Mohon tunggu...
Amelia Meidyawati
Amelia Meidyawati Mohon Tunggu... Akuntan - Mahasiswi Magister Akuntansi Dosen Prof. Dr. Apollo M.Si.Ak. NIM 55520120009 AMELIA MEIDYAWATI Universitas Mercubuana Jakarta

Penggemar Perpajakan yang selalu antusias menyelami ilmu baru... Mahasiswi Magister Akuntansi Dosen Prof. Dr. Apollo M.Si.Ak. NIM 55520120009 AMELIA MEIDYAWATI Universitas Mercubuana Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

TB1 Pajak Internasional Prof. Dr. Apollo: Konsensus Base Erosion and Profit Shifting dan Perpajakan Indonesia

5 April 2022   22:59 Diperbarui: 5 April 2022   23:09 734
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setelah krisis keuangan yang terjadi pada tahun 2008, negara-negara G20 telah menetapkan pajak sebagai prioritas utama dan menyatakan perang melawan penghindaran pajak. OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development), telah menjadi organisasi internasional yang memberikan prinsip-prinsip demokrasi dan organisasi  ekonomi pasar bebas dan organisasi organisasi industri. Implementasi Base Erosion and Profit Shifting (BESP) dapat mengancam negara di mana kita dapat menerapkan tarif pajak biasa / tinggi dalam sistem perpajakan. Perbedaan tarif pajak dalam ekonomi dunia, membuka kesempatan untuk melakukan penggunaan pajak yang biasanya digunakan oleh perusahaan multinasional dalam perencanaan pajak oknum yang berkecimpung di perusahaan multinasional.


Base erosion and profit shifting merupakan istilah yang digunakan oleh negara-negara anggota G-8, G-20 dan OECD untuk menjelaskan praktek usaha yang dilakukan oleh banyak perusahaan multinasional untuk memindahkan keuntungan usahanya melalui skema transfer pricing ke negara yang menerapkan tarif rendah/nol (Wells dan Lowell, 2013:3). Secara umum, selain melalui transfer pricing praktek BEPS juga dapat terjadi karena adanya hybrid mismatches yaitu pemberlakuan transaksi yang berbeda oleh setiap negara untuk menghindari pajak dan pemberian Special Purpose Entities (SPE) yang telah memberi keleluasaan kepada perusahaan multinasional untuk mengalihkan keuntungan usahanya ke negara lain (Love, 2013:2).


 Jenis praktik ini dapat menyebabkan persaingan tidak sehat antar pelaku usaha, dan dapat mendorong kepatuhan pembayar pajak yang tidak adil terhadap kebijakan pajak  yang sama, serta  alokasi sumber daya yang tidak efisien. Kedepannya, praktik BEPS  dapat berdampak pada potensi hilangnya pendapatan  yang diterima setiap negara karena keuntungan  perusahaan dialihkan ke negara lain yang menerapkan tarif pajak rendah. Mengingat praktik BEPS oleh perusahaan multinasional merupakan tantangan serius bagi  negara mana pun dan dapat merugikan negara yang menerapkan tarif pajak reguler ataupun tinggi.


Base Erosion and Profit Transfer (BEPS) mengacu pada strategi perencanaan pajak yang digunakan oleh perusahaan multinasional untuk memanfaatkan celah dan inkonsistensi dalam undang-undang perpajakan untuk menghindari pembayaran pajak. Ketergantungan  yang besar pada pajak perusahaan di negara-negara berkembang berarti bahwa mereka menderita jumlah BEPS yang tidak proporsional.


Praktik tersebut menyebabkan negara kehilangan pendapatan $ 120 miliar  setiap tahun. 15 langkah untuk 141 negara dan yurisdiksi  untuk bekerja sama mengatasi Kerangka Kerja Komprehensif OECD / G20 untuk BEPS, memerangi penghindaran pajak, meningkatkan konsistensi hukum pajak internasional dan memastikan lingkungan pajak yang lebih transparan.


BEPS dan Perpajakan Indonesia
Praktik BEPS menggerus pajak di suatu negara. Kendala tersebut sebenarnya dialami oleh hampir semua negara di dunia, termasuk Indonesia yang memiliki pasar digital sangat besar. Konsensus atas BEPS memiliki arti dalam bagi Indonesia, hal ini berarti Indonesia berkesempatan mendapatkan hak pemajakan atas penghasilan global yang diterima PMN digital terbesar dan paling menguntungkan. Dengan persetujuan multilateral tersebut, pemerintah berharap meminimalisasi sengketa perpajakan dan memperkuat basis pajak Indonesia.


Dalam Inclusive Framework on BEPS terdapat dua pilar yang disepakati. Pilar 1, unified approach yang bertujuan memungut pajak perusahaan multinasional dengan tidak mempertimbangkan kehadiran fisik. Selama telah mengambil manfaat ekonomi dari yurisdiksi/negara terkait, maka tetap harus bayar pajak. Aturan tersebut menyasar pada perusahaan digital. Misalnya, Netflix yang merupakan platform layanan streaming film tidak memiliki kantor di Indonesia, tapi banyak pelanggannya yang berasal dari Indonesia.


Adapun hasil kesepakatan Pilar 1 yakni akan merealokasikan 25% residual profit perusahaan tekait akan dialokasikan kembali ke negara pasar. Ini berlaku bagi perusahaan multinasional dengan pengjualan global di atas EUR 20 miliar dan profitabilitasnya lebih dari 10%. Pilar 1 juga telah menyepakati penghapusan digital services tax (DST) atas negara-negara yang lebih dulu menerapkan pungutan pajak digital per 8 Oktober 2021 sampai dengan 31 Desember 2023.


Selanjutnya, Pliar 2, Global Anti Base Erosion (GloBE) yang bertujuan untuk menghentikan upaya penghindaran pajak perusahaan multinasional yang umumnya dilakukan karena perbedaan tarif pajak korporasi antar negara. Dalam praktiknya, perusahaan terkait biasanya mengalihkan laba yang didapat ke negara yang punya tarif pajak rendah. Alhasil, OECD bermufakat tarif global minimum tax yang berlaku sebsar 15%. Tarif ini berlaku untuk perusahaan dengan pendapatan di atas 750 juta euro.


Terakhir, mengatasi tantangan pajak yang timbul dari digitalisasi adalah masalah kebijakan utama saat ini. Kerangka Kerja Inklusif telah membuat kemajuan besar dengan mengembangkan pendekatan dua pilar dan bertujuan untuk menghasilkan solusi jangka panjang berbasis konsensus untuk disampaikan ke G20 mendatang. Infrastruktur perpajakan Indonesia harus secepatnya di bangun lebih kokoh agar dapat berkomitmen guna tercapainya tujuan dari konsensus tersebut.


Selain membenahi infrastruktur dalam dunia digital, Pemerintah juga harus memastikan pembayaran digital aman untuk meningkatkan penggunaannya, memperbaiki logistik, dan perluasan investasi untuk meningkatkan keterampilan digital.  Pemerintah sendiri harus pula memikirkan Bagaimana caranya pemerintah mereduksi biaya internet stabil yang sekarang terkesan mahal di mata masyarakat. Sementara itu, Tidak ada pilihan lain bagi kita untuk menerima dan beradaptasi terhadap perubahan dan transformasi digital yang terjadi di masyarakat baik di desa maupun di kota. Kedua belah pihak harus menumbuhkan semangat symbiosis mutualisme agar tercapainya digitalisasi yang tepat dan mencari win win solution terhadap masalah era perkembangan ini.

Daftar Pustaka
https://www.oecd.org/tax/beps/
https://fiskal.kemenkeu.go.id/files/siaran-pers/file/1627990261_Siaran%20Pers%20Manfaat%20Kesepakatan%20BEPS%20untuk%20Perpajakan%20Indonesia.pdf
https://www.pajak.com/pajak/djp-indonesia-telah-mengadopsi-10-rencana-aksi-beps/

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun