Mohon tunggu...
Amelia Zulfiani
Amelia Zulfiani Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa UIN Sjech M. Djamil Djambek Bukittinggi

Pena Berbicara Lebih Lantang daripada Suara

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Analisis Resistensi Pribumi Terhadap Pandangan Orientalis Dalam Film Bumi Manusia

15 Desember 2023   15:43 Diperbarui: 15 Desember 2023   16:03 99
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Indonesia merupakan negara dengan sasaran terhadap praktik kolonialisme yang dulu bernama Hindia-Belanda. Praktik yang mendominasi terhadap Indonesia selama berabad-abad seperti eksploitasi, perlawanan, konflik, politik, golongan (kelas sosial), dan sebagainya. Isu mengenai kolonialisme hari ini masih banyak muncul dalam berbagai media. Tidak dapat dipungkiri bahwa orientalisme pada awalnya membonceng di balik adanya kolonialisme dan mendukung segala agenda-agenda dominasi Barat terhadap dunia Timur. Film ini menceritakan tentang kebingungan tokoh utama yang terjebak di antara kekaguman dan kebencian terhadap kebudayaan dan kemajuan inovasi teknologi bangsa Eropa (Orientalis) yang pada saat itu menduduki Hindia-Belanda. Perjuangan seorang tokoh pers dan pergerakan nasional Indonesia yang juga dikenal sebagai perintis awal persuratkabaran dan kewartawanan Indonesia.

Tidak hanya dari sudut pandang Barat, sinema-sinema dari negara Timur pun juga seringkali merepresentasikan diskursus Orientalisme secara visual. Termasuk pada film Bumi Manusia yang terbit pada tahun 2019 ini. Falcon Pictures telah merilis film ini sebagai adaptasi dari novel karya sastrawan legendaris Indonesia, Pramoedya Ananta Toer, dengan disutradarai oleh Hanung Bramantyo. Dalam film ini, menceritakan seorang tokoh utama yang merasa kebingungannya yang terjebak antara kekaguman dan kebencian terhadap kebudayaan dan kemajuan inovasi serta teknologi bangsa Eropa yang pada saat itu menduduki Hindia-Belanda (Indonesia). Dalam sebuah awalan scene yang menceritakan tentang pencitraan bangsa Eropa sebagai negara maju dan beradab yang diiringi visualisasi Orientalisme terhadap Hindia-Belanda itu sendiri. Namun, pada akhir cerita, kekaguman terhadap Eropa justru beralih haluan dan malah menimbulkan representasi yang menggambarkan secara jelas bahwa Eropa merupakan bangsa antagonis yang suka memerangi, merampas hak pribumi serta merendahkan pribumi di tanah air mereka sendiri.

Kepiawaiannya yang berani dalam menulis kecaman-kecaman pedas terhadap pemerintahan Belanda dan merupakan orang pertama yang menggunakan surat kabar dalam propaganda dan pembentuk pendapat umum. Bagaimana perlawanan masyarakat pribumi terhadap pengaruh yang dibawa oleh para orientalis di masa kolonial Belanda. Bagaimana para tokoh ini merubah perspektif dengan membela tanah air sendiri dan mengusir kolonialisme karena sudah membawa trauma berat terhadap Indonesia. Bagaimana gambaran para orientalis bertukar peran yang sebelumnya pengkaji, peneliti dan pemerhati dunia Timur menjadi penguasa dan perampas hak-hak Timur yang dilegitimasi lewat kolonialisme.

Istilah Orientalisme mulai marak digunakan di lingkup masyarakat akademis sejak munculnya publikasi Edward Said mengenai wacana Orientalisme, yang merujuk pada perlakuan Barat terhadap negara-negara Timur Tengah, Asia, serta masyarakat di Afrika Utara. Menurut Said, Barat memaknai orang-orang Timur sebagai masyarakat yang tidak maju dan tidak berkembang sehingga menciptakan peluang adanya kekuatan imperialisme dari Barat yang dianggap jauh lebih unggul. Dengan kata lain, Orientalisme merupakan ide bahwa Barat adalah bangsa yang maju, rasional, fleksibel dan superior. Timur seringkali dicitrakan sebagai daerah yang tropis, eksotis dan secara tradisional memberikan latar belakang cerita penaklukan dan penaklukan yang pernah dilakukan oleh Barat pada masa lampau.

Indonesia yang dahulunya bernama Hindia-Belanda pernah menjadi sasaran para kaum kolonial untuk menjalankan agenda praktik dominasi yang dilakukan terhadap Hindia-Belanda selama berabad-abad. Salah satunya praktik dominasi tersebut menjadi catatan panjang sejarah bagi Indonesia, yakni pada masa kolonial. Eropa yang menginginkan daerah tropis dan mengklaimnya sebagai wilayah teritorial mereka dan melanggengkan kuasa kolonial di daerah tersebut sehingga tercatat sebagai sebuah bentuk penjajahan. Berbagai media kehidupan menjadikan Orientalisme sebagai gagasan di berbagai aspek budaya, seperti musik, seni, literatur bahkan film. Keberlanjutan wacana Orientalisme pada masa poskolonial dapat ditemukan melalui berbagai macam imaji, seperti perfilman. Indonesia salah satunya sebagai negara yang telah banyak sekali memproduksi film-film, termasuk film papan atas terkenal. Tak ayal juga di berbagai genre dengan berbagai latar belakang alur yang berbeda, seperti film Bumi Manusia.

Imperialisme dan kolonialisme tidak terlepas dari pandangan Orientalisme yang merupakan cara Barat untuk mendominasi, merestrukturisasi serta memiliki otoritas atas Timur. Dalam Orientalisme terdapat dua oposisi biner, yakni The Orient dan The Occident yang membentuk dikotomi imaji yang di karang mengenai Timur dan Barat. Hubungan antara keduanya adalah hubungan kekuasaan, dominasi, dari berbagai tingkat hegemoni yang kompleks. Orientalisme hanyalah aktivis diskursif yang tanpa henti merepresentasikan rasionalitas Barat. Oleh karena itu, Orientalisme adalah cara pandang akademis dunia Barat tentang dunia Timur yang pada umumnya merupakan daerah koloni.

Pada scene awal terdapat peninggian budaya Barat terhadap Timur ditampilkan oleh sang tokoh utama, Minke yang merupakan seorang pribumi dan teman Indo-nya, Robert Suurhof. Minke merupakan pengagum budaya Barat, terbukti dengan adanya buku koleksinya Max Havelaar dan foto Ratu Belanda di kamarnya. Ia seolah terbius dengan budaya Barat yang dicitrakan telah berhasil menciptakan hegemoni budaya sehingga orang-orang Timur secara tidak sadar ikut serta dalam budaya mereka.

Konflik yang membenturkan dua oposisi biner Barat dan Timur direpresentasikan melalui kasus hukum yang membuat pribumi harus diadili di meja persidangan. Konflik ini berawal dari misteri kematian Hermann Mellema sebagai suami dari Nyai Ontosoroh serta bapak dari Robert dan Annelies Mellema yang diracun di tempat pelacuran Koh Atjong. Stereotip pribumi yang buruk dan dianggap sangat barbar mengakibatkan Barat memberikan tuduhan kepada Nyai Ontosoroh sebagai pihak yang diuntungkan melalui kematian suaminya. Hal itu selalu dikonotasikan negatif diperlakukan secara tidak manusiawi di meja pengadilan. Ketika memasuki ruang pengadilan, Nyai Ontosoroh diminta dengan paksa untuk melepaskan sandal dan berjalan jongkok.

Dengan berbagai upaya Barat dalam memberikan pengaruh dalam mengemukakan representasi budaya sebagai alat dominasi dan kontrol akan tetap menjadi peran penting dalam aspek Orientalisme. Representasi kebudayaan lokal yang dicitrakan lebih baik dari budaya Eropa terjadi ketika konflik pada bagian klimaks film ini, dimana pernikahan Annelies dan Minke tidak dianggap sah secara hukum Eropa sehingga Annelies dianggap tidak punya wali dan harus dibawa ke Belanda. Hukum Eropa (Belanda) dalam hal ini menjadi representasi sarana bekerjanya ideologi kolonialisme yang ikut berperan sebagai institusi yang meminggirkan pribumi (Timur). Untuk melawan hukum Eropa yang semena-mena tersebut, Minke membenturkan masyarakat pribumi dan Eropa dengan cara menulis artikel berbahasa Melayu yang memperlihatkan ketidakadilan konstitusi Eropa terhadap pribumi.

Dampaknya, para pemuka agama langsung memberikan reaksi atas hukum Eropa yang disebut-sebut telah menginjak-injak hukum Islam. Inilah yang disebut diskursus perlawanan dari pribumi pada Eropa yang ditampilkan melalui representasi kebudayaan pribumi yang sangat dekat dengan hukum agama. Hukum Eropa dianggap tidak memanusiakan manusia apabila dibandingkan dengan hukum Islam. Penduduk Jawa yang mayoritas beragama Islam merespon hal tersebut dengan antusias. Wacana ini memicu protes dan pemberontakan dari pribumi, di mana mereka berusaha memperjuangkan keadilan dan melakukan protes di depan pengadilan Eropa di Surabaya.

Perlawanan yang dilakukan oleh pribumi tersebut merupakan konstruksi wacana bangsa Eropa yang digambarkan tidak adil dan tidak manusiawi. Penggambaran tersebut terlihat melalui egoisme yang ditunjukkan oleh Eropa melalui diterbitkannya surat kabar yang berjudul "Hoekoem Agama Tidak Berlaku di Koloni". Surat kabar tersebut memperlihatkan kekalahan Minke dan Nyai Ontosoroh dalam persidangan, sehingga hak asuh dan harta Mellema tidak jatuh ke tangan Nyai Ontosoroh. Begitu juga pernikahan Minke dan Anneliese pun dianggap tidak sah, pernikahan tersebut juga merupakan institusi sarana kerja kolonialisme yang melanggengkan superioritas Barat dan Timur. Bangsa Eropa semakin menunjukkan wujud aslinya, yakni menggunakan keunggulan ilmu pengetahuannya untuk mendominasi dan mempersekusi pribumi. Negara Eropa yang dikenal beradab ternyata tidak melindungi setiap individu dengan payung hukum yang adil. Pada bagian ini, bangsa Eropa lah yang ternyata berperilaku bar-bar mempermainkan hukum untuk menindas rakyat pribumi, mempermainkan hukum untuk menindas, serta layak untuk disamaratakan dengan binatang.

Usaha-usaha perlawanan yang dilakukan oleh Minke dan Nyai Ontosoroh merupakan bukti dari representasi budaya pribumi yang berupaya untuk mengkonstruksi pembalikan stereotip citra Timur yang selalu dipandang sebelah mata. Meskipun pada akhirnya Belanda digambarkan "menang" karena berhasil membawa Anneliese ke negaranya, hal tersebut tidak sepenuhnya bisa dimaknai sebagai bentuk dari kekalahan pribumi dari kejahatan dominasi Eropa, "Kita telah melawan sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya". Hal tersebut menyiratkan adanya kemenangan yang sebetulnya telah ditunjukkan melalui usaha perlawanan yang dilakukan terhadap bangsa yang memiliki otoritas. Usaha perlawanan Minke dan Nyai Ontosoroh ini mengisyaratkan kemenangan akan kolonialisme yang sesungguhnya, sebab wacana kolonialisme tidak akan habis sampai kapanpun. Film ini telah memunculkan ideologi perlawanan yang mencoba menciptakan narasi dan paradigma baru mengenai resistensi dan pemberdayaan pribumi sebagai pihak yang teropresi dalam menghadapi pandangan Orientalisme yang diciptakan oleh Barat, meskipun usaha yang dilakukan semaksimal mungkin, walau tidak mencapai seideal mungkin mencapai "kemenangan". Hal ini tentu saja menyiratkan bahwa Orientalisme akan terus ada sampai kapanpun di segala aspek kehidupan poskolonial.  Perlawanan yang dilakukan oleh Minke dan Nyai Ontosoroh merupakan penggambaran dari perasaan dan penderitaan kaum pribumi saat itu terhadap kolonialis Belanda. Menjadikan hal ini bukti sampai saat ini jasa Tirto Adhi Soerjo (Minke) dalam hal pemberitaan terhadap kekejaman hukum Eropa terhadap hak-hak pribumi di tanah air mereka sendiri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun