Wanita di Era Victoria
Lady Cecily, putri bangsawan yang hilang itu menarik perhatian Enola untuk diusut tuntas. Di balik hilangnya Lady Cecily, ternyata ada sebuah fakta menarik. Bahwa ia merepresentasikan satu di antara wanita-wanita era Victoria. Karena statusnya sebagai putri bangsawan, tentu dia mengikuti pelatihan keras seperti berjalan dengan buku di atas kepalanya untuk membuat postur tubuh sempurna, belajar menjahit, mengatur bagaimana ia berbicara, makan, bahkan caranya tertawa, lalu membuat gambar kabur dengan warna pastel, menggunakan tangan kanan. Ketika ia sendiri sebenarnya kidal. Betapa tersiksanya dia agar harus terlihat sempurna, bukan?
“Dengan ayah yang selalu berceloteh tentang ‘beban kerajaan’ dan ‘perkembangan manusia’? Dan ingin menikahkanku kepada siapa pun selama memiliki gelar? Tidak. Aku tidak mau kembali ke sana.” (Enola Holmes 2, hlm. 199)
Dalam mempersiapkan semua kesempurnaan itu, ternyata Lady Cecily berada di bawah tekanan orang tuanya, terlebih ayahnya yang bersiap menikahkan ia kepada siapa pun yang memiliki gelar. Seperti pada novel Pride and Prejudice karya Jane Austen yang menceritakan keluarga Bennet dengan empat anak perempuannya. Cukup menggambarkan keputusasaan orang tua ketika salah satu anaknya—Jane Bennet—dikabarkan tidak jadi dipinang oleh pria terpandang yaitu Tuan Bingley. Di sisi lain, Elizabeth Bennet—putri keduanya—menolak pinangan seorang pendeta karena ia merasa tidak ingin menikah jika ia sendiri tidak menyukainya. Para orang tua saat itu menganggap jika putrinya harus menikah dengan pria terpandang, tanpa memikirkan bagaimana hak-hak anaknya setelah menikah.
Pada dasarnya, dapat saya artikan bahwa standar kecantikan wanita saat itu tidak lain adalah untuk pria, bukan dirinya sendiri. Karena sebenarnya standar kecantikan tersebut tidak terlepas dari budaya patriarki yang menerapkan pandangan bahwa laki-laki berkuasa atas perempuan. Hal ini sejalan dengan pendapat Naomi Wolf (2002:13) bahwa mitos kecantikan yang terus berkembang kini sudah menjadi tolak ukur untuk melihat sisi fisik seorang perempuan, dan perempuan masih terbelenggu dengan citra kecantikan yang sebagaimana kecantikan digunakan sebagai senjata politik. Saya menangkap kesimpulan, jika dari penampilan fisik dan attitude seorang wanita itu cantik, tidak dapat dipungkiri jika wanita tersebut akan menarik perhatian seorang pria. Terutama pria kaya dan terpandang yang diidamkan setiap wanita dan orang tua saat itu.
Padahal, sebenarnya kehidupan wanita setelah menikah di era tersebut cukup memprihatinkan. Selain terkontrol oleh suaminya secara fisik, anak-anak, harta benda dan uang yang mereka miliki dialihkan kepada suami mereka (VL McBeath). Saat itu, di pandangan hukum sekali pun, wanita tetap berada di bawah kuasa suaminya. Apa pun pandangan yang diungkapkan suami, haruslah dianggap sebagai kebenaran yang tidak boleh dibantah istrinya.
Adapun Louisa May Alcott dalam Little Women, menggambarkan sosok perempuan bernama Jo March yang berusaha mendobrak budaya patriarki dengan bertekad tidak menikah. Ia berambisi menjadi penulis dan merasa sudah cukup bahagia dengan dirinya sendiri. Karena ia merasa jika Laurie, pria yang menyukai dia itu tidak terlalu menyukai tulisannya, membuat Jo takut mungkin dia akan terkekang dan melepas impiannya untuk jadi seorang penulis. Sedangkan Amy—adik Jo—merepresentasikan bagaimana ambisi perempuan saat itu hanya bertahan sejenak. Ia awalnya menjalani kehidupan sebagai pelukis, tetapi ia berujung menikah karena sadar diri akan posisinya sebagai perempuan tidak punya kesempatan dan ruang kebebasan yang sama dengan laki-laki.
Begitu pun jika dihubungkan dengan sosok Enola, ia tidak sekadar menolak mengenakan korset. Sebenarnya itu hanya dalih sebagai salah satu bentuk perlawanan terhadap tindakan patriarkinya Mycroft dan Sherlock. Sama seperti wanita lainnya, Mycroft bertekad memasukkan Enola ke sekolah kepribadian perempuan tak lain adalah untuk mempersiapkan adiknya nanti menikah. Karena saat itu, standar kesuksesan wanita adalah ketika ia bisa menikahi pria kaya, bergelar, terpandang dan sebagainya.
Akhir Kasus
Era Victoria. Kerap kali digambarkan dengan kehidupan indah, mencari jodoh melalui pesta dansa, aesthetic, serta kesan vintage yang tak sedikit orang ingin memasuki masa itu. Pada kenyataannya? Tidak seindah yang kita lihat di film-film. Itu hanya luarnya, jika menyelami bagaimana sebenarnya kehidupan di masa itu dan pesan apa yang ingin disampaikan, saya rasa akan mengurungkan niat untuk memasuki era tersebut.
Novel ini menurut saya cukup menggambarkan kondisi saat itu. Ketika wanita hak-haknya sangat terbatas oleh patriarki, standar kecantikan wanita yang lahir dari budaya patriarki, standar kesuksesan wanita yang hanya pada saat ia menikah dengan pria kaya. Adapun sosok Enola yang merepresentasikan sebuah perlawanan atas budaya tersebut dengan diselingi bumbu fiksi dan misterinya, penulis membawa saya pada kehidupan yang menurut saya indah, ternyata sebaliknya. Jika ditanyakan apakah worth it untuk dibaca? Cukup worth it, jika sedang ingin membaca novel berlatar era Victoria yang dibalut dengan teka-teki ringan dan isu feminis.