Oleh: Amelia Mayha
Langkah demi langkah terasa berat. 10 anak tangga bagaikan seribu yang tak kunjug usai dia lalui. Akan tetapi, ketika anak tangga terakhirnya ia lewati, matanya berbinar, pipinya menggembang, tersenyum penuh kelegaan. Rambut tipisnya yang keriting ditiup sang angin, terlihat berkilau saat sang surya menorobos masuk dari celah atap jembatan penyebrangan yang umurnya sudah tak muda lagi.
"Kau memang si tua yang tak terawat. Sungguh menyesakkan setiap hari melihatmu seperti ini."
"Kepada siapa kau mengumpat kali ini, Salma?"
"Kepadanya, dia yang setiap pagi dan sore kita lalui bersama."
"Kita?" Aku menyunggingkan seulas senyum.
"iya, kau dan aku, untuk sekarang. Entah kalau besok."
Raut wajahnya seketika berubah. Tertunduk sejenak lalu menengadah. Lelah, mungkin kata itu yang pantas dia ucapkan ketimbang mengumpat dengan banyak kata kepada benda mati atau jembatan peyebrangan yang tak berpenghuni.
Satu tahun, kupikir sudah cukup Tuhan memberikan hukuman bagi kami lewat datangnya wabah ini. Bagaimana tidak, coba kau pikirkan hidpmu di masa lalu. Betapa sangat bebas dan menyenangkannya.
Covid-19 atau Corona, di Indonesia, khusunya kota yang saat ini aku tinggali. Kebebasan telah kembali, tapi tidak benar-benar bebas. Pemerintah telah memberlakukan new normal namun kelakuan manusia-manusianya semakin ke sini bukannya normal, malah tanpak menggila.
"Ayo, kita akan terlambat, lagi pula di sini terlalu berdebu, kau tidak ingin melihatku di sini tergeletak tak bernyawa bukan?" Salma, hendak meraih tanganku. Namun, segera kutarik tanganku dan menyembunyikannya ke belakang.
Aku mendahuluinya, berjalan lebih cepat dan siap menuruni tangga. Tanpa berbalik tuk melihatnya, dia berkata hal yang sebenarnya tidak ingin aku dengar. "Sudah berapa kali kamu menghindariku? Apa yang kamu takutkan? Apa kamu takut aku tertular, lalu mati?"
Aku bergeming.
"Kau tau Zema, jantungku lemah, aku sakit, dadaku sesak. Sangat muak bila harus berjalan setiap hari melewati JPO tua ini. Namun, aku tetap melakukannya agar bisa berjalan bersamamu, menggandeng tanganmu, menikmati dinginnya es krim yang kita beli di bawah sana sebelum menaiki anak tangga ini. Aku ingin melakukannya lagi bersamamu sebelum ajal menjemputku."
Aku tak tahan mendengar suaranya yang bergetar. Kutolehkan wajah, kudapati derai air mata membasahi pipinya, meluncur jatuh menyentuh tumpukan debu diatas beton tua yang dipijaknya. Seolah ada terpaan bulir air hujan sebesar bulan, mendadak kupejamkan mata dan tak bisa kubuka lagi. Semuanya lenyap seketika, digantikan suara tangis, tangis yang tak asing ditelingaku.
Ketika kubuka mata, kudapati Salma berdiri di sana, di tempat yang sama ketika aku dengan sengaja melewatinya. Menghindari genggaman tangannya, tatapannya, juga keinginannya untuk terakhir kalinya sebelum aku meninggalkan dia tuk selamanya.
Setapak jejak dari air mata yang beranjak tuk menetap. Menyerap semua kesedihan dan pertanyaan dalam benak. Aku telah jatuh, kalah karena menyerah dengan keadaan. Mengabaikan demi kebebasan, bahkan hampir mengorbankan seorang yang selalu memedulikan kehidupanku.
Aku positif Covid-19 tanpa gejala, kupikir tak apa, tak ada keluarga juga saudara yang aku punya. Nyatanya, ada seorang teman yang lebih dari segalanya, namun aku mengabaikannya, sampai tiba saatnya virus itu terus berkembang di tubuhku, dan sang Malaikat Maut menjemput. Aku tak bisa berbuat apapun, ini takdirku, hidupku cukup sampai di sini. Dan jika kudiberi kesempatan untuk sekadar menyampaikan sebuah pesan, ingat dan sampaikanlah.
"Kematian itu sudah ditentukan, tidak memandang kau seorang yang terlahir sehat atau cacat, hidup berkecukupan atau pas-pasan, bahkan kekurangan, di negara mana engkau tinggal, kematian itu akan datang, kepada siapapun, kapanpun, itu pasti terjadi bagi setiap yang bernyawa dan hidup."
Â
Depok, 18 Agustus 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H