Mohon tunggu...
ameliawahyunovika
ameliawahyunovika Mohon Tunggu... Guru - mahasiswi

anak yang ceria

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Tradisi Ruwatan dalam Masyarakat Jawa

16 Januari 2025   16:38 Diperbarui: 16 Januari 2025   17:44 100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumentasi tradisi ruwatan jawa

Asal Mula Tradisi Ruwatan

Tradisi menyucikan dosa, mala, atau klesa seseorang telah dikenal sejak era Kerajaan Singasari dan Majapahit. Pada masa tersebut, raja yang telah wafat menjalani proses pendharmaan agar rohnya dapat menyatu dengan dewa atau istadewata. Untuk mencapai tujuan tersebut, dilakukan sebuah ritual penyucian yang dikenal sebagai lukat. (Zoetmulder, 1985: 542). Abu jenazah raja biasanya ditempatkan di sebuah candi yang dindingnya dihiasi relief-relief bertema cerita lukat. Upacara penyucian ini diyakini sudah ada sejak abad ke-15 M, sebagaimana dibuktikan melalui artefak-artefak yang terkait dengan teks sastra yang menggambarkan ritual lukat. Berbagai relief yang merepresentasikan tema ini dapat ditemukan, antara lain, pada relief Garudeya di Candi Kidal, Rimbi, dan Kedaton; relief Kunjarakarna di Candi Jago; serta relief Sri Tanjung di pendopo Candi Panataran, Candi Jabung, Surawana, dan Kori Agung Gapura Bajangratu. Selain itu, relief Sudamala terlihat di Candi Tegawangi dan Sukuh, sementara relief Nawaruci terdapat di Candi Sukuh dan punden berundak Candi Kendalisada.

Kisah-kisah yang diabadikan dalam relief tersebut berasal dari sumber tekstual berupa naskah-naskah kuno seperti Garudeya, Kunjarakarna, Sri Tanjung, Sudamala, Nawaruci, dan Korawasrama. Naskah-naskah ini muncul pada masa Jawa Kuna dan Jawa Tengahan, berlatar belakang tradisi Hindu-Buddha, serta erat kaitannya dengan praktik pemujaan dalam kelompok rsi (Mariani, 2001). Ruwatan adalah salah satu upacara tradisional masyarakat Jawa yang tetap dijaga keberadaannya hingga saat ini karena dipercaya memberikan manfaat bagi kehidupan masyarakat. Tradisi ini berasal dari kisah-kisah Jawa kuno yang pada dasarnya mengusung tema penyucian diri, yaitu upaya untuk melepaskan diri dari kutukan atau kondisi yang dianggap tidak murni. Ruwatan bertujuan untuk menghilangkan kesialan atau menghindarkan seseorang dari marabahaya. 

Secara umum, ruwatan dipahami sebagai upaya untuk mengatasi atau mencegah kesulitan yang berpotensi mengganggu kehidupan seseorang. Dalam pelaksanaannya, ruwatan biasanya disertai pertunjukan wayang kulit dengan lakon khusus, seperti Murwakala. Tradisi ini juga berakar dari kepercayaan bahwa ada individu-individu tertentu yang dianggap membawa kesialan, yang dalam masyarakat Jawa disebut sebagai wong sukerta. Jika orang sukerta tidak diruwat, diyakini mereka akan menjadi santapan Batara Kala. Melalui ruwatan, seseorang yang dianggap sukerta dikembalikan ke kehidupan yang lebih harmonis dan sejahtera. 

Lakon Murwakala adalah inspirasi dari tradisi pewayangan ruwatan anak tunggal atau ontang-anting. Cerita ini dimulai dengan hubungan Batara Guru dan Dewi Uma, di mana tengah menunggang seekor lembu untuk menjelajahi langit. Dalam perjalanan mereka mengelilingi Pulau Jawa dan melintasi samudra saat matahari terbenam, Batara Guru terpukau oleh keindahan lautan yang memancarkan cahaya jingga keemasan. Keindahan itu membangkitkan gairahnya untuk berhubungan intim dengan Dewi Uma. 

Namun, Dewi Uma menolak keinginan Batara Guru karena merasa tidak siap. Batara Guru yang tidak dapat menahan nafsunya kemudian memaksa Dewi Uma, meskipun ia menolaknya dengan keras. Dalam kemarahannya, Dewi Uma menyamakan perilaku Batara Guru dengan sifat raksasa yang kasar. Akibatnya, sperma Batara Guru tumpah ke laut, menciptakan kekacauan yang dahsyat di samudra. Lautan menjadi panas seperti api, dan dari sperma tersebut lahirlah sosok raksasa yang diberi nama Batara Kala.

Batara Kala memiliki sifat rakus dan selalu meminta makanan. Makanan yang diinginkan sangat spesifik, yaitu anak-anak yang dianggap "sukerta" atau membawa kesialan, seperti anak tunggal (ontang-anting) atau lima bersaudara laki-laki (pandawa lima). Untuk melindungi mereka dari ancaman Batara Kala, dilakukanlah upacara ruwatan, yang biasanya menggunakan lakon Murwakala. Ruwatan ini diyakini sebagai ritual untuk membebaskan orang-orang yang dianggap sukerta dari kesialan, dosa, atau ancaman bahaya. Hingga kini, tradisi ini masih dijalankan oleh masyarakat Jawa yang percaya bahwa anak sukerta, jika tidak diruwat, akan menjadi mangsa Batara Kala dan menghadapi berbagai musibah dalam hidupnya. 

Berdasarkan kisah pewayangan tersebut, masyarakat Jawa percaya bahwa tradisi ruwatan memiliki peranan yang sangat signifikan, khususnya bagi keluarga yang hanya memiliki seorang anak atau anak tunggal. Upacara ini diselenggarakan dengan tujuan untuk melindungi sang anak dan menjauhkan mereka dari berbagai macam keburukan atau kemalangan.  Bagi masyarakat Jawa, ruwatan dianggap sebagai solusi untuk melindungi seseorang, khususnya anak-anak yang dianggap berpotensi menghadapi marabahaya. Upacara ruwatan biasanya dilaksanakan dengan rangkaian acara tertentu yang dirancang untuk membersihkan dan melindungi individu yang bersangkutan dari pengaruh buruk. Berikut rangkainnya : a. Menyelenggarakan pertunjukan wayang. b. Dipandu oleh seorang Dalang. c. Lakon yang diceritakan adalah Murwakala. d. Menyediakan sesaji tertentu sebagai bagian dari upacara. e. Selama upacara ruwatan, Dalang membacakan mantra dengan gamelan dan gending khusus untuk menghindari bahaya (mengusir Batara Kala). 

Prosesi Tradisi Ruwatan

Prosesi tradisi ruwatan
Prosesi tradisi ruwatan
Ruwatan adalah tradisi Jawa yang berfungsi sebagai upaya membersihkan diri atau lingkungan dari pengaruh negatif, kesialan, atau ketidakharmonisan. Di Jawa Timur, tradisi ini memiliki karakteristik yang unik, dipengaruhi oleh kepercayaan lokal, budaya, dan elemen spiritual. Berikut adalah prosesi dalam pelaksanaan tradisi ruwatan khas Jawa Timur: 1. Persiapan, terdiri dari pemilihan waktu: Ruwatan biasanya dilaksanakan pada momen-momen yang dianggap sakral, seperti bulan Suro (setara dengan Muharram dalam kalender Islam) atau hari-hari yang dianggap baik menurut kalender Jawa, Lokasi: Pelaksanaannya dapat dilakukan di berbagai tempat, seperti rumah, pura, pendopo, atau lokasi yang dianggap keramat, seperti candi atau gunung, dan Peserta: Mereka yang menjalani ruwatan, disebut "sukerta," biasanya adalah individu yang dianggap memiliki beban tertentu, misalnya anak tunggal (ontang-anting), anak kembar, atau orang yang menghadapi nasib kurang beruntung. 2. Pelaksanaan Upacara, terdiri dari doa dan ritual pembukaan Upacara dimulai dengan pembacaan doa oleh pemangku adat, dalang, atau kyai. Doa ini bertujuan untuk memohon restu kepada Tuhan Yang Maha Esa serta leluhur, pertunjukan Wayang Kulit (Ruwatan Sukerta) Cerita Murwakala: Wayang kulit menampilkan kisah Murwakala, yang menceritakan Dewa Kala dan proses penebusan dosa. Dalang membawakan mantra-mantra khusus untuk melindungi peserta ruwatan dari berbagai mara bahaya, Penyucian atau pembersihan. Siraman: Peserta upacara ruwatan diberi air suci yang telah diberkahi, yang sering kali berasal dari tujuh sumber mata air (tuk) yang dianggap sakral. Pemotongan Rambut: Dalam beberapa tradisi, rambut sukerta dipotong sebagai simbol pelepasan energi negatif atau beban yang melekat. 3. Sesajen dan Persembahan Sesajen: Berupa aneka benda simbolik seperti makanan, bunga, kemenyan, dan lainnya. Contohnya, tumpeng yang melambangkan kesucian dan keharmonisan. Persembahan: Ditujukan kepada leluhur dan makhluk gaib sebagai wujud penghormatan. 4. Penutup Setelah seluruh rangkaian ritual selesai, pemimpin upacara mengucapkan doa penutup untuk memperkuat perlindungan bagi peserta. Kegiatan biasanya ditutup dengan makan bersama (kenduri), yang berfungsi untuk mempererat hubungan sosial di antara para peserta. 

Makna Tradisi Ruwatan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun