Perubahan iklim semakin menguji ketahanan pangan di Sulawesi Selatan, salah satu daerah penghasil padi, jagung, dan kedelai terbesar di Indonesia. Dengan suhu yang terus meningkat dan curah hujan yang tak menentu, produksi pertanian kian tertekan. Namun, solusi inovatif dan strategi adaptasi mulai diterapkan untuk menjaga stabilitas pangan di wilayah ini.
Dalam kajian ini, digunakan metode analisis SWOT (Strengths, Weaknesses, Opportunities, Threats) untuk mengevaluasi tantangan dan peluang dalam menjaga ketahanan pangan Sulawesi Selatan di tengah gempuran perubahan iklim. Melalui pendekatan ini, berbagai kekuatan dan kelemahan dalam sistem pertanian diidentifikasi, serta peluang dan ancaman yang perlu diperhatikan oleh para petani dan pemerintah lokal.
Hasilnya? Suhu yang meningkat sebesar 2C selama musim tanam 2020-2023 berdampak cukup signifikan, menyebabkan penurunan produksi padi hingga 15%. Dalam kajian ini juga digunakan analisis regresi, yang mengungkapkan bahwa setiap kenaikan suhu 1C bisa menurunkan hasil panen padi hingga 100 ribu ton dan jagung sebanyak 50 ribu ton. Angka ini tidak main-main dan jelas mengancam keberlanjutan pangan jika tidak ada tindakan yang lebih serius.
Selain tantangan suhu, cuaca ekstrem seperti banjir di wilayah pesisir Selayar pada tahun 2022 menyebabkan kerugian lebih dari Rp50 miliar setelah menghancurkan ratusan hektar lahan pertanian. Hal ini menegaskan pentingnya strategi adaptasi jangka panjang, terutama untuk mengatasi ancaman iklim yang semakin tidak dapat diprediksi.
Namun, kabar baiknya, pemerintah Sulawesi Selatan sudah melakukan berbagai langkah untuk menghadapi tantangan ini. Salah satunya adalah pengembangan varietas padi tahan kekeringan yang berhasil meningkatkan ketahanan tanaman hingga 20%. Selain itu, penerapan teknologi irigasi tetes di daerah-daerah seperti Bone dan Sidrap telah terbukti sangat efektif dalam mengatasi masalah kekurangan air, yang menjadi salah satu kelemahan dalam sistem pertanian lokal.
Dengan memanfaatkan peluang dari teknologi pertanian yang semakin maju, pemerintah juga mulai mendukung para petani melalui program subsidi dan pelatihan untuk penggunaan alat-alat modern. Analisis SWOT menggarisbawahi bahwa dengan memaksimalkan kekuatan lokal dan mengatasi kelemahan, serta memanfaatkan peluang yang ada, Sulawesi Selatan masih bisa bertahan dan bahkan berkembang di tengah perubahan iklim yang semakin intens.
Dalam kesimpulannya, kajian ini ingin membuka pemikiran bagi para generasi menciptakan inovasi  teknologi pertanian canggih terus diperluas dan upaya mitigasi perubahan iklim semakin ditingkatkan. Dengan adaptasi ekonomi yang tepat, bukan hanya Sulawesi Selatan tapi seluruh wilayah Indonesia dapat menjadi lumbung pangan yang memberi kesejahteraan, meski tantangan iklim di masa depan semakin besar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H