Terlalu banyak hal tidak penting hadir beriringan dengan kisah lembaran hidup semesta.Â
Tanpa tahu dengan jalan takdir mana dan seperti apa manusia akan dipertemukan.
Berkali-kali harus menghadapi hujan, badai, panas, dingin demi mencapai langkah selanjutnya.
Tampak semua bahagia dengan pilihannya masing-masing, walaupun terus mengingkari kebenaran.
Yakin bahwa yang dimiliki sekarang adalah hak miliknya dan merasa berhak diperlakukan sesuai keinginannya.Â
Tak menghiraukan takdir yang sudah jelas-jelas menolak, beserta Tuhan yang juga berkata tidak.Â
Tetap pada pilihannya tanpa mendengarkan bisikan Tuhan bahwa sudah ada yang lebih baik daripada pilihannya.Â
Mendefinisikan yang baik akan tetap baik, dan yang buruk tidak akan pernah tidak buruk selamanya.Â
Penilaian yang tanpa pernah menyertakan penjelasan, dan mengartikan semuanya hanya dengan bermodal penglihatan.
Salah satunya adalah perihal harapan.Â
Hal kecil namun berpengaruh besar dalam kelanjutan hidup setiap makhluk, menemukan seseorang untuk dijadikan penyemangat, prioritas, bahkan tempat untuk berkeluh kesah.Â
Menyambut hari dengan senyum karena ada sosok yang di rindukan untuk bertemu.Â
Bahkan macetnya jalan raya dan terik mentari tidak menjadi penghambat untuk bertemu si pewarna hati.Â
Berbagai cara dilakukan agar dapat melihat senyumnya, mengutamakan modal finansial dan tampilan agar bisa mendapatkan apa yang di inginkan.
Namun tidak bagi beberapa orang, termasuk Axila, jatuh cinta sungguh bukan hal yang penting.Â
Membuang waktu hanya untuk memikirkan sedang apa dia si pewarna hati atau merepotkan diri dengan selalu mengawasi akun social media miliknya.
Masih banyak hal yang lebih penting baginya, ia tidak punya waktu untuk memikirkan hal-hal seperti itu.Â
Terlebih lagi, jika hal-hal itu dilakukan terhadap dia yang tidak pantas mendapatkannya.Â
Berkorban banyak hal demi orang yang tidak tahu terimakasih, memprioritaskan dia yang bahkan kesehariannya sibuk dengan orang lain, itulah bagaimana rasanya mencintai tanpa dicintai.
Bukannya Xila tidak pernah merasakannya, hanya saja itu sudah bukan untuk masa sekarang lagi.Â
Itu dulu. Masa dimana setiap waktu ingin selalu bersamanya, menanyakan kabarnya, dimana dirinya saat itu
Yah, hal-hal seperti itu menurutnya kekanak-kanakan jika harus terus dilakukan dalam setiap hari terhadap orang yang sama.Â
Mungkin akan bahagia juga dilakukan dua arah bersamanya, jika tidak? Sudah siap berharap sendirian?
Dulu Xila pun pernah merasakannya, seperti apa rasa ingin selalu ditemani, disayang, didampingi, diberi kabar, menghabiskan waktu berdua, dan hal -- hal manis lainnya.
Tapi itu semua jauh sebelum hatinya berhenti dan merasa lelah karena dibodohi oleh perasaan.
Sebelum dikecewakan berkali-kali, hingga kini merasakan indahnya pun sulitÂ
Ia selalu memberi batas yang tinggi agar tak berharap pada seseorang yang nantinya hanya akan membuat hati kecewa lagi.Â
Saat dimana hatinya masih bisa merasa bahagia hanya karena hal-hal kecil yang di lakukan oleh dia si pewarna hati benar-benar tak bisa dijelaskan, Xila tertawa dengan mudah dan begitu juga dengan kecewa.Â
Hal yang sangat kecil bisa mengubah suasana hatinya dalam sekejap, warna-warni perasaan yang terus berubah dari waktu ke waktu, dimana dia si pembuat bahagia dan dia si pembuat kecewa ada pada orang yang sama.
Masa sebelum hati Xila berubah menjadi dinding besar yang dingin dan kaku.Â
Menjadi sesuatu yang dibentengi dengan lapisan tak terhitung.
Tidak bisa merasakan apapun saat hadirnya hujan, angin, bahkan api sekalipun.Â
Dengan dibalut berbagai ketegasan dan prinsip yang kokoh, terlihat sangat tidak menarik untuk didatangi.Â
Mengusir semua yang datang tanpa mendengarkan alasan kedatangannya, menilai sepihak tanpa penjelasan, menganggap semua yang datang hanya akan merusak benteng dan keindahan yang ada didalam lapisan-lapisan tersebut.Â
Dan saat itu juga, Xila jauh dari apa yang disebut logika.
Hidupnya pernah sangat sempurna karena sosok pria manis dengan bulu mata sangat lentik.Â
Sampai suatu pagi Xila terbangun dan menyadari bahwa ia telah mengakhiri segala mimpi indah itu.Â
Kini dirinya benar-benar mengerti seperi apa rasanya dibuang, hingga  menjadi sosok yang terlalu pemilih untuk siapa yang akan diajak berjuang lagi bersama-sama.
Karna sesempurna apapun sosok yang baru, tetap saja tidak ada perempuan yang ingin mengulang kembali dari nol, melakukan penyesuaian lagi, saling mendekatkan lagi, memahami lagi, meminta restu pada semesta lagi, pengenalan lagi dan menceritakan kisah hidupnya lagi.Â
Tidaklah mudah memberi kesempatan pada dia si sosok baru saat hati Xila sudah terbiasa terluka, memberi kepercayaan saat hati terbiasa akan kecewakan pada dia yang masih baru.Â
Saat dimana perempuan harus meninggalkan bangunan besar yang sudah dicapainya dalam waktu yang tidak sebentar hanya demi sebuah tanah kosong.Â
Memang bisa saja mungkin nantinya akan jadi bangunan yang lebih baik,Â
namun setelah begitu lamanya membangun, menanti hari saat semuanya sudah sempurna, menyusun peluh demi kokohnya hubungan,Â
bagaimana bisa pada akhirnya hanya untuk ditinggalkan demi tanah kosong yang bahkan tidak ada artinya?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H