Mohon tunggu...
Amelia Zahra
Amelia Zahra Mohon Tunggu... Mahasiswa - Fakultas Hukum Universitas Indonesia

Mahasiswa semester satu yang tertarik dengan isu hukum

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kekerasan Seksual Menghantui Seluruh Perempuan dan Anak di Indonesia: Dimana Ruang Aman bagi Mereka?

13 Desember 2022   17:30 Diperbarui: 13 Desember 2022   19:32 202
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Akhir-akhir ini, rasanya, perempuan tidak bisa lepas dari belenggu kekerasan. Mulai dari kekerasan psikis, fisik, dan seksual. Komisi Nasional Perempuan (Komnas Perempuan) mengungkapkan bahwa kasus kekerasan yang terjadi paling sering terjadi adalah kasus kekerasan seksual. Oleh karena itu, tidak salah rasanya jika Indonesia dianggap sudah darurat kekerasan seksual. Berita kekerasan seksual seperti sudah makanan sehari-hari rakyat Indonesia. Kekerasan tersebut dapat terjadi dimana saja, baik di rumah, di sekolah, di kampus, dan di transportasi umum. 

Selain itu, pelaku kekerasan seksual pun bukan hanya orang yang tidak dikenal, tetapi juga orang terdekat bahkan ayah kandung dari korban. Hal ini mengindikasikan bahwa tidak ada ruang aman bagi perempuan. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak (KPPA) menyebutkan ada 797 anak yang menjadi korban kekerasan seksual sepanjang bulan Januari 2022. 797 jelas bukanlah angka yang kecil. Terlebih lagi, korban disini adalah anak-anak.

Dampak yang ditimbulkan pun dapat sangat beragam, seperti perasaan cemas, bipolar, menutup diri, dan tidak dapat bergaul. Anak-anak yang seharusnya menjadi periang di masa pertumbuhannya berubah menjadi orang yang pendiam dan murung. Mereka yang masih mempunyai perjalanan panjang untuk menempuh pendidikan dan meraih cita cita, tak jarang harus mengurungkan niatnya karena dampak psikis yang terjadi. Selain itu, penyelesaian kasus kekerasan seksual anak pun perlu menjadi sorotan. 

Pelaku kasus kekerasan seksual pada anak sering kali adalah orang terdekatnya, yaitu ayah kandung, ayah tiri, atau pamannya. Hal ini menyebabkan penyelesaian kasus yang tidak adil bagi korban, dimana orangtua korban menginginkan jalur damai karena merasa segan jika membawa kasus tersebut ke pengadilan. Ditambah, apabila si pelaku merupakan orang yang mempunyai kekuasaan atau jabatan, orang tua korban cenderung pasrah dan tidak melawan.

Realita tersebut juga menunjukkan bahwa asas equality before the law atau perlakuan yang sama bagi setiap orang dihadapan hukum belum berlaku sebagaimana mana mestinya di Indonesia. Peradilan tak jarang memberikan putusan yang lebih ringan atau bahkan memutuskan tidak bersalah kepada orang yang memiliki kekuasaan. Seperti, kasus mahasiswa Universitas Riau (Unri) dengan pelaku seorang dekan dari universitas tersebut menunjukkan bahwa perlakuan yang sama didepan hukum belum mampu dijalankan oleh sistem peradilan Indonesia. 

Hal ini terbukti dari putusan yang membebaskan Dekan Unri dengan landasan mahasiswi tersebut tidak memiliki bukti maupun sanksi. Padahal seorang hakim seharusnya menyadari bahwa kasus kekerasan seksual merupakan kasus yang sangat minim bukti, mengingat dilakukan di tempat tertutup dimana hanya ada si pelaku dan korban. Kesaksian korban seharusnya sudah dapat dijadikan bukti dalam persidangan.

Dalam konstitusi Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945, yang mengatur mengenai hak-hak dasar manusia, khususnya pada Pasal 28I ayat (2)  yang menyebutkan bahwa setiap orang berhak untuk tidak dilakukan secara diskriminatif dan patut mendapatkan perlindungan dari perlakuan tersebut. 

Kekerasan seksual jelas melanggar hak dasar manusia menurut Pasal 28I ayat (2) karena merupakan perbuatan yang sangat diskriminatif terhadap korban. Korban merasa tidak nyaman karena kekerasan seksual merupakan perbuatan yang tanpa consent atau tanpa persetujuan. Biasanya disertai relasi kuasa atau terdapat stratifikasi sosial secara vertikal yang membuat korban merasa terdiskriminasi dan takut untuk melawan.

Selanjutnya, ada Lex Specialis yang mengatur tentang Hak Asasi Manusia, yaitu UU No. 39 Tahun 1999. Pada Pasal 33 ayat (1) menjelaskan bahwa setiap orang tidak berhak untuk mendapatkan penyiksaan, perlakuan yang kejam, dan juga perlakuan yang merendahkan derajat dan martabat manusia. Kekerasan seksual jelas bertentangan dengan yang ditetapkan dalam pasal ini. Pertama, kekerasan seksual merupakan bentuk dari penyiksaan karena sering menimbulkan rasa sakit, baik dalam psikis maupun fisik korban yang membutuhkan pengobatan atau rehabilitasi. 

Kedua, kekerasan seksual dapat dikategorikan sebagai tindakan yang kejam karena dilakukan dengan paksaan yang akan menjadi trauma seumur hidup bagi para korban. Ketiga, kekerasan seksual adalah perlakuan yang merendahkan derajat dan martabat yang membuat perempuan dipaksa untuk melakukan tindakan yang tidak senonoh dan menjadi tidak berdaya untuk melawan pelaku.

Kekerasan seksual awalnya diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Akan tetapi, pasal tentang kekerasan seksual dalam kitab tersebut sudah tidak relevan dan dianggap tidak dapat melindungi korban. Akhirnya, pada tanggal 12 April 2022 lalu, Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) sudah resmi disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun