Mohon tunggu...
Amelia
Amelia Mohon Tunggu... Tutor - Menulis Dengan Tujuan

Penulis amatir , mencari inspirasi dan terinspirasi

Selanjutnya

Tutup

Parenting Pilihan

Mengajarkan Anak Nikmatnya Hidup Sederhana

8 Agustus 2023   21:40 Diperbarui: 8 Agustus 2023   22:13 374
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sepeda alat transportasi satu satu nya yang sudah usang dan tidak terpakai karena rusak. Ngambil kredit sepeda ? Emoh! |Foto : Dokpri

Saya suka bersepeda. Setidak nya hal itu lah yang rutin di lakukan ketika masih gadis dulu. Olahraga bersepeda. Jauh jauh hari dari trend gowes kekinian. Sepeda adalah alat transportasi yang ringan, mudah, bebas polusi, murah dan bebas biaya bensin dan parkir. Di negara kita sepeda sudah melalui beberapa fase trend. 

Masi ingat jaman trend sepeda fixie ? Sepeda yang konon kata nya gak ada rem tangannya. Sepeda pixie sempat booming di pertengahan tahun 2000 an. Kemudian sepedahan naik trend nya ketika masa pandemi. Lalu di susul sepeda lipat hingga saat ini. Nah sekarang yang lagi naik daun itu sepeda listrik. Jika saya punya kemampuan lebih secara finansial, pasti sekarang sudah numpuk sepeda yang nge trend dari tahun ke tahun. Bersyukur nya saya bukan orang yang konsumtif. Karena secara kemampuan finansial belum mumpuni. Kenapa gak ambil cicilan kredit saja? Masa beli sepeda aja pake nyicil?

Sepeda adalah alat transportasi satu - satu nya di rumah. Suami bekerja di luar kota dengan membawa motor satu - satu nya.  Ya, satu- satu nya. Jadi kemana - mana saya jalan kaki. Yang deket- deket aja sih. Ke pasar contoh nya. Kebetulan pasar lokasi nya dekat dengan rumah saya. Di saat sekolah masih di terapkan secara daring. Anak saya belajar via zoom. Di ponsel milik saya dan satu satu nya. Sekolah sudah memberikan fasilitas kartu sim provider telekomunikasi. Jadi jika ingin pakai 2 handphone, 2 ponsel, 1 khusus untuk belajar. 1 untuk komunikasi di luar sekolah. Saya dan suami berfikir tidak perlu membeli ponsel baru untuk anak. 

Di lingkungan saya tinggal, tetangga dekat kami heran dengan anak anak saya yang bebas bermain di luar rumah. 

Si bapak bertanya ; 

" eh, kalian gak main games"? 

" Enggak om", jawab si kakak.

" jadi main apa di rumah?" Tanya nya lagi.

" ya main aja di rumah, mainan, gambar - gambar dan nonton youtube, itu juga kadang kadang , ga boleh tiap hari", ujar si kakak menjawab pertanyaan bapak tetangga kami.

Kami di rumah tidak ada televisi. Dan merasa tidak tersiksa karena nya. Malah merasa tertolong, karena acara televisi sekarang pun sudah semakin tidak karuan. Orang terdekat saya pun heran. 

"Emang ga bosen anak - anak di rumah terus?" Gak ada televisi. Alhamdulillah bisa dan baik baik saja. Ketika saya mengantarkan anak kedua saya les dan membawa serta adik nya. Anak ketiga saya menunggu kakak nya selesai les duduk dengan tenang. Lalu ada seorang ibu mengajak saya ngobrol ;

 " anteng ya anak nya, biasanya anak anak kan gak bisa diem" ujar nya.

Selama menunggu, saya memperhatikan beberapa anak anak yang tidak bisa diam dan merenggek minta ponsel. Yah rata - rata anak kecil sekarang anteng kalau di kasih nonton atau main games dari ponsel orang tua nya, biar anteng. Sementara orang tua nya bebas ngobrol. Saya menghindari hal itu. Ada obrolan salah satu ibu yang mengeluhkan kalau anak nya gak bisa melalui hari tanpa ponsel. Sehingga untuk mengisi "kegabutan" anak tersebut di daftarkan lah anak tersebut ke sekolah dini dan les. Tetap saja anak nya main ponsel di sela sela kekosongan waktu. 

Pernah saya jalani, mengajar seorang anak berusia 5 tahun, yang kata ibu nya, cara dia berkata kata seperti robot dan dialog nya aneh. Kemudian saya tanya, keseharian nya bagaimana. Ternyata keseharian nya main games dan menonton youtube. Pertanyaan saya, kenapa sih harus di kasih games?. Lalu bagaimana dia melalui hari tanpa gawai?

Lalu, suatu hari suami saya bercerita. Kalau atasan nya mempertanyakan kemampuan motor nya ketika akan di tugaskan keluar kantor dengan jarak yang cukup jauh. Dan membandingkan dengan petugas kebersihan kantor yang berani mengambil kredit motor. Maksud cibiran nya , perusahaan sudah sesuai memberikan gaji sehingga harus nya suami saya berani juga ambil kredit motor.

Rentetan cerita di atas bermuara kepada satu kesimpulan. Hidup sederhana dan sesuai kemampuan yang kami tunjukkan kepada anak anak menjelaskan bahwa ; "begini loh hidup berjuang".  Saya dan suami sama sama berjuang untuk mencukupi kebutuhan hidup. Mungkin ada beberapa orang yang hidup sama seperti saya di pemukiman ini. Yang kemana - mana jalan kaki berpanas panasan, bersyukur nya anak anak menerima dan tidak tertekan karena nya.

Saya dan suami tidak ingin terjerumus dan terjerat kehidupan yang nyaman tapi semu. Membeli segala sesuatu dengan cara kredit dan "menyamankan" keadaan yang tidak nyaman dengan cara berhutang. Bukan nya kenikmatan juga jika gaji tidak habis untuk bayar hutang dari benda yang sudah di miliki tapi belum lunas. Justru hidup sederhana dan apa ada nya ini membuat kami terselamatkan dari ancaman bahaya gawai pada anak anak. Dapat di bayangkan , harga untuk menyamankan anak anak harus di bayar dengan penyesalan seumur hidup, memperkenalkan kebahagian yang semu seperti games dan gawai yang malah membuat nya kecanduan. Sudah terlalu banyak kasus seputar anak yang nyaman karena gawai berakhir negatif. Biar lah saya berjalan kaki dan tidak mau nekat mengambil kredit untuk sekedar membeli sepeda karena mengukur kemampuan diri. 

Saya dan suami memilih untuk berterus terang kepada anak anak mengenai kondisi keuangan kami. Sehingga anak juga tau kalau orang tua mereka terkadang memiliki kemampuan dan tidak. Saya tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan jika mereka hidup nyaman dari kecil dengan segala fasilitas yang ada. Bagaimana kelak daya juang mereka di masa yang akan datang? saya tidak tahu. Biarlah anak anak merasakan hidup berjuang seperti apa sehingga kelak ketika mereka dewasa nanti tidak terkejut dengan keadaan hidup yang memiliki rintangan dan harus di lalui bagaikan sebuah labirin kehidupan. 

Semoga artikel saya ini bermanfaat dan tidak bermaksud menggurui.. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun