Setidaknya sudah satu minggu belakangan saya mengamati lalu lintas masyarakat di Kota Payakumbuh, Sumatera Barat yang dikabarkan tetap meramaikan jalan raya disepanjang Jalan Soekarno-Hatta dan jalan-jalan lainnya di Kota Payakumbuh.Â
Mereka tampak abai akan anjuran pemerintah untuk menerapkan social distancing atau yang belakangan ini lebih dikenal dengan istilah physical distancing.
Saya mencoba bertanya kepada teman kuliah saya yang masih stay di Kota Pekanbaru. Ia menceritakan hal yang tak jauh berbeda kepada saya. "Iya tih, di Panam ni a, masih banyak jugak yang nongki-nongki sama gengnya" Ungkapnya dengan logat ala kawula muda Pekanbaru.
Saya tidak habis pikir, ditengah Pandemi yang sudah membuat seisi dunia panik ini masih saja ada orang yang tidak peduli dengan kesehatan dirinya sendiri dan kesehatan orang-orang disekitarnya. Dengan berkumpul seperti itu, secara tidak langsung mereka membuka peluang untuk penyebaran Covid-19 dilingkungan mereka.
Maksud saya seperti ini, kalau niatnya cuma keluar sebentar untuk membeli sembako, membeli voucher internet, mengisi token listrik, atau hal darurat lainnya, tentu tidak apa-apa. Nah, yang bikin gerah itu muda-mudi yang masih ngumpul bareng ditepi jalan, kakak cantik dan abang ganteng yang masih update instastory di mall , ataupun ibu-ibu yang maksain arisan tetap jalan.
Saya jadi penasaran, apa sih yang ada didalam pikiran orang-orang yang masih suka keluyuran nggak jelas itu? Apa mungkin mereka  ngerasa punya sembilan nyawa seperti si-meong kali ya, makanya mereka seenaknya masih nongki di cafe yang katanya asique itu?
Setelah saya pikir-pikir ulang, setidaknya ada beberapa alasan yang bisa menjelaskan perilaku orang-orang yang masih suka keluyuran nggak jelas di tengah pandemi.
1. "Ah, masih aman. Kan orang disekitarku belum ada yang kena."
Kalau saya bertemu dengan orang yang punya pemikiran seperti ini, ingin rasanya saya ngebisikin "Eh, jadi kamu nunggu ada yang kena dulu biar nggak keluar rumah? Pssttt, kalau kamu yang duluan kena gimana, hehehe."Â
Kita tentu sepakat bahwa virus corona sangat berbahaya. Ada begitu banyak orang kehilangan nyawa. Ada jutaan bahkan puluhan juta orang yang sudah kehilangan pekerjaan diseluruh dunia. Berbagai kegiatan terhambat, bahkan mandek. Â
Jadi, please, setidaknya kita ikut berusaha memutus mata rantai penyebaran virus corona ini dengan #DirumahAja. Jangan jadikan lingkungan kita yang 'katanya' masih aman sebagai dalih untuk tetap beraktivitas yang tidak penting di luar rumah.Â
Walaupun kita telah mengantisipasi dengan memakai masker dan hand sanitizer, semua itu tetap tidak ada artinya kalau kita semua tetap keluar rumah dalam waktu lama dan berkumpul tanpa tujuan yang jelas.Â
Banyaknya masyarakat awam yang kurang edukasi mengenai gejala Covid-19 ini, tentu mengakibatkan sedikit kerumitan untuk mengenal mana orang yang sudah terjangkit virus dan mana yang belum. Ditambah lagi dengan simpang siur informasi mengenai Covid-19 ini.Â
Banyak oknum tidak bertanggungjawab yang dengan seenak isi perutnya menekan tombol copy paste dan share ke grup di sosial medianya tanpa bertabayyun dan mencari kebenaran setiap informasi yang diterima.Â
Hal ini tentu membuat masyarakat kebingungan mana petunjuk dan informasi yang seharusnya dicatat baik-baik dan mana informasi yang seharusnya di delete saja. Apa jangan-jangan hal-hal yang seperti ini yang membuat kita menyepelekan makhluk Allah yang satu ini?
2. "Apa? Takut? Jadi kalian lebih takut sama virus daripada sama Tuhan?"
Wow! Ini pertanyaan yang sangat absurd menurut saya pribadi. Kenapa saya mengatakan demikian? Bagi saya, kata-kata itu tak lain dan tak bukan adalah gejala menyombong di depan Tuhan lewat ungkapan "Takutlah Pada Allah, Jangan Takut Virus Corona".Â
Bagi masyarakat awam dalam beragama, pernyataan semacam itu terkesan sesuatu yang benar, padahal mengandung banyak kebatilan yang membahayakan.Â
Komentar tersebut keliru dan berbahaya disampaikan pada saat Covid-19 mewabah, karena manusia terkesan berpasrah total pada Allah sebelum ada usaha yang maksimal, memotivasi diri untuk terlalu percaya diri dan tidak waspada, serta berpotensi memengaruhi banyak orang untuk bersikap tidak peduli apakah ia tertular atau menularkannya.Â
Padahal, yang harus kita sadari Covid-19 adalah salah satu ciptaan-Nya. Tidak etis saja rasanya jika kita membandingkan takut dengan virus bersamaan dengan takut dengan Tuhan. Pastilah Allah memiliki maksud tersendiri dalam penciptaan segala sesuatu yang ada disemesta raya ini. Wallahu a'lam bish-shawwab.
Orang yang takut kepada Allah adalah orang yang beriman yang kuat--yang ia lebih dicintai oleh Allah--karena ia terus berusaha dan ikut bekerja sama agar ia tidak tertular Covid-19, apalagi turut menularkan kepada saudara-saudaranya yang semula sehat wal afiat.Â
Orang yang takut kepada Allah itu tidak egois, ia pasti amat penyayang kepada orang-orang disekitarnya, sebagaimana ia sayang kepada dirinya sendiri. Bertawakkal (berpasrah diri secara total) kepada Allah itu bisa kita lakukan setelah upaya-upaya yang maksimal. Upaya menjaga kesehatan diri sendiri dan orang-orang disekitar kita adalah bagian amat penting dari sebuah klaim ketakwaan kepada Allah.
3. "Bosan woi, kalau dirumah aja!"
Bosan. Tentu saja iya. Kali ini saya mengaku sepemikiran dengan isi kepala orang-orang yang masih keluyuran diluar rumah tanpa alasan yang jelas.Â
Eh, jadi kamu juga bagian dari mereka dong? Nggak gitu juga dulur. Jadi gini, saya setuju dengan rasa bosan yang dialami oleh setiap orang yang tengah mengisolasi diri dirumah.Â
Sebab, rasa bosan adalah fitrahnya manusia. Jangankan 14 hari, seharian tanpa melakukan apa-apa dirumah pasti rasanya bosan sekali. Eh, tapi catat ya! Tanpa melakukan apa-apa. Nah, sekarang jelas kan perbedaannya?
Orang yang mengatakan bosan dirumah adalah orang yang tidak melakukan apa-apa ketika karantina. Ups! Tersinggung? Hehe, nggak apa lah ya. Syukur masih bisa tersinggung, berarti pintu hatimu sedang diketuk untuk segera berbuat sesuatu.Â
Sebenarnya, bagi kita-kita yang mahasiswa atau pekerja kantoran pastinya tengah beradaptasi dengan segala aktifitas harian yang tetap berjalan meski medianya sudah berbeda. Tanpa disadari, Covid-19 memberi kita kesempatan untuk lebih mandiri.Â
Dari yang awalnya tidak terbiasa bertatap muka dengan dosen atau atasan via zoom, sekarang mulai santai dan biasa aja. Dari yang awalnya ruang penyimpanan smartphone masih kosong, sekarang penuh karena aplikasi yang menunjang produktifitas  maupun karena download materi perkuliahan dan presentasi yang kadang tidak tanggung-tanggung ukuran filenya. Dari yang awalnya tidak bisa mengoperasikan beberapa aplikasi, sekarang sudah ahli karena belajar otodidak akibat tuntutan deadline. Luar biasa bukan?
Nah, yang saya uraikan diatas hanya yang berkaitan dengan kewajiban kita sebagai seorang pelajar atau pekerja. Lalu bagaimana dengan kegiatan produktif dengan inisiatif kita sendiri?
Ada banyak sekali hal yang bersifat self improvement yang dapat kita lakukan sambil leyeh-leyeh dirumah. Semenjak semua kegiatan dialihkan menuju media online, saya dapat melihat bagaimana organisasi-organisasi disetiap wilayah di tanah air berlomba-lomba membuat seminar online, diskusi online, ta'lim online, dan segala macam per-online-online-an lainnya.Â
Terkesan sangat kompetitif. Tetapi, bukannya esensi hidup memang begitu? Berlomba-lomba menjadi yang terbaik diantara yang terbaik. Kegiatan ini sangat cocok untuk orang yang memiliki tipe horisontal body battery-saving mode people. Dengan bermodal niat, kuota, dan mata melek saja mereka sudah mendapatkan informasi menarik melalui grup whatsapp sambil rebahan.Â
Namun, untuk orang-orang yang lebih rajin setingkat, bisalah gabung diskusi interaktif via zoom, selain bisa tatap muka dengan orang-orang hebat, penjelasan dari pemateri juga lebih mudah dimengerti.Â
Salah satu organisasi yang banyak sekali menyajikan diskusi online seperti tadi adalah Pelajar Islam Indonesia (PII). Hampir setiap hari PII se-Nusantara berganti-gantian menyampaikan informasi yang menarik dengan pemateri hebat disetiap forumnya.
Trus yang nggak ada kuota gimana dong, Tih? Ah, masa sih nggak ada kuota? Baca tulisan ini juga pakai kuota kan? Hehe.. Mungkin maksudnya, yang mau menghemat kuota bagaimana ya kan.Â
Sebenarnya isolasi dirumah banyak sekali memberikan waktu luang kepada kita. Tergantung kita masing-masing akan memanfaatkan waktu luang yang banyak itu dengan cara yang seperti apa.Â
Coba deh, lihat tumpukan buku kita yang mungkin sudah mulai tertutup debu. Sekarang, coba ambil beberapa buku dan buat target akan menyelesaikan berapa buku dalam beberapa waktu kedepan.Â
Akan sangat produktif sekali bukan, kalau kita terus menerus memberi asupan makanan untuk otak selama #DirumahAja. Bayangkan, ketika Pandemi ini berakhir, kita telah bertransformasi menjadi orang yang lebih berwawasan, berintelektual, dan siap untuk diajak diskusi.
Tapi saya tipe orang yang moody-an kalau baca. Saya perlu diingatkan untuk baca buku tiap harinya. Apa saya harus cari seseorang sebagai pengingat dan penguat ketika malas?
Waduh, saya khawatir. Dari yang awalnya cuma sebagai pengingat  jadi menerobos hingga ke penjaga. Penjaga perasaan maksudnya, haha. Banyak kok, komunitas-komunitas kece yang siap untuk 'menampung' orang yang mau menghabiskan masa libur pandemi dengan membaca buku.Â
Admin-admin kece akan senantiasa mengingatkan kita untuk laporan bacaan setiap harinya. Selain itu kita juga bakal dapat teman-teman seru yang bikin semangat untuk membaca. Salah satu komunitas yang saya sarankan adalah Berani Baca. Info selanjutnya silahkan dicari tahu sendiri, katanya sudah mandiri semenjak pandemi?
Dan masih banyak lagi hal positif lainnya yang bisa dilakukan meskipun lagi #DirumahAja. Entah menonton channel youtube yang edukatif, menulis cerpen maupun esai, membersihkan rumah, eksperimen didapur, atau sekedar baca artikel di platform keren di internet.
Saya mengerti, mungkin dari kita-kita ada yang curi-curi waktu untuk sekedar mengusir kejenuhan dirumah dengan menghirup udara segar diluar atau menatap birunya langit disiang hari.Â
Hanya saja yang mesti diwaspadai adalah jaga-jarak-tubuh dan selalu-cuci-tangan-pakai-sabun. Keluarlah kalau penting saja. Sebab kondisi masih berbahaya. Please, sayangi dirimu dan orang disekitarmu dengan tidak berkeliaran tak tentu arah. Dan lagi, jangan mudah percaya dan tetaplah skeptis terhadap informasi yang diterima.
Jangan jadikan pandemi ini sebagai alasan untuk berhenti bergerak, berproses, dan berdampak. Maknai saja wabah ini sebagai pelecut diri kita untuk senantiasa berbuat hal positif dikondisi yang sulit. Bersabar, ya. Esok, ini pasti akan berakhir.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H