Mohon tunggu...
Amelia
Amelia Mohon Tunggu... Tutor - Menulis Dengan Tujuan

Penulis amatir , mencari inspirasi dan terinspirasi

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Perlunya Membangun Komunikasi antara Orangtua dan Guru untuk Meminimalisir Masalah pada Anak di Sekolah

19 November 2023   17:14 Diperbarui: 19 November 2023   19:53 333
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Orang tua berbicara dengan guru | Dok : Pexels

Sebelum nya saya ingin berterima kasih kepada Kompasiana dan Bang Akbar Pitopang yang memasukan pendidikan ke dalam tema pilihan Kompasiana Kolaborasi. Hal ini memberikan saya inspirasi dalam menulis, terutama dalam hal pendidikan. 

Sebagai seorang mantan guru, oh tidak bukan mantan. Masih sebagai 'guru' di rumah untuk anak - anak. Dan juga sebagai orang tua dan ibu yang harus berwawasan luas dalam mendidik anak masa kini. Pengalaman saya tidak sebanyak teman - teman saya di Kompasiana. Seperti hal nya pak Agustian, Pak Akbar dan Om Jay. 

Pengalaman saya mengajar hanya 4 tahun. Saya lalui menghadapi anak - anak yang luar biasa. Sebagian besar adalah anak - anak yang terabaikan oleh orang tua. 

Mereka hidup nyaman, berada namun orang tua mereka tidak ada. Ada yang berpisah, sehingga menjadi single parents, di tinggal ayah atau ibu yang meninggal, hidup dengan saudara tiri dan masalah keluarga lain nya. Membuat mereka ketika di sekolah kurang fokus dan semangat dalam belajar. 

Terkadang bagi saya seorang guru, pada waktu itu, mengetahui hal sensitif seperti ini ketika moment pembagian rapot dan mendapat curhatan dari guru bidang studi lain. 

Atau kadang - kadang anak - anak ada yang bercerita atau curhat ke salah satu guru yang mereka percaya. Waktu itu saya mengajar anak Sekolah Menengah Atas atau SMA. Dan pernah memegang tanggung jawab sebagai wali kelas.

Problematika anak SMA lebih sering kepada masalah percintaan dan kelurga di rumah. Yang membuat saya sebagai wali kelas terkejut pada waktu itu. 

Salah satu murid saya yang terabaikan di rumah, karena kondisi orang tua yang single parent. Merasa tidak semangat untuk belajar di sekolah. Anak - anak ini terlibat masalah di sekolah. Namun, tidak ada informasi apa penyebab yang membuat si anak bermasalah dari orang tua. Sehingga tugas mendidik seorang guru menjadi berat. Karena seorang guru harus mengolah nilai si anak didik untuk di masukkan di rapot. 

Bagaimana mengatasi anak yang tidak mengumpulkan tugas, tidak semangat belajar di kelas sementara si anak memiliki masalah dari rumah yang orang tua nya sendiri tidak tahu? menjadi tugas tambahan guru untuk mencari tahu sebab akibat nya. Akhirnya, orang tua di panggil ke sekolah untuk sama - sama menyelesaikan masalah yang ada. Masalah bukan ada pada guru. 

Guru hanya bertugas mendidik di sekolah. Namun, kadang - kadang , ada celetukan orang tua seperti ; " saya sudah bayar mahal anak saya sekolah di sini supaya pinter dan sopan atau malah pulang ke rumah jadi anak soleh dan solehah"?? Bu, pak, sungguh berat tugas mendidik itu..Butuh seumur hidup untuk mendidik anak menjadi sukses, berhasil, soleh dan solehah, semua tentunya banyak - banyak di bantu oleh doa. 

Contoh kasus. Saya pengajar seni. Memiliki anak didik yang ketika pelajaran saya tidak pernah mengerjakan tugas. Karena anak tersebut memiliki masalah nya sendiri yang saya tidak tahu. Sementara, saya memiliki instrumen penilaian untuk tiap anak mulai dari tugas harian, ujian tengah smester dan ujian akhir smester. 

Saya membutuhkan partisipasi anak untuk mengerjakan semua tugas seni rupa yang saya berikan untuk mengisi pos - pos nilai, sehingga anak tersebut mencapai nilai KKM pada rapot. Anak ini sering absen. Datang ke kelas tanpa mengerjakan apapun. 

Saya tidak menuntut anak itu membuat maha karya yang spektakuler. Setidak nya ia mengerjakan tugas. Jadi nilai rapot nya aman. Namun apa daya saya. Anak itu tidak termotivasi. Pada pengisian rapot, saya di tegur bidang kesiswaan.

"Bu Amel, maaf, tugas seni rupa yang ibu berikan di kelas itu seperti apa? Apa sulit?". Anak yang gak semangat ngerjain tugas jadi saya yang di tegur , khan?? 

"Begini pak, tugas saya tidak sulit. Hanya menggambar, membuat ilustrasi , bahkan anak anak boleh akses handphone di kelas saya untuk mencari ide. Jika ada anak yang tidak bisa dan tidak mau menggambar saya sudah memiliki opsi lain. Membuat karya berupa gunting tempel dan kolase." 

"Saya melihat ada sesuatu pada anak ini yang saya sendiri tidak tahu. Mungkin punya masalah dengan temannya ? Lalu bagaimana saya harus memberi nilai, jika kondisi nya seperti ini?", tanya saya kembali ke bidang kesiswaan.

"Dengan berat hati, nilai yang bisa di berikan adalah 4, bu, dan sudah tidak ada waktu lagi untuk tugas susulan", begitu ujar bidang kesiswaan. 2 hari lagi kami akan menghadapi pembagian rapot. Hal ini sudah saya diskusikan bersama kepala sekolah. Dan saya harus menghadapi kenyataan bahwa, besok saya harus siap menghadapi orang tua si anak tersebut. 

Di hari pembagian rapot. Ibu anak ini terkejut dengan nilai seni rupa si anak, 4. 

"Ini kan cuma pelajaran muatan lokal, kok bisa sih nilai nya cuma 4?. Kalau mapel lain okelah,ini pelajaran seni ini ngapain aja bu?".  Saya menghela nafas dan berusaha tidak menyiratkan kekeselan. Hanya permintaan maaf dan jujur menyampaikan apa ada nya. 

"Mohon maaf ibu , saya ingin sekali memberikan nilai terbaik. Tapi saya tidak mendapatkan nilai , karena anak ibu ketika di kelas tidak mengerjakan tugas dan tidak datang di pelajaran saya. Jujur saja saya bingung mau mencari celah apa yang dia suka. Sehingga jika saya tahu, mungkin saya akan pakai pendekatan tersebut", jawab saya berusaha untuk tetap tenang. 

"Ooh begitu, jadi dia gak pernah ngerjain tugas bu Amel? Waduh kenapa ya ?. Emang tugas nya apa sih bu sampai dia gak mau ngerjain?" Tanya si ibu kembali. Seakan - akan saya memberikan tugas yang sulit sehingga si anak tidak bisa mengerjakannya. 

"Tugas seni rupa itu membuat poster sederhana, ilustrasi, kolase dan menggambar , jika ada anak yang tidak. bisa menggambar, saya beri tugas lain", jawab saya. Situasi nya masih tegang. Pada akhirnya ibu anak tersebut mengakui.

"Coba deh saya bicara lagi dengan anak saya di rumah kenapa nilai seni ini bisa begini, terima kasih bu dan maaf jika ada kesulitan untuk memahami anak saya....", 

kemudian sang ibu mulai bercerita dan di waktu yang sudah mencair ini saya pun mencari tahu apa hal yang di sukai si anak. Masalah selesai dan tugas saya berikutnya adalah memberikan tugas sesuai kemampuan anak.

Kasus lain. Ada anak yang saya beri perhatian khusus. Setelah saya tahu, anak ini memiliki kondisi orang tua single parent.  Hasil kesepakatan antara kami para guru dan kepala sekolah, di harapkan memberikan perhatian khusus kepada anak ini. Tidak memberikan tekanan dan mengerti keadaannya. 

Namun, hal ini tidaklah mudah. Ketika anak -anak lain protes atas perlakuan khusus kepada anak ini. Tugas mendidik bertambah lagi. Memberikan pengertian kepada anak didik lainnya. Anak ini memiliki kondisi tidak semangat sekolah karena terabaikan oleh orang tua. Saya kebetulan wali kelas nya. 

Cara pendekatan saya kepada anak itu adalah, ngajak nongkrong alias ngobrol ngobrol. Saya dan dia sudah klop. Akhirnya anak itu pelan - pelan terbuka kondisi nya kepada saya. Waktu itu saya masih lajang dan belum menikah. Sehingga saya belum paham betul seperti apa menjalani peran sebagai orang tua. 

Tidak lama saya memutuskan untuk resign karena setelah menikah dan memiliki anak. Sungguh bukan keputusan mudah untuk berhenti bekerja di saat di mana saya dan anak - anak didik saya sudah dekat. Yang lebih menyayat hati saya adalah, ketika saya tidak menjadi guru lagi. Anak 'spesial' tadi ternyata di keluarkan dari sekolah karena melakukan kesalahan fatal terhadap guru. Sedih ? 

Tentu saja saya merasa di khianati, karena pada waktu itu tidak lah mudah mendidik anak itu yang pelan - pelan nampak perubahan. Yang awal nya dia sering kesiangan, kadang gak sekolah dan akhirnya datang lebih pagi, hikss..... kenapa ini bisa terjadi ketika saya pergi ? 

Dari 2 kasus di atas,  kacamata saya sebagai seorang guru, saya menilai penting nya peran orang tua untuk menjembatani komunikasi masalah anak kepada guru. 

Sesungguhnya guru hanyalah manusia biasa dengan tugas dan kewajiban yang tidak lah mudah. Yang lebih "nyesek"nya lagi, di beberapa tempat nun jauh di sana, bahkan guru bukan hanya saja mengajar tapi sebagai 'petugas sosial' yang kadang di upah tidak sesuai , bekerja seikhlas nya mendidik anak - anak yang semangat tinggi untuk belajar. 

Kadang juga di saat saya mengajar private, orang tua murid bicara seakan - akan seperti ; " nitip ajarin anak saya, saya sudah bayar sekian kalo bisa sebulan jadi Picasso"!, damn.... ! Bayaran gak seberapa tapi tuntutannya jadi maestro, hadeeeeeh..... emang gwe Leonardo Da Vinci??? Hehe biar ga serius banget baca ny, haha... 

Saat ini , posisi saya sebagai seorang orang tua. Ada 2 anak saya yang bersekolah.  Kelas 1 dan 4. Yang membutuhkan perhatian khusus kelas 4. Anak pertama saya yang laki - laki. 

Anak laki - laki sangat perlu dan butuh mendapatkan perhatian dan tidak bisa abai sama sekali , sejengkal pun. Karena fitrah nya anak laki - laki lebih aktif, bebas, energik dan kinestetik memerlukan usaha lebih untuk dapat fokus dalam belajar. 

Mereka tidak dapat di manjakan berlebihan. Karena anak laki - laki harus belajar bertahan hidup dan daya juang harus di latih sedari dini. Anak laki -laki saya sensitif. Mudah pundung jika di ledek teman - teman nya. Dan ini terjadi di setiap level kelas, 2, 3 dan 4. Dia selalu cerita kepada saya jika dalam satu waktu teman - teman nya kerap meledek. 

Kemudian saya 'interogasi' lebih dalam , apakah dia di rundung? Bolak balik saya tanya dan memastikan. Kemudian saya melaporkan hal ini kepada wali kelas nya sambil menginformasikan bahwa anak saya sensitif. Saya tidak ingin hal ini membuat anak saya di cap 'cengeng dan lemah'. Inilah kondisi dia sebenarnya. 

Terlepas disekolah seperti apa setidak nya informasi ini sudah saya berikan kepada wali kelas nya sebagai 'preventif' atau tindakan pencegahan. Ketika kelas 3 pun hal ini saya informasikan ke wali kelas nya. Begitupun soal pelajaran. Saya harus serta merta mengontrol perkembangan di sekolah. Walaupun tidak harus selalu di awasi. Setidak nya orang tua harus tau. 

Komunikasi adalah alat yang efektif untuk menjembatani dan tindakan pencegahan dalam konflik. Sekolah bukan tempat untuk menitip anak. Justru dari rumah lah tempat asal mula mendidik anak. 

Betapa perlu nya komunikasi di bangun antara orang tua dan guru agar meminimalir masalah pada anak di sekolah. Saya yakin, tidak semua guru mengetahui masalah setiap anak di rumah. Hal mendasar apa yang membuat anak bermasalah ketika di sekolah. 

Di perlukan "jembatan" informasi dari orang tua kepada guru. Jujur ketika anak saya memiliki kekurangan di sekolah. Entah itu masalah nilai atau masalah pertemanan. Saya sebagai orang tua tidak serta merta berfikir bahwa bapak dan ibu guru tidak perhatian kepada anak - anak saya.  

Sungguh bukan seperti itu. Masalah di dalam dunia pendidikan saat ini seperti kasus perundungan. Bukan melulu tanggung jawab satu pihak. Namun, semua harus bekerja sama. Terutama penting nya peran orang tua di rumah. 

Cintailah anak - anak kita dengan tidak terlalu memanjakan mereka dalam hal materi. Namun, bekali mereka cara bertahan hidup, mandiri, melindungi diri , berani bersikap dan hal - hal yang berhubungan dengan prinsip. 

Semoga tulisan saya bermanfaat. Salam pendidikan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun