Mohon tunggu...
Amelia Meidyawati
Amelia Meidyawati Mohon Tunggu... Akuntan - Mahasiswi Magister Akuntansi Dosen Prof. Dr. Apollo M.Si.Ak. NIM 55520120009 AMELIA MEIDYAWATI Universitas Mercubuana Jakarta

Penggemar Perpajakan yang selalu antusias menyelami ilmu baru... Mahasiswi Magister Akuntansi Dosen Prof. Dr. Apollo M.Si.Ak. NIM 55520120009 AMELIA MEIDYAWATI Universitas Mercubuana Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

TB2_Pajak Internasional Prof. Dr. Apollo M.Si. A.k - Setitik Pemahaman Pajak Internasional dalam Pendekatan Wittgenstein

25 Mei 2022   02:02 Diperbarui: 31 Mei 2022   00:55 605
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dengan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa, Perpajakan internasional, atau lebih tepatnya perpajakan internasional, adalah suatu prosedur dan hukum perpajakan yang terdiri dari aturan-aturan baik pengaturan perpajakan nasional maupun perjanjian-perjanjian antar negara, dan prinsip-prinsip yang diterima oleh negara-negara dan negara-negara di seluruh dunia untuk mengatur masalah perpajakan. unsur perpajakan internasional yang berkaitan dengan subjek dan tujuannya.

Setiap negara memiliki undang-undang dan peraturan perpajakannya sendiri, atau yang disebut  yurisdiksi nasional, masing-masing dengan dasar hukum dan filosofi  yang berbeda dari negara lain. Setiap kali suatu negara berinvestasi atau menerima investasi dari negara lain, ada konflik kepentingan.

Masalah mendasar dalam international fiscal law (1979) yang ditulis oleh Knechtle membedakan antara definisi luas dan sempit dari pajak berganda (arti sempit). Menurut definisi ini, pajak berganda mencakup setiap kejadian di mana pajak atau pungutan lain diterapkan pada fakta fiskal yang sama dua kali atau lebih. Dalam arti sempit, pajak berganda terjadi apabila suatu subjek atau objek pajak dikenakan pajak berkali-kali oleh otoritas pajak yang sama.

"Pajak Internasional merupakan kesepakatan perpajakan yang berlaku di antara negara yang mempunyai P3B dan pelaksanaannya dilakukan dengan niat baik sesuai dengan Konvensi Wina (Pacta Sunservanda)"

Berdasarkan Konvensi Pajak Berganda, pernyataan tersebut terdiri dari: Pasal 1 menjelaskan tentang ruang lingkup orang pribadi, yaitu untuk apa perjanjian pajak berganda itu berlaku. Pasal 2 mengatur tentang subjek pajak, yaitu jenis pajak yang ketentuan perpajakannya diatur antara kedua negara dengan P3B. Misalnya, perjanjian Indonesia-Malaysia mencakup pajak penghasilan pribadi (PPh) untuk Indonesia, pajak penghasilan pribadi dan kelebihan pajak, pajak penghasilan tambahan dan pajak penghasilan minyak untuk Malaysia. Selain itu, Pasal 6 Konvensi Pencegahan Perpajakan Berganda mengatur undang-undang perpajakan atas berbagai jenis penghasilan seperti penghasilan dari real estate, laba perusahaan, dan capital gain.

Jika kebijakan pemungutan pajak masing-masing negara berbeda, pada prinsipnya pengenaan pajak berganda tidak dapat dihindari11, tetapi pengenaan pajak berganda harus dijelaskan dalam perjanjian diplomatik dua negara atau lebih sehingga  wajib pajak dapat menghindari pengenaan pajak berganda.

Indonesia sendiri menggunakan hukum bilateral dalam model OECD untuk negara maju seperti Eropa Barat dan Amerika Utara, model PBB untuk negara berkembang, dan model AS untuk Amerika Serikat untuk menghindari pajak berganda. Dengan berlakunya P3B, terdapat dua sumber perpajakan bagi Wajib Pajak di suatu negara, terutama yang berasal dari Para Pihak. Yang paling mendasar dalam hal ini adalah ketentuan perjanjian perpajakan, dan yang kedua adalah ketentuan undang-undang perpajakan dalam negeri.

Jika kita merujuk pada Wittgenstein, Perjanjian pajak, seperti sumber hukum lainnya, perlu ditafsirkan agar tidak ada masalah jika diterapkan. Itu terutama ketika ada kendala bahasa yang harus dihadapi. Dalam beberapa kasus, terjemahan suatu istilah mungkin salah. Konsekuensinya, kedua belah pihak harus menyepakati arti suatu istilah dalam perjanjian. Pada intinya, Vienna Conviction on the Law of Treaties of 1969 telah dibentuk untuk menafsirkan sebuah perjanjian. Model OECD, khususnya Pasal 3 ayat 2, dapat digunakan untuk menginterpretasikan perjanjian pajak.

Ketika berbicara tentang bagaimana perjanjian ditafsirkan, ada sejumlah artikel dalam Hukum Wina 1969 tentang Hukum Risalah yang memberikan kerangka untuk ini. Menurut Pasal 31 UUD 1945,

"a treaty shall be interpreted in good faith in accordance with the ordinary meaning to be given to the terms of the treaty in their context and in light of its object and purpose."

Sebuah kontrak harus ditafsirkan sesuai dengan konteks dan tujuan perjanjian dengan itikad baik, menurut interpretasi ini. Karena masing-masing istilah dipandang sebagai niat baik dari salah satu atau kedua belah pihak, pasal ini ditulis dengan pengertian bahwa perjanjian hanya penjelasan tentang apa yang dimaksud dengan istilah itu, dan bukan upaya untuk memastikan niat pihak lain. Istilah 'sehari-hari' termasuk dalam 'makna biasa' dari kutipan di atas. Konteks, sebagaimana didefinisikan oleh Oxford English Dictionary (OED), mengacu pada syarat dan ketentuan perjanjian, serta setiap perjanjian atau instrumen yang dibuat oleh satu pihak dan diterima oleh pihak lain. Pesan atau surat yang dipertukarkan sebelum penandatanganan perjanjian juga tercakup dalam ketentuan ini, tetapi bukan penjelasan yang diberikan secara sepihak oleh satu pihak dan belum disetujui oleh pihak lain.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
  18. 18
  19. 19
  20. 20
  21. 21
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun