Mohon tunggu...
Amela Rahmawati
Amela Rahmawati Mohon Tunggu... Lainnya - Pelajar

Amar ma'ruf nahi munkar.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Menyesal

8 Februari 2021   01:05 Diperbarui: 8 Februari 2021   01:29 215
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Tahun 2010, aku memutuskan mengisi waktu libur kuliahku untuk pergi ke Yogyakarta menjadi bagian dari tim SAR. Kala itu aku membantu mengevakuasi para korban letusan Gunung Merapi, namun 275 orang diantaranya tidak bisa kami selamatkan. Di tengah malam saat hendak beristirahat, ada warga yang datang dan mengatakan bahwa ada seorang anak lelaki yang berusia tiga tahun masih berada di pemukiman yang letaknya di kaki gunung. Tidak ada yang berani mengevakusi anak itu karena lahar semakin turun ke kaki gunung, kecuali aku dan satu wanita dari PMI. Disanalah kami pertama kali bertemu, kami memutuskan untuk langsung pergi mengevakuasi anak itu.

Kala itu kami benar-benar mempertaruhkan nyawa kami, api dimana-mana, hutan sudah sangat terbakar, dan tanah sudah tertutup abu vulkanik. Kami turun dari mobil, lalu menurunkan berbagai perlengkapan untuk mengevakuasi.

"Kita harus berpencar!" Perintahku.

"Kita harus selalu bersama, jangan membuat salah satu diantara kita hilang dan menambah korban yang perlu di evakuasi!" Jawabnya.

Aku membenarkan ucapanya, lalu menyalakan empat senter. Dua untuku dan dua untuknya.

Kami terus berteriak dan mengarahkan senter kami secara acak. Setelah cukup lama, kami menemukan anak itu pingsan tergeletak diatas gubuk kayu yang hampir terbakar. Kami berlari agar anak itu bisa cepat dievakuasi, namun tiba-tiba ada ranting yang penuh api jatuh mengenai wajah wanita itu, masker yang digunakannya terbakar dan mengenai pipinya hingga kulitnya sedikit mengelupas. Dia langsung membuang asal maskernya dan melilitkan kerudungnya hingga menutupi hidung dan mulut, udara saat itu terlalu berbahaya jika terhirup.

"Kenapa kamu tidak memakai masker cadangan?" Tanyaku.

"Kamu tahu kita hanya membawa satu masker, dan itu untuk anak ini!" Jawabnya sambil melilitkan selimut basah dan memakaikan masker yang sedang kami bicarakan pada anak itu.

"Kita bahkan tidak tau apakah anak itu masih hidup atau sudah mati." Ucapku.

"Dia akan tetap hidup jika kita bisa cepat membawa dia dari sini." Jawabnya.

Aku menggendong anak itu dan kami berusaha untuk lari secepat mungkin. Ditengah perjalanan dia mengatakan bahwa sepatuku meleleh, namun aku tidak menghiraukannya dan terus berlari hingga tiba di tempat kami memarkirkan mobil tadi. Akupun memasukan anak itu di kursi belakang agar bisa langsung mendapatkan penanganan pertama. Aku mengemudikan mobil dengan sangat cepat untuk mencegah ban mobil ikut meleleh.


Setibanya di pengungsian kami langsung ke tenda PMI, akhirnya anak itu ditangani lebih lanjut oleh dokter yang sedang berjaga. Perempuan itu juga langsung mengobati luka di pipinya, dan ketika aku akan pergi untuk membersihkan diri dan beristirahat dia menahanku. Dia mengatakan bahwa kakiku juga perlu diobati. Duduklah aku di ranjang pasien untuk diobati. Aku pun memeriksa kakiku, ternyata benar sepatuku meleleh dan telapak kakiku sepenuhnya melepuh. Selesai diobati aku menyodorkan tanganku untuk mengajaknya berkenalan.
"Zayan, Zayan Khalid." Aku memperkenalkan diri.
"Alma Izzatunisa Rahma." Jawabnya langsung pergi tanpa menyambut tanganku.


Keesokannya, aku kembali ke tenda PMI untuk mengetahui keadaan anak yang dievakuasi kemarin malam. Akupun menemukannya dan menanyaan kabarnya pada dokter penjaga yang ada disana.
"Bagaimana keadaannya sekarang?" Tanyaku.
"Alhamdulillah sejauh ini keadaanya sudah sehat, tapi kami belum memeriksa lebih dalam!" Jawab dokter penjaga tersebut.
"Alhamdulillah. Lalu kenapa masih disini? Dimana keluarganya, apa orangtuanya belum menjemputnya?" Tanyaku lagi.
"Orang tuanya masih belum ditemukan, jadi setelah ini dia masih akan tetap disini untuk memperpulih keadaannya sambil menunggu kabar orangtuanya." Jawabnya memberi penjelasan.


Hari-hari berlalu, keadaan sudah membaik. Gunung Merapi sudah berhenti mengeluarkan awan panas, udara sudah kembali segar, dan proses pengevakuasian sudah selesai. Aku dan banyak anggota tim SAR lainya membereskan tempat pengungsian. Kami kembali ke daerah asal kami masing-masing. Begitu juga aku, aku kembali ke kampung halamanku di Jakarta dan kembali kuliah seperti biasa.

Hari pertama kuliah berjalan lancar dan membosankan, selesai kuliah sekitar pukul tujuh malam kuputuskan untuk pergi ke kafe dekat kampus. Aku buka pintu kafe dan melangkah masuk, ku taruh bokongku di kursi yang berhadapan langsung dengan meja barista lalu memesan secangkir kopi.

"Mbak, hot americano satu gelas medium!" Ucapku sambil menscrol ponselku memeriksa tugas-tugas yang telah dikirimkan oleh dosen.

"Satu hot americano ukuran medium." Seorang barista wanita mengantarkan kopiku. Suaranya tak asing, aku langsung menengok ke asal suara dan benar, aku melihat Alma.

"Alma, kau bekerja disini?" Tanyaku, tapi dilihat dari raut wajahnya sepertinya dia tidak mengingatku.

"Aku Zayan, kita bertemu di Yogyakarta saat membantu proses evakuasi korban erupsi Gunung Merapi," ucapku dan sepertinya dia mulai ingat.

"Senang rasanya bisa bertemu lagi." Sambungku.

"Kamu juga kuliah disini ternyata, prodi apa?" Tanya Alma padaku.

"Aku ambil bisnis management, kamu kuliah disini juga? Mahasiswa baru ya?" Tanyaku.

"Iya, aku prodi ilmu biomedik." Jawab Alma.

"Oh, anak FK ternyata. Ngomong-ngomong kamu kerja disini baru ya?" Tanyaku.

"Iya, hari pertama!" Ucap Alma yang aku balas dengan anggukan kepala.

Aku menyeruput habis kopiku, dan langsung membayar. Namun tiba-tiba Alma membuka percakapan kembali.

"Zayan kamu tau? Aku dapet kabar kalo anak lelaki yang dulu kita selamatkan ternyata ada di Panti Asuhan Yatim Indonesia dekat kampus kita, katanya orangtuanya sampai sekarang masih belum ditemukan." Ucap Alma.

"Beneran? Yaudah lusa kita jenguk anak itu. Pas banget lusa aku gak ada jadwal kuliah, gimana kamu bisa gak?" Tanyaku.

"Bisa, bisa, tapi aku ga bisa sampai sore. Aku mulai kerja disini dari jam tiga sore sampai jam delapan malem soalnya!" Jawab Alma.

"Ok, nanti aku kabarin lagi ya! Boleh minta nomor ponsel kamu?" Tanyaku. Diapun memberi nomor ponselnya. Aku langsung pergi meninggalkan kafe itu dan pulang ke rumah.


Pagi-pagi sekali aku menyalakan mesin mobilku, ku datangi tempat dimana Alma tinggal. Diperjalanan aku memutuskan untuk membeli beberapa selimut, beras, buah, dan permen coklat untuk anak-anak. Tiba di depan rumah Alma tinggal, kubunyikan klakson mobilku dua kali. Alma pun keluar dari rumahnya dan menghampiri mobilku.

"Mau masuk dulu ga?" Tanya Alma.
"Gak usah, kita langsung aja!" Perintahku.
"oh, ok!" Jawabnya sambil membuka pintu mobilku dan masuk sambil membawa dua panci susun berukuran besar.
"Ini disimpen dimana?" Tanyanya sambil mengangkat dua panci yang dia bawa.
"Simpen di kursi belakang aja! Kamu bawa apa?" Tanyaku.
"Aku bawa omelet sama soto buat anak-anak panti!" Jawabnya yang aku balas dengan anggukan.


Aku melajukan mobilku dengan kecepatan sedang, namun tak sampai lima belas menit kami sudah tiba. Kami menyapa satu-persatu penjaga dan pengurus panti. Aku berikan barang barang yang tadi aku beli di perjalanan, dan kami bersama anak-anak di panti makan bersama makanan yang dibuat Alma. Kami sedikit berbincang dengan pengurus panti, saat aku memberikan barang-barang yang aku bawa mereka sangat berterima kasih. Katanya mereka sangat bersyukur kedatangan kami, donatir panti asuhan ini sudah dua bulan tidak mengirim bantuan lagi. Untuk biaya sehari hari mereka dapatkan dari penjualan kerajinan kain flanel dan anyaman karpet dari kayu. Untuk menghemat uang mereka berpuasa sunnah senin kamis, sekalian menanamkan kebiasaan berpuasa sejak dini katanya. Sedangkan untuk menghemat biaya listrik mereka tidak menggunakan kipas angin, dan lampu-lampu hanya di hidupkan saat malam hari. Itupun sampai anak-anak tidur.


Lalu kami membicarakan tentang anak lekaki berusia tiga tahun yang pernah aku dan Alma selamatkan. Namanya Salman, penyakitnya baru diketahui setelah dipindahkan ke panti ini. Ternyata Salman mengidap penyakit bronkitis yang sudah kronis karena terlalu banyak menghirup abu vulkanik.
"Kesian ya, di usianya yang masih tiga tahun udah sakit parah. Belum lagi engga diobatin karena gak ada biaya." Ucap Alma.
"Alma, menurut kamu gimana kalau aku adopsi Salman?" Tanyaku.
"Mau siapa yang urus, kamu kan kuliah. Jangan ngaco deh Zayan!" Jawab Alma ketus.
"Kamu," belum selesai aku berbicara mata Alma langsung melotot padaku. " Maksudnya, kalau aku lagi sibuk banget kan aku bisa nitipin dia ke kamu. Lagian kan kalo aku adopsi dia dia bisa lebih pantau, bisa diobatin juga, diliat progres kesehatanya kaya gimana, terus makannya juga bisa lebih terkontrol."
"yaudah deh terserah kamu aja!" Jawab Alma.


Akupun membicarakan hal ini ke pengurus panti, responnya baik. Namun sayangnya aku tidak bisa menjadi wali untuk Salman, karena aku belum memiliki pekerjaan. Lalu Alma mengajukan diri untuk menjadi wali Salman. Setelah mengisi formulir, dan melewati proses yang panjang akhirnya Alma bisa mengadopsi Salman. Hari pertama Salman kami bawa ke rumah Alma.
"Karena wali salman itu aku, jadi hari pertama Salman harus tinggal sama dirumahku, kedepannya baru di rumah kamu!" ucap Alma.
"Tapi, yang tanggung jawab penuh tetep kamu ya Zayan!" Tambahnya.


Dua tahun berlalu, Salman masih belum sembuh. Keadaannya terus memburuk. Seperti hari ini, aku dan Alma mengajak Salman ke taman di dekat rumahku untuk menghirup udara segar. Tapi tiba-tiba dia sesak nafas dan jatuh pingsan. Kami sangat khawatir, kami bawa Salman ke rumah sakit terdekat.
"Bagaimana keadaannya dok?" Tanyaku pada dokter yang baru selesai memeriksa keadaan Salman.
"Dia harus segera di operasi hari ini juga, paru-parunya harus segera dibersihkan. Dengan biaya yang tidak sedikit tentunya. Jika kalian setuju kalian bisa langsung membayar ke staf administrasi dan menandatangani surat ijin untuk operasi!" Jawab dokter.
"Aku bingung apa yang harus aku lakukan, apa aku jual saja mobilku? Bagaimana menurutmu Alma?" Tanyaku pada Alma.
"Jangan! Aku ada uang peninggalan ayahku, kita bisa pakai uangku saja!" Jawabnya serius.
"Tapi uang itu untuk biaya kuliah kamu! Kamu tau biaya kuliah kamu tidak sedikit" Jawabku sedikit berteriak.
"Dalam hidup memang ada yang harus dikorbankan, Zayan. Lagi pula aku bisa mencari beasiswa. Kalaupun aku harus berhenti kuliah aku tetap bisa melanjutkan hidupku, aku bisa bekerja!" Ucap Alma.
"Seperti katamu, dalam hidup memang harus ada yang dikorbankan. Aku akan tetap menjual mobilku, dengan hanya menggunakan uangmu tetap tidak akan cukup!" Ucapku panjang lebar, baru kali ini ucapanku benar dan realistis.


Uang hasil penjualan mobilku dan uang tabungan Alma, sudah kami bayarkan untuk biaya operasi Salman. Hanya tesisa sedikit, itupun untuk biaya Salman sehari-hari selama di rumah sakit. Operasi berjalan lancar. Dokter keluar dan mengatakan bahwa Salman mengalami koma, namun hal itu adalah hal yang biasa pasca operasi. Kemungkinan Salman koma selama satu minggu. Namun sudah dua bulan telah berlalu, Salman masih belum sadar juga. Aku dan Alma saling bergantian menginap di rumah sakit menjaga Alma. Hari ini, ibu jari dan jari telunjuk Salman bergerak. Kami langsung memanggil dokter.

Dokter hendak memeriksa keadaan Salman, dan kami disuruh untuk menunggu diluar. Ada banyak suster keluar-masuk ruangan Salman dan membawa peralatan besar yang aku tidak tahu untuk apa. Akhirnya dokter keluar dan menyampaikan berita yang tidak ingin sedikitpun aku dan Alma dengar. Salman tidak bisa diselamatkan. Dia meninggal. Aku membeku, dan Alma menagis tersedu-sedu.
"Zayan, Salman meninggal!" Ucap Alma lirih.
"Seandainya kita tidak menyelamatkan Salman dua lalu. Aku sangat menyesalinya!" Ucapku datar.
"Apa yang kamu sesali Zayan?" Dengan tiba-tiba dia berhenti menangis dan menanyakan hal ini padaku dengan nada yang serius.
"Seandainya kita tidak menolong Salman, dia tidak akan hidup sakit-sakitan! Luka bakar dipipimu tidak akan ada! Telapak kakiku tidak akan melepuh! Mobilku mungkin masih ada! Kamu juga bisa tetap kuliah dan menggapai cita-citamu! Selama ini kita hanya buang buang uang dan tenaga, apa kamu tidak menyadarinya?" Ucapku pada Alma dengan suara yang dikeraskan.
"Cukup Zayan, cukup. Kamu menyesal telah menyelamatkan Salman?" Tanya Alma dengan nada suara yang sedih.
"Menyelamatkan? Kita menyelamatkan orang yang memang ditakdirkan untuk tidak selamat, Alma!" Ucapku pada Alma dengan nada yang masih sama.
"Bukankah Salman yang membuat kita bertemu dan dekat seperti sekarang? Aku kecewa padamu, Zayan!" Ucap Alma sembari pergi meninggalkanku. Dan itulah kalimat terahkir dari Alma padaku, juga terakhir kali aku bertemu dengan Alma.

SELESAI

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun