Walaupun saat ini fokus dunia ada pada penanganan virus COVID-19, Climate Change tetap menjadi masalah utama terhadap eksistensi manusia di Bumi. Climate Change atau perubahan iklim merupakan perubahan pada curah hujan, suhu, pola angin, dan keadaan alam lainnya secara drastis dalam kurun waktu cepat.Â
Dilansir dari laman resmi Kementerian Lingkungan Hidup khususnya Knowledge Centre Perubahan Iklim, organisasi dunia yaitu Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menjelaskan bahwa perubahan iklim merupakan gejala yang disebabkan oleh aktivitas manusia baik secara langsung maupun tidak langsung. Perubahan tersebut meliputi perubahan komposisi atmosfer global serta variabilitas iklim alami pada periode yang dapat diperhitungkan. Komposisi material atmosfer bumi yang terlibat dalam perubahan iklim adalah Metana, Nitrogen, dan Karbon Dioksida.
Climatelinks menyatakan bahwa hampir 90 persen bencana yang terjadi di Indonesia pada periode tahun 1982-2012 merupakan bencana yang berkaitan dengan keadaan cuaca alam. Penyebab terbesar perubahan iklim adalah kenaikan jumlah gas rumah kaca karena menyebabkan kenaikan pemanasan global di bumi. Bumi yang terasa lebih panas menyebabkan beberapa kerusakan lain seperti kekeringan, penipisan lapisan ozon serta timbulnya penyakit baru.Â
Gas rumah kaca paling banyak dihasilkan melalui aktivitas manusia seperti pembakaran batu bara, minyak, dan gas alam, aktivitas agrikultur dan perubahan penggunaan lahan, serta asap kendaraan dan industri. Perubahan iklim mengubah frekuensi dan intensitas bencana yang berkaitan dengan cuaca seperti banjir, kekeringan, dan tanah longsor.
Baca juga: Ribuan Ikan dalam Kondisi Terdampar di Sungai Tampa Garam Kota Sorong
Tidak hanya itu, berbagai negara juga kerap mengalami perubahan-perubahan iklim dan ditandai perubahan keadaan alam yang drastis. Salah satunya adalah The South West Upper Tana Basin yang berada di Kenya, telah mengalami peningkatan abstraksi air dan sungai. Â Perubahan iklim yang juga terjadi di Amerika Serikat, salah satunya adalah meningkatnya peristiwa polarisasi dalam beberapa tahun terakhir ini. Para ahli melalui irisan politik dan argumen ilmiahnya menganggap serius perubahan iklim antropogenik tersebut.Â
Keadaan darurat berarti bahwa jika kita tidak bertindak atau menanggapi dampak perubahan iklim dengan mengurangi emisi karbon kita, mengurangi produksi ternak kita, mengurangi pembukaan lahan dan konsumsi bahan bakar fosil, dampaknya mungkin akan lebih parah daripada yang kita alami saat ini. Itu bisa berarti ada area di Bumi yang tidak dapat dihuni lagi oleh manusia.
Para pemimpin dunia telah berkumpul dan berkomitmen untuk menanam satu triliun pohon dalam Forum Ekonomi Dunia (Januari, 2020). Walaupun menanam pohon ini memang dibutuhkan, tapi hal tersebut bukan hanya untuk menyelamatkan bisnis yang bersumber dari alam. Untuk upaya jangka panjang, menanam pohon lah salah satu cara yang bisa menyelamatkan eksistensi manusia di Bumi. Membangun hutan bukan menjadi tujuan utama dari komitmen tersebut, karena terlalu kompleks untuk dijadikan satu-satunya solusi perubahan iklim.Â
Menjaga keseimbangan alam menjadi tanggung jawab semua individu di dunia. Pasalnya, ini menyangkut eksistensi manusia di bumi khususnya dalam kebutuhan yang dihasilkan dari alam. Selain menanam satu triliun pohon, meregenerasi habitat alam juga diperlukan, serta pengekangan tarif deforestasi global.Â
Segala solusi berbasis alam harus menjadi fokus utama dalam penanganan climate change ini. Maka dari itu, kini para ahli lebih memfokuskan pada upaya-upaya yang melibatkan sumber energi alam untuk mengatasi perubahan iklim yang semakin parah. Dimulai dari upaya kecil, hingga melibatkan seluruh pemimpin di dunia.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H