Pernahkah kalian datang ke restaurant yang menyediakan rak atau tempat sampah agar pelanggan bisa merapihkan sendiri sisa makanannya?Â
Saya rasa kita semua pernah mendatanginya, restaurant cepat saji dengan menu ayam itu misalnya, yang tidak lain adalah KFC. Delapan bulan yang lalu, KFC mem-posting sesuatu di laman resmi facebook yang berisi himbauan agar customer dapat membereskan sampah dan piring yang digunakannya sendiri, atau yang biasa kita sebut self service.Â
Self service bukan hanya membereskan meja makan sendiri, tapi juga membawa makanan pesanan dan mencari meja sendiri, tidak akan ada pelayan yang melayani hal ini.
Sebagaimana kita tahu, Self service sudah sangat lumrah di negera lain, tapi masih sangat ganjil jika berlaku di Indonesia.Â
Sebagai buktinya, unggahan KFC di laman Facebooknya dibanjiri oleh komentar pedas masyarakat, banyak yang tidak terima karena telah membayar mahal dan berpikir seharusnya ia pantas untuk dilayani, ada juga yang enggan melakukannya supaya pegawainya ada kerjaan.
"Sejak kecil, kita udah diajarin sebenarnya untuk selalu beberes setelah makan. Tapi seiring dengan berjalannya waktu, budaya ini sudah mulai jarang. Kita lestarikan  lagi budaya beberes, yuk!Â
Dari sekarang, kita mulai budaya beberes setelah makan!" begitulah kalimat yang diunggah pihak KFC di jejaring sosial.Â
Banyak sekali komentar pedas yang diterimanya, namun ada beberapa yang dibalas dengan cerdas oleh KFC seperti contohnya komentar ini: "KFC hengkang aja ke negara maju.... Jangan pakai dalih budaya buat peningkatan omset, you serves we pay!" ujar salah satu pengguna akun twitter, dan mendapat balasan dari pihak KFC seperti ini: "Loh, KFC kan memang dari negara maju." Epic bukan?
Penolakan yang terjadi ini cukup membuat saya merasa miris. Sebenarnya, self service itu bukan perkara budaya di negara maju atau tidak. Self service mengajarkan agar tiap individu bisa merasa bertanggung jawab terhadap sesuatu yang dipakai atau diperbuatnya, mengajarkan hidup efisien karena sejatinya kita tidak perlu tenaga orang lain untuk membereskan apa yang seharusnya menjadi tanggung jawab sendiri, dan juga disiplin.Â
Bayangkan saja jika tiap manusia di suatu kota menerapkan hal ini, kota tersebut pasti akan terbebas dari sampah yang berserakkan karena tiap individu telah membuangnya di tempat yang seharusnya.Â
Self service jelas mengajarkan kita peduli pada lingkungan. Dengan manfaat kecil yang jika dilakukan banyak orang ini pasti akan menjadi luar biasa dampaknya, lantas kenapa masih ditolak?
Jika alasannya budaya, dapat saya simpulkan bahwa orang Indonesia membudayakan sifat malas. Kenapa? Karena untuk membereskan diri sendiri saja masih enggan dilakukan. Kemudian, kenapa masih bertahan dengan budaya yang buruk seperti ini?
Untuk terbebas dari sifat malas, hanya ada satu yang bisa mengubahnya, yaitu kemauan. Namun, terbebas dari penolakan-penolakan gerakan beberes diri sendiri ini, banyak juga yang mendukungnya.Â
Seperti pemilik akun @sherlyn_alviana, ia menulis komentar seperti ini: "Good job min.. Kampanye kaya gini nih cocok ubah etika, manner masyarakat berkembang kaya Indo.Â
Biar punya sifat menghargai satu sama lain sama siapapun, punya kebiasaan buat mandiri dan gak merendahakan orang lain meskipun kepada pekerja. Mereka juga manusia biasa."
Jika demikian, dapatkah saya bertanya bahwa benarkan Self service yang tidak cocok dengan budaya Indonesia ataukah Indonesia sendiri yang tidak cocok memiliki budaya dengan pemikiran yang maju?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H