalui kelompok-kelompok yang ada.
Penggunaan alat komunikasi sirine dan kentongan masih bisa digunakan sebagai alat komunikasi yang diandalkan untuk menyampaikan informasi bahaya bencana. Dengan bunyi peringatan yang nyaring, masyarakat akan merasa lebih was-was dengan keadaan sekitar.Â