Tidak pernah terbayang oleh saya tinggal jauh dari pasangan. Saya ingat ketika itu, setelah Idul Fitri 1 tahun lalu, perusahaan suami saya mendirikan kantor cabang di Cikarang dan memerlukan pegawai untuk mengisi posisi yang di butuhkan.
Dadakan banget, mending 1 bulan sebelumnya sudah di informasikan. Ini selepas libur Lebaran, suami langsung pindah kerja di Cikarang.Â
Sebetulnya jauhnya nggak sampe nyebrang antar provinsi dan benua. Yang namanya terpisah dari pasangan tetap aja melankoli kronis (maaf sengaja saya buat berlebihan, haha), karena sudah menikah dan punya anak, hubungan jarak jauh jadi berat.
Apalagi celotehan anak anak yang bilang kangen ayahnya, duh rasanya menyayat hati. Awalnya menjalani hubungan jarak jauh nyesek, hampa (walaupun ada anak 3 di rumah yang rame).
Kadang kalau selesai mengerjakan pekerjaan rumah dan gak ada kesibukan apa apa lagi, saya tercenung. Kenapa saya harus hidup pisah jauh dari ayahnya anak anak begini? Gak ada persiapan apa apa, mental pun lunglai rasanya.Â
Hari demi hari , minggu, bulan dan tahun berlalu dengan cepat ya ternyata. Masalah mulai datang, ketika setahun setelah pandemi, suami saya sakit, demam, meriang, sakit tenggorokan, waduh parno rasanya.Â
Saya suruh ke dokter gak mau, ampun deh kenapa sih bapak bapak anti banget ke dokter, biar cepet selesai gitu loh sakitnya.
Lalu masalah mulai bervariasi, dari anak terkecil saya sakit dan pagi buta saya bawa sendirian ke IGD rumah sakit.
Sementara 2 anak saya di titip ke kakak ipar, anak sakit bergantian yang setiap bulan, plafon jebol karena hujan terus menerus, listrik mendadak mati karena ada yang perangkat yang konslet, dan lain lain.
Duh, bahkan saya harus manggil tukang, beli bahan bangunan sendiri, nungguin tukang kerja, ngurus rapat sekolahan anak dan lain lain, masalah rumah tangga yang khusus di tangani bapak bapak, jadi saya yang harus ambil alih.Â