Mohon tunggu...
ameliana t p novianti
ameliana t p novianti Mohon Tunggu... Guru - GURU KOMPETENSI KEAHLIAN MULTIMEDIA/DKV SMK

Bertugas di SMK Negeri 1 Simpang Katis Kab. Bangka Tengah Prov. Kepulauan Bangka Belitung

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Implementasi Kurikulum Merdeka Dimulai dari Pembelajaran yang Berpihak pada Siswa

30 September 2022   10:28 Diperbarui: 30 September 2022   15:13 561
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Mengapa Kurikulum Merdeka? sebab menteri pendidikan kita telah melalui apa yang disebut belajar merdeka saat mereka cipta Gojek. Ketika bersekolah beliau berdaulat belajar, berdaulat berkreasi, berdaulat berkembang dan berinovasi menghasilkan lulusan yang tak mengekor namun mencipta trend. Gojek adalah karya dari sosok yang belajar secara merdeka dan beliau ingin generasi emas bangsa ini melahirkan karya-karya dari proses belajar yang merdeka, persis seperti yang dirasakannya ketika bersekolah dulu" -Ameliana Tri Prihatini Novianti. 

Kerapkali dalam melaksanakan tugas sebagai pemimpin pembelajaran, guru sering bertumpu terhadap ketuntasan siswa pada kompetensi yang guru ajarkan. Alhasil, guru menjadi terpola untuk  menghubungkan antara ketuntasan mata pelajaran yang diampunya dengan prestasi akademik yang siswa torehkan. Tentu barangkali tidak semua siswa mampu mencapai ketuntasan belajar pada setiap mata pelajaran, boleh jadi pada pelajaran A siswa mampu mencapai nilai melebihi kriteria ketuntasan, pada pelajaran B siswa hanya mencapai standar minimal ketuntasan. Namun pada pelajaran C atau D siswa justru tidak bisa mencapainya. 

Polemiknya, ketika guru dihadapkan pada saat akhir-akhir menjelang kenaikan kelas. Biasanya guru akan cenderung mempertahankan nilai mata pelajarannya dan tak jarang rapat kenaikan kelas diwarnai dengan keegoan guru yang terkesan hanya melihat salah satu sisi nilai saja dan kurang memperhatikan bakat dan potensi yang dimiliki siswa yang sebenarnya belum atau masih kurang dimunculkan. Adalah benar guru mengikuti prosedur pedoman kriteria kenaikan kelas yang ditetapkan oleh pemerintah. Namun menjadi pertanyaan menarik untuk ditelisik, apakah sebelumnya kita sebagai guru sudah sepenuhnya melaksanakan pembelajaran yang berpihak pada siswa?

dokpri
dokpri

Sebagai guru Kompetensi Keahlian Multimedia Sekolah Menengah Kejuruan, saya mencoba melakukan refleksi pembelajaran dengan Model 4F (Facts, Feelings, Findings, dan Future) yang merupakan tahap awal pengimplementasian kurikulum merdeka di ruang-ruang kelas Multimedia. Refleksi pembelajaran ini dikembangkan oleh Dr. Roger Greenaway. Refleksi yang saya sampaikan lebih ke suasana pembelajaran di kelas, pada mata pelajaran C2 dan C3 Kelas XI dan XII SMK.  Berikut ini saya uraikan refleksi pembelajaran saya tersebut dengan Model 4F.

Pada bagian Facts (Peristiwa), secara teoritis guru diminta untuk mendeskripsikan pengalaman aksi nyata ke dalam kelas, membuat daftar hal-hal positif yang telah dialami dalam melaksanakan proses pembelajaran lantas kemudian menuliskan hambatan juga kesulitan yang dihadapi terakhir memikirkan solusi yang dilakukan guru dalam mengatasi hambatan tersebut. 

Keadaan yang sering saya temui ketika dikelas adalah siswa zaman sekarang ini kurang antusias dalam menerima pelajaran yang monoton, namun uniknya mereka semangat jika berkomentar menggunakan bahasa kekinian seperti ketika ditanya "bisakah kalian mengerjakan projek ini nak?" mereka menjawab "sabi lah bu" yang kemudian saya tahu sabi merupakan singkatan dari saya bisa. Ada lagi kata ygy yang jika dipanjangkan berlafalkan ya gak ya; gabut alias gaji buta; baper atau bawa perasaan; woles; kece badai; kuy; dan lainnyalah. Tetapi, jika guru bertanya dan membutuhkan jawaban yang serius dan sistematis, siswa lebih banyak gagap, diam dengan beragam ekspresi diam. Ada yang menundukkan kepalanya diatas meja, ada yang toleh kanan kiri, ada yang memandang ke plafon kelas, bahkan ada yang melirik saya dengan tatapan was-was dan tegang.

Saya berpikir, apa ada yang salah dengan pembelajaran ini. Mengapa? Sebagai guru yang sudah 13 tahun mengajar di SMK, saya merasa perlu adanya skenario pembelajaran dikelas yang dapat membuat siswa belajar serius namun tetap rileks. Bersama rekan-rekan guru disekolah, saya sering berbagi pengalaman dan mengeluhkan mengapa siswa sekarang berbeda dengan siswa-siswa zaman kita bersekolah dulu. Sayapun mengkonklusikan bahwa sebenarnya  tidak ada masalah dengan pemahaman mereka terhadap materi yang diberikan oleh guru. Namun masalahnya ada pada semangat untuk belajar, perilaku, suasana belajar atau cara belajar mereka yang berbeda. Mungkinkah pembelajaran yang saya sajikan belum berpihak seutuhnya kepada siswa?

dokpri
dokpri

Pada bagian Feelings (Perasaan), guru mengungkapkan perasaan ketika pembelajaran berlangsung.  Termasuk mengungkapkan sebab musabab munculnya perasaan tersebut.  

saya merasa bahwa pembelajaran yang diterapkan dengan gaya mengajar monoton dengan guru sebagai sumber belajar, zaman digital ini sudah tidak relevan atau tidak memiliki daya tarik bagi siswa. Sebagai guru, saya merasa gagal, bingung, bersalah, sedih, kecewa sebab nyatanya pembelajaran yang saya sampaikan kepada siswa kurang bermakna untuk mereka. mereka gampang lupa dengan materi dan kompetensi yang sudah saya berikan untuk mereka. Mungkin saya lebih mementingkan semua materi telah rampung disampaikan dan dengan innocentnya menagih nilai ketercapaian ketuntasan materi dari pertemuan satu ke pertemuan selanjutnya. Saya abai terhadap kebutuhan belajar mereka. Atas dasar inilah saya mencoba untuk memperbaiki agar pembelajaran yang saya sajikan dimasa mendatang benar-benar merangkul kebutuhan siswa, berpihak pada mereka. 

Semenjak saya belajar dan mendalami mengenai kurikulum merdeka, saya baru menyadari bahwa selama ini saya sudah keliru dan salah dalam mengemas pembelajaran kepada siswa yang disebut generasi stroberi ini. generasi yang sejatinya kreatif dan memiliki gagasan menarik namun kurang gigih karena dimudahkan oleh teknologi dan mudah hancur ketika mendapatkan tekanan sosial, serupa dengan buah stroberi; menarik dan rapuh yang mana jika kulit buahnya ditekan sedikit saja maka buahnya menjadi rusak.

Mungkin diruang-ruang kelas sebagai pemimpin pembelajaran, guru-guru lain juga menemui kondisi lapangan yang tak jauh berbeda seperti yang saya alami. maka dari itu, pemberlakuan kurikulum merdeka ini adalah momentum yang tepat untuk kita mulai berbenah dan merubah gaya mengajar kita menjadi lebih berpihak pada siswa. Contoh sederhananya, secara bersama-sama menyepakati apa saja yang akan dipelajari, dengan cara seperti apa belajarnya, dan bermufakat tagihan pembelajaran yang seperti apa yang harus siswa tunaikan.  

dokpri
dokpri

Pada bagian Findings (Pembelajaran), guru diminta memetik pelajaran dari pembelajaran yang sudah dilaksanakannya selama ini. Pada bagian ini saya tergugah dan menjadi mengerti bahwasanya pembelajaran yang seharusnya terjadi diruang-ruang kelas di era ini harus sesuai dengan kodrat alam dan kodrat zaman. siswa yang mengenyam pendidikan di era digitalisasi hari ini tidak bisa lagi disamakan dengan siswa dimana guru-gurunya dulu pernah bersekolah, sudah beda zaman, sangat berbeda sekali malahan. Alampun sekarang sudah jauh berbeda dibandingkan dengan 13 tahun silam. Begitu juga dengan zaman sekarang yang serba praktis, cepat, dan mudah. 

Siswa-siswa sudah terbiasa dengan kemudahan-kemudahan yang ditawarkan berbantukan jaringan internet. Aplikasi android yang menawarkan berjuta kemudahan baik dalam kegiatan sehari-hari maupun dalam penyelesaian tugas sekolah tinggal download diplaystore dan siap digunakan; setali tiga uang dengan aplikasi berbasis web yang diakses melalui browser, cloud computing, internet of things, social media. Yap. Seperti itulah potret kehidupan siswa era kontemporer ini.  

Lantas bagaimana dengan nilai dan sumbangsih guru terhadap pendidikan zaman sekarang ? menelisik filsafat yang diajarkan oleh Ki Hadjar Dewantara, bahwasanya pendidikan itu adalah proses memanusiakan manusia, sehingga harus memerdekakan siswa dan segala aspek kehidupan baik secara fisik, mental, jasmani, maupun rohani bukan malah membebani siswa sehingga siswa generasi stroberi mengalami stress akademik. Sistem pendidikan yang memanusiakan manusia dapat dilakukan dengan sistem pendidikan among. Among membuat siswa dijaga, dibina, dan didik penuh kasih sayang dengan menyentuh dari hati ke hati makanya kemudian Ki Hadjar Dewantara mendirikan lembaga pendidikan bernama Taman Siswa. Taman adalah suatu tempat yang indah dan membuat betah sebagai area persinggahan. Suatu tempat yang kata anak-anak jaman sekarang bisa bikin mereka healing.  

dokpri
dokpri

Pada bagian Future (Penerapan ke depan), saya membuat rencana aksi dalam rangka memperbaiki sederet ketidaktahuan dan kesalahan saya sebagai pemimpin pembelajaran dimasa lalu dan memastikannya tidak berulang dimasa kini. Praktik laku dan komitmen pada diri sendiri yang akan saya terapkan mulai dari hari ini dan kedepannya sebagai langkah siap mengimplementasikan kurikulum merdeka pastinya adalah menyajikan pembelajaran yang berpihak pada siswa; menjadi guru pembelajar sepanjang hayat dengan terus selalu mengupgrade kualitas diri sembari memberikan inspirasi dan pengaruh positif kepada siswa maupun rekan sejawat; selalu menyediakan ruang dan waktu dalam mencari solusi dari setiap permasalahan yang ada disekolah terutama dalam konteks pembelajaran; dengan senang hati berkolaborasi dengan rekan sejawat, kepala sekolah, entitas pendidikan lain atau bahkan dengan masyarakat sekitar untuk menciptakan ekosistem pendidikan disekolah yang berpihak pada siswa; dan berkecimpung dalam komunitas praktisi yang sesuai dengan visi, misi dan tujuan sekolah dalam menanamkan nilai-nilai kemanusian untuk mencetak generasi emas yang berprofil pancasila.

Kurikulum merdeka yang saat ini diberlakukan disekolah-sekolah, berpedoman dari filsafat Ki Hadjar Dewantara yang mana siswa diberikan kemerdekaan dalam belajar bukan menjadi generasi pengekor. Belajar merdeka itu bermakna berdaulat atas diri siswa sendiri. Kegemaran, hobi, dan bakat tiap-tiap siswa diakomodir dan dimerdekakan sekolah malah dirangsang untuk berkembang seluas mungkin. Angka tidak boleh menjadi tolak ukur keberhasilan siswa. Guru bisa mengukur pencapaian siswa dengan cara yang lebih deskriptif. Attitude dan karakter kearifan lokal profil pelajar pancasila harus menjadi laku ajar yang sangat penting dalam laku kembang diri siswa. Kurikulum tidak lagi dibuat sebagai "alat menjajah" intelektual, minat, dan bakat siswa.  Kurikulum justru harus menuntun kembali guru sebagai pemimpin pembelajaran yang mengajarkan siswa sesuai dengan kodrat alam dan kodrat zamannya.   Konsep inilah yang menjadi cetak biru kurikulum merdeka yang sesungguhnya.  

Sekarang yang menjadi pertanyaannya adalah, maukah kita mengimplemtasikan kurikulum merdeka dalam ruang-ruang kelas kita mulai dari hari ini, mulai dari diri sendiri, dan mulai dari menyajikan pembelajaran yang membuat siswa merasa mereka telah melakukan pembelajaran dengan "belajar merdeka atas diri mereka sendiri"?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun