“Bagaimana. Semua sudah oke? Tamu-tamu sudah ramai?”
“Sudah Pa, sudah. Papa bagaimana? Jangan terlalu lama lho. Kasian orang-orang sudah menunggu lama. Anak-anak sudah mulai gak betah. Nanti keburu ada yang pulang.”
“Ow ow.. oke Ma. Oke. Papa keluar sebentar lagi. Sudah beres.”
Tak lama, Mardi muncul dari balik pintu kamar. Ia melangkah tergopoh sambil memasang satu kancing rompi hitam membalut kemeja putih yang ia kenakan. Nafasnya tersengal. Maklum saja, tubuh Mardi yang tambun membuatnya harus mengeluarkan tenaga ekstra hanya untuk berjalan sekalipun.
Selain rompi ia juga mengenakan top hat, topi khas pesulap yang awalnya dipopularkan Presiden Amerika Abraham Lincoln di era tahun 1960an. Dan sebagai pelengkap penampilan, dia juga membawa tongkat yang umumnya digunakan pesulap dalam sebuah pertunjukkan.
“Bagaimana penampilanku Ma? Cocok?” kata Mardi. Ia merentangkan tangan lebar-lebar.
“ Wow. Cocok banget Pa. Papa betul-betul mirip tukang sulap lho!”
“Hahahahahaha....!” Mardi terkekeh. Dia rangkul lengan istrinya Helena. Keduanya kemudian menuruni anak tangga rumah mereka yang teramat megah – yang tangganya saja dihiasi logam stenlis kwlitas super dan keramik anti kepleset.
Belum lagi tiba di lantai dasar, seorang bocah perempuan setengah berlari menghampiri lalu memeluk keduanya.
“Papa kok lama?” kata bocah yang tak lain adalah putri Mardi dan Helena. Namanya Tasya.
Belum sempat menjawab, bocah itu kembali melempar tanya. Wajahnya berekspresi heran.