Analisis Trend "Surrogate Mother" Menurut Aspek Hukum Perdata, Hukum Kesehatan dan Hukum Islam di Indonesia
Oleh : Amelia Yusrin Faiza
  Â
     Mempunyai buah hati merupakan dambaan bagi setiap pasangan suami istri, namun tidak dapat dipungkiri bahwa beberapa keadaan dapat menjadikan seorang wanita tidak bisa menanggung beban kehamilan sehingga banyak pasangan yang mencari jalan keluar untuk permasalahan yang dihadapinya. Perbincangan mengenai Teknologi baru di bidang medis menjadi perdebatan yang ramai diperdebatkan dunia. Tentu, karena belum adanya hukum yang jelas. Inseminasi buatan atau dikenal dengan istilah "In Vitro Fertilization" berkembang setelah adanya teknologi bayi tabung, metode ini juga biasa disebut dengan "Surrogate Mother" atau ibu pengganti.     Pengertian "Surrogate Mother" itu sendiri adalah seorang wanita yang bersedia menyewakan rahimnya, dengan kesepakatan harus mengandung, melahirkan, dan kemudian mengembalikan bayinya dengan sejumlah imbalan kepada pasangan pemilik sel sperma dan sel telur. Banyak alasan yang memicu banyak pasangan memilih teknologi ini. Pertama, alasan estetika. Banyak wanita yang tidak mau penampilan berubah hanya karena mengandung dan melahirkan. Kedua, apabila seorang istri menanggung beban kehamilan maka akan memperburuk kondisi kesehatannya. Ketiga, percobaan bayi tabung yang berkali-kali gagal. Dan masih banyak alasan lain yang memicu teknologi ini di lakukan.
     Hukum yang ada di Indonesia memang belum ada yang menjelaskan secara detail tentang teknologi ini. Namun, melalui berbagai analisis hukum pendekatan Undang-Undang menggunakan kitab Undang-Undang Hukum Perdata, menyatakan bahwa Sewa-menyewa adalah suatu bentuk perjanjian yang mana satu pihak sepakat untuk memberikan kepada pihak kedua suatu objek uang atau barang yang dilakukan selama periode waktu tertentu dengan membayar harga sesuai kesepakatan awal, dan pihak kedua menyanggupi atas pembayarannya (Pasal 1548 KUHPerdata).
     Menurut hukum perdata Pasal 1332 KUHPerdata, menyatakan bahwa "hanya barang-barang yang dapat diedarkan dan diperdagangkan saja yang dapat menjadi objek suatu perjanjian". Perjanjian Sewa rahim melibatkan rahim sebagai objeknya. Meskipun Rahim bisa dipegang dan dilihat namun, rahim merupakan bagian tubuh pemberian Tuhan yang secara lahiriyah diberikan kepada setiap wanita dari awal manusia diciptakan. Oleh karena itu, berdasarkan pasal diatas rahim tidak bisa dijadikan objek dari suatu perjanjian sewa-menyewa.
     Sewa rahim juga bertentangan dengan beberapa peraturan perundang-undangan Kesehatan, yaitu:
a) Pasal 127 Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan yang menyatakan bahwa hasil dari pembuahan janin yang dilaksanakan diluar tubuh harus ditanamkan kembali dalam rahim istri dimana sel telur berasal dan harus dilakukan oleh pasangan suami istri yang sah.
b)Pasal 43 ayat (3) Peraturan Pemerintah No. 61 Tahun 2014 Tentang Kesehatan Reproduksi yang menyatakan bahwa pembuahan embryo (janin) dilarang untuk ditanamkan di rahim perempuan lain di luar pasangan suami istri.
c)Pasal 4 Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 73/Menkes/PER/II/1999 Tentang Penyelenggaran Pelayanan Teknologi Reproduksi Buatan yang mengatur bahwa teknologi reproduksi buatan dapat dilakukan dengan syarat hanya diberikan kepada pasangan suami istri yang terikat dalam perkawinan yang sah dan pelayanan bayi tabung merupakan upaya akhir untuk memiliki keturunan. Dalam hal ini, tentu seorang dokter meski dibayar dengan harga berapapun haram hukumnya melanggar Peraturan Perundang-undangan yang ada.
     Selain itu,  dalam putusan MUI Nomor: Kep-952/MUI/XI/1990 melarang praktek sewa rahim secara tegas dan menyatakannya haram karena bertentangan dengan Pasal 127 Undang-Undang No.36 Tahun 2009. Rahim seorang perempuan bukanlah sesuatu yang patut dikomersialisasikan dan bertentangan dengan kesusilaan. Nasab dan Nasib seorang bayi yang dilahirkan atas Surrogate Mother tentu dipertanyakan. Apabila bayi bisa berkata tentu dia akan menentang dilahirkan atas jalan ini.
     Dalam suatu hadist yang berbunyi "Barangsiapa yang beriman kepada Allah SWT dan hari akhir, maka janganlah ia menyiramkan air (maninya) kepada orang lain" (HR. Imam Tirmidzi) menyatakan bahwa, menaruh/memberikan air mani dalam rahim orang lain sama dengan zina yang dilarang dalam islam. Hal ini bisa ditemukan ketika hasil penyatuan sel sperma dan sel telur dimasukkan dalam rahim ibu pengganti.