Sewaktu kecil saya berangan-angan menjadi seorang bidadari yang hidup di khayangan. Sebuah istana megah di antara awan-awan lembut keemasan, pelangi sebagai jembatanya, dan matahari sebagai penerangnya. Sungguh tempat yang menakjubkan untuk disinggahi.
Cita-cita yang lebih mirip khayalan itu akhirnya tercapai di usia yang ke 17 ini. Petualangan diawali dari sebuah foto yang dipamerkan seorang teman di social media yang memang sangat marak di kalangan anak sebaya saya. Di foto dengan caption "SIKUNIR WONOSOBO" itu terlihat sebuah panorama alam dengan cahaya emas terpantul dari awan-awan tipis di bawahnya, awan-awan tadi bagaikan lautan kapas yang sangat elok menutupi kaki gunung di antara mereka. Sama persis seperti yang ada di benak saya ketika saya masih kecil. Seolah disulut api, jiwa travelling ini berkobar dan tidak bisa dipadamkan lagi!
Golden Sunrise Sikunir adalah destinasi berlibur kali ini. Kebetulan sekali bukit Sikunir ini terletak di kawasan dataran tinggi Dieng yang lokasinya tidak jauh dari kota tempat saya berdomisili; Wonosobo. Dari namanya saja sudah Golden Sunrise pasti terbayang betapa menawannya kelahiran sang Mentari itu akan terlihat, dan pasti sudah terbayang sebesar apa effort yang harus dilakukan. Mulai dari pengecekan musim (karena tentu saja di musim hujan awan mendung akan menutupi pemandangan menakjubkan dari sunrise itu sendiri), perhitungan waktu agar sampai tepat waktu di lokasi, dan serangkaian baju dan perlengkapan yang harus disiapkan.
Untuk melihat matahari terbit tentu saja kita harus datang ke lokasi pada dini hari. Waktu itu saya berangkat bersma teman-teman pecinta alam pukul 2 dini hari dari rumah masing-masing supaya tepat waktu sampai di lokasi. Karena memang sudah kebiasaan atau memang situasi lokasi yang berada di dataran tinggi, kami semua memilih naik motor karena dinggap lebih praktis dan bisa nakal salip sana sini. Dilihat dari faktor keamanan sudah pasti lebih aman menggunakan mobil, namun meskipun di lokasi barang kendaraan kita dijaga ketat oleh petugas berwajib, tetap saja kami memilih naik motor untuk mengurangi rasa paranoid anak SMA yang khawatir mobil orang tuanya dikerjai orang.
Namanya saja dataran tinggi, sudah jelas dong tempatnya dingin apalagi pada dini hari, brrr. Pada waktu itu suhu berkisaran antara 13-16 derajat celcius, saya sendiri kurang yakin karena memang tidak membawa thermometer ruang dalam kasus ini. Info saya dapatkan dari brosur-brosur tour guide yang sering saya dapatkan di kantor pariwisata, tapi memang benar udaranya sangat dingin dan serasa menusuk tulang-tulang muda saya.
Dari tempat parkir yang 99% aman karena dijaga oleh petugas berwajib, kami harus berjalan cukup jauh menyusuri perkampungan yang memang hidup di sepanjang jalan ke bukit Sikunir. Kaki pegal, badan kedinginan, nafas pun sudah tak beraturan, waktu itu tubuh saya benar-benar merasakan ketidak nyamanan yang extra. Selangkah demi selangkah diambil dan akhirnya setelah kurang lebih satu jam, kami sampai di puncak bukit Sikunir! Udara yang dingin tidak lagi terasa karena dikalahkan rasa puas di dada. Bukan hanya jutaan awan yang memberikan efek ala negeri dongeng saja yang nampak, namun jutaan manusia juga bisa ditemui sedang bertengger menunggui datangnya mentari, sama seperti saya dan teman-teman.
Tidak berselang lama si Raja Siang bangun juga, perlahan cahayanya mulai terlihat dan terpantul oleh awan-awan yang tadi menyelimutinya. Saya berdiri diam, terpesona oleh keindahan di depan mata saya. Sungguh seperti yang saya bayangkan selama ini, begitu indah dan menawannya cahaya-cahaya pada awan selembut sutera itu, di tengah-tengahnya tampak gunung besar yang berdiri dengan agung dan angkuhnya; Gunung Perahu. Cahaya matahari menghujani gunung dan awan-awan di bawahnya, bagaikan istana megah para bidadari di khayangan, awan tipis bagaikan tumpukan kain sutera membuat saya ingin menghempas tubuh ke atasnya dan berenang-renang di antaranya. Seperti bukan di dunia manusia, semuanya nampak sangat menakjubkan seperti dalam buku cerita anak-anak. Sebuah negeri yang baru, negeri di atas awan.
Rasa lelah terbayar sudah, nafas yang stabil membuat dada tenang dan hangatnya cahaya matahari menyelimuti tubuh yang semula menggigil hebat akibat suhu yang rendah. Demikianlah cerita wisata saya di salah satu dari sejuta tempat menakjubkan di Negeri Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H