Kamboja merupakan salah satu negara yang berada di wilayah Asia Tenggara. Negara ini memperoleh kemerdekaannya dari Perancis tanggal 19 November 1953. dan setelah itu Pangeran Sihanouk langsung menjabat sebagai kepala negaranya. Politik Luar negeri Kamboja di awal pemerintahan Pangean Sihanouk adalah mengamankan integritas wilayah dan kedaulatan negaranya, membuka hubungan diplomatik dengan negara lain, mempertahankan keanggotaannya di PBB, dan yang terakhir adalah mengupayakan bantuan asing untuk pembangunan negaranya.
Konstelasi politik saat itu sudah terbagi ke dalam dua kekuatan, AS dan Soviet. Dan saat itu Kamboja sudah mulai berhaluan Barat, pertama karena Kamboja menjalin kerjasama dengan Perancis (untuk mendapatkan legitimasi, pengakuan, dan kerjasama Internasional) dan Kamboja juga berusaha untuk mendapatkan pengakuan dari negara-negara Barat, terutama Amerika. Dan Kamboja menggangap Vietnam Utara, yang di dukung oleh Cina, sebagai ancaman bagi kemerdekaannya.
Dari awal kemeredekaannya, negara ini sudah mulai mengalami banyak masalah internal, seperti munculnya ketegangan politik dan bangkitnya pergolakan menjelang pemilu. Pergolakan politik internal di Kamboja ini terjadi ketika pada tahun 1955, Pangeran Sihanouk membentuk Partai Sangkum untuk di ikut sertakan pada pemilu. Meskipun pada akhirnya partai ini behasil memenangkan kursi di DPR, tapi di dalamnya partai ini mengalami perselisihan antara golongan tua dan muda. Golongan muda menganggap golongan tua mempertahankan kedudukannya dan enggan memberikan kesempatan bagi golongan muda. Selain itu terdapat pula perselisihan antara golongan pedagang (yang mayoritas terdiri dari keturunan Tionghoa dan Vietnam) yang mengendalikan perekonomian Kamboja.
Untuk menyelesaikan masalah tersebut, Pangeran Sihanouk membentuk Kabinet Pangeran Norodom Kantol, dengan menunjuk ketua DPR menjadi Perdana Menteri dan menjalankan pemerintahan. Dalam kabinet ini, Jenderal Lon Nol dipilih sebagai Menteri Pertahanan.
Meskipun terjadi perselisihan antar pemimpin Sangkum, namun tidak ada yang berani menentang Pangeran Sihanouk karena kekuasaan dan popularitasnya yang besar di kalangan masyarakat. Hanya Lon Nol yang berani menentang penguasaan Pangeran Sihanouk. Dengan mendapatkan dukungan dari AS pada tahun 1970, Lon Nol melancarkan kudeta untuk menjatuhkan pemerintahan Sihanouk dan merubah bentuk kerajaan menjadi Republik yang diberi nama Republik Khmer. Khmer adalah nama bangsa dari Kamboja.
Alasan Lon Nol melakukan kudeta terjadi karena beberapa sebab: pertama Pangeran Sihanouk mengizinkan pasukan sementara Vietnam Selatan menduduki wilayah Kamboja, dan hal tersebut jelas-jelas dianggap sebagai pelanggaran terhadap kedaulatan Kamboja. Kedua, Pangeran Sihanouk dianggap otoriter karena bertindak tanpa memperhatikan Undang-Undang dan Konstitusi. Ketiga, karena Pangeran Sihanouk bersifat pilih kasih terhadap keluarga dalam memilih orang-orang yang akan duduk dalam kursi pemerintahan. Dan yang terakhir, Pangeran dituduh membiarkan terjadinya korupsi diantara keluarga - keluarga kerajaan.
Di bawah penguasaan Lon Nol, Kamboja menjadi negara yang pro-Barat. Kerjasama antara Kamboja dan Amerika pun terjalin. AS memakai kamboja untuk melawan Vietnam Utara. Bagi AS sendiri, sikap pro Barat Kamboja berguna untuk membendung masuknya komunis di wilayah Asia Tenggara. Pada saat itu dikenal konsep domino effect yang menyatakan apabila satu negara mengadopsi faham komunis, maka negara tersebut akan menyebarkan pengaruhnya ke negara terdekatnya. Dan begitu seterusnya hingga semua wilayah tersebut menganut faham komunis. Di bawah pengaruh AS Kamboja menjadi negara yang bersifat bebas dan terbuka.
Tetapi pemerintahan Lon Nol tidak bertahan lama. Pada tahun 1975 Pemerintahan Khmer Republic dijatuhkan oleh Democratic Kampuchea (DK) di bawah rezim Khmer Merah, dengan Pol Pot sebagai pemimpinnya.
Terinspirasi oleh konsep ”Revolusi Budaya” di Cina dan sikapnya yang sangat pro- terhadap kaum proletar (petani dan buruh), Pol Pot mengumpulkan pasukannya dan mengkudeta Jendral Lon Nol dan menduduki Pnom Penh.
Peralihan kekuasaan dari Lon Nol ke Polpot berlangsung dengan cepat karena di akhir-akhir masa pemerintahannya, rakyat kamboja, khususnya para petani telah kehilangan rasa respect-nya terhadap Lon Nol, salah satu alasannya adalah ketika AS melakukan pemboman terhadap sawah, pagoda, dan rumah-rumah petani Kamboja sehingga memaksa para petani untuk meninggalkan kampungnya dan tinggal di kota-kota.
Dibawah pemerintahan Pol Pot inilah Kamboja menjadi negara beraliran komunis dan terisolir dari hubungan diplomatik. Ia memutuskan hubungan dengan negara-negara di kawasan regionalnya dan di belahan dunia lainnya, kecuali dengan Cina, Vietnam, dan Swedia. PBB pun tidak mengakui adanya pemerintahan ini.
Segera setelah berhasil menduduki Pnom Penh, Pol Pot yang megusung konsep Marxisme-Leninisme, menyerukan kepada seluruhrakyat Kamboja yang tinggal di Pnom Penh dan kota-kota besar lainnya, untuk pindah ke desa dan mengosongkan kota-kota dalam beberapa hari. Menurut Pol Pot, kota-kota besar seperti Pnom Penh di anggap sebagai basis dari kaum aristokrat dan penghambat revolusi.
Di desa, rakyat Kamboja di paksa untuk bekerja menjadi petani dan bekerja di pabrik tekstil, semen, botol,gelas, dan pengolahan karet. Pol Pot melatih orang-orang yang umurnya jauh lebih muda dan tidak berpendidikan untuk menjadi tentara. Tentara-tentara inilah yang bertugas mengeksekusi orang-orang yang dianggap berpendidikan dan berpengaruh, dan orang-orang yang dulunya menjadi staf pemerintahan Lon Nol. Selain itu rakyat kamboja dilarang untuk beragama, dan melenyapkan sejumlah rakyat Kamboja yang merupakan keturunan dari Vietnam dan Tionghoa.
Pada masa ini, orang-orang yang kesulitan hidup di desa, meninggal karena karena tidak dapat bertahan hidup dengan semua aktivitas dan shock therapy yang ada. Mereka di wajibkan untuk bekerja selama enam belas jam sehari dengan makanan yang sangat sederhana, dan mereka juga dilarang untuk betemu keluarga dan suami/isteri mereka.
Politik Luar Negeri yang di jalankan oleh Demokratik Kampuchea ini disebut sebagai konsep Year Zero, yaitu revolusi destruktif yang mengakibatkan terjadinya pembunuhan secara massal dalam suatu periode. Pemerintahan DK bertanggung jawab terhadap pembunuhan dua juta penduduk Kamboja (dari 7 juta jumlah keseluruhan penduduk), diakibatkan tindakan eksekusi, kelaparan, penyakit, dan beban kerja yang berlebihan.
Rejim Pol Pot resmi dijatuhkan pada tanggal 7 Januari 1979, ketika Vietnam menginvasi Kamboja dan mendukung berdirinya People’s Republic of Kampuchea (PRK) yang dipimpin oleh Hun Sen. Invasi ini dilakukan sebagai reaksi atas beberapa kebijakan Pol Pot terhadap Vietnam: pertama, karena perlakuan rejim Pol Pot yang semena-mena terhadap sekitar 50 ribu keturunan Vietnam di Kamboja, hingga membuat banyak diantaranya melarikan diri ke Vietnam. Kedua, Tindakan Pol Pot yang menyerang wilayah Vietnam, baik dalam wilayah Kamboja Krom (wilayah Kamboja yang diperoleh Vietnam sebelum penjajahan Perancis), maupun ke wilayah Vietnam itu sendiri, telah memancing reaksi serangan balasan dari Vietnam.
Tindakan Vietnam tersebut mendapat tentangan dari ASEAN yang menganggap invasi tersebut malah akan semakin memperkeruh stabilitas keamanan di Kamboja dan tindakan tersebut sangat tidak sesuai dengan prinsip-prinsip piagam PBB dan Deklarasi Bandung, yang meminta kepada seluruh anggota untuk menghormati kemerdekaan, kedaulatan, dan integritas negara lain.
Di Internal Kamboja sendiri, bentuk penentangan terhadap invasi Vietnam dan PRK, muncul dari tiga partai besar; Demokratik Kampuchea, Khmer People’s National Liberation Front, dan FUNCINPEC, yang akhirnya memutuskan untuk berkoalisi dengan membentuk Coalition Government of Democratic Kampuchea (CGDK), dengan Pangeran Sihanouk menjadi ketuanya. Kelompok ini mendapat dukungan oleh Cina, Amerika, dan ASEAN.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H