Mohon tunggu...
Syamsul Yakin dan Amelia
Syamsul Yakin dan Amelia Mohon Tunggu... Mahasiswa - Dosen dan mahasiswa

Dosen dan mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Moderasi di Era Disrupsi

10 Desember 2024   12:40 Diperbarui: 10 Desember 2024   12:40 27
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh: Syamsul Yakin dan Amelia Assama

(Dosen dan mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)

Kata “moderasi” dalam bahasa Indonesia dan Inggris memiliki arti tengah, sedang, dan tidak berpihak, sepadan dengan kata “wasath” dalam bahasa Arab yang mengacu pada posisi tengah, adil, dan menjaga keseimbangan (tawadzun). Di era disrupsi teknologi dan informasi yang cepat serta sering tidak terkontrol membuat masyarakat dihadapkan dengan polarisasi ekstrem dalam sikap sosial, politik, dan budaya. Media sosial yang mempercepat penyebaran informasi juga memperburuk ketegangan melalui berita palsu dan ujaran kebencian. Oleh karena itu, sikap moderat penting guna memilah informasi secara kritis demi menjaga keberagaman pandangan tanpa adanya konflik. Moderasi beragama menjadi kunci untuk keharmonisan antar umat beragama dan kedamaian, sementara dalam konteks kebangsaan, moderasi diperlukan untuk menghadapi paham keagamaan konservatif demi kehidupan berbangsa yang rukun dan sesuai dengan identitas budaya Indonesia. Lantas seperti apa dan bagaimanakah moderasi di era disrupsi?

 Saat ini laju disrupsi seringkali mengabaikan nilai keadilan, keseimbangan, dan toleransi. Moderasi beragama menekankan keseimbangan, toleransi, dan dialog untuk mencegah ekstremisme dan polarisasi, serta memastikan penghormatan terhadap keberagaman tanpa ada kelompok yang merasa superior. Teknologi dapat mendukung edukasi nilai moderasi dan penolakan terhadap ujaran kebencian di media sosial, demi menjaga integritas bangsa dengan cara tetap memperhatikan nilai norma sosial dan budaya yang ada di Indonesia. Moderasi beragama juga dapat dimulai dari pendidikan agama yang seharusnya diterima oleh anak-anak sedari kecil. Karena pendidikan agama yang moderat diperuntukan guna membentuk generasi muda yang menghargai kerukunan antaragama dan kehidupan berbangsa, serta mencegah terjerumus nya mereka dalam paham yang radikal.

Masyarakat online di era disrupsi tetap membutuhkan moderasi beragama dan bernegara guna menghadapi tantangan dunia siber, seperti asosialitas, polarisasi, dan disinformasi. Tanpa moderasi, disinformasi dapat memperburuk polarisasi sehingga menciptakan ketegangan sosial, dan memengaruhi persepsi publik, terutama terkait agama dan politik. Kelompok tertentu bisa saja menyebarkan ideologi yang bertentangan dengan nilai Islam Nusantara dan seringkali menggunakan identitas baru yang palsu. Karena hal inilah, moderasi digunakan untuk menjaga kebijakan inklusif, mencegah intoleransi, serta mendukung dialog sehat dan keharmonisan sosial. Pengamalan sikap Pancasila, pemahaman kearifan lokal, dan penguatan gotong royong penting untuk menjaga persatuan bangsa dan mencegah separatisme.

Moderasi politik di dunia maya juga diperparah karena kurangnya kontrol terhadap konten yang dapat memperburuk ketegangan politik dan memperkuat suara ekstrem. Media sosial juga memperburuk polarisasi, memperbesar perbedaan antar kelompok, dan memfasilitasi manipulasi opini publik yang dapat memengaruhi pemilu dan kebijakan yang sudah ditetapkan. Polarisasi ini menciptakan batasan antara “kita” dan “mereka” sehingga menciptakan eksklusi sosial dan diskriminasi.

Pada dasarnya moderasi beragama penting untuk menjaga keharmonisan dalam masyarakat multikultural Indonesia dengan menghormati keyakinan tanpa mengorbankan identitas. Di era digital, moderasi beragama dan bernegara diperlukan untuk mencegah polarisasi, disinformasi, dan intoleransi, serta menjaga diskursus publik yang inklusif dan berbasis fakta. Dikarenakan polarisasi politik di dunia maya dapat memperburuk eksklusi sosial dan diskriminasi, sehingga pengelolaan komunikasi politik yang moderat sangat diperlukan untuk menghindari dampak negatif disrupsi digital.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun