Sebuah kolom di The Guardian berjudul 'I fear books are going the way of vinyl records -- a rarefied pursuit for hobbyists' [Saya khawatir buku akan bernasib seperti piringan hitam---menjadi hobi langka yang hanya diminati oleh segelintir kolektor dan penggemar], menggambarkan kekhawatiran ini.
Jika dulu, liburan musim panas adalah saat yang tepat untuk menyelesaikan bacaan, kini kebiasaan itu tergantikan oleh layar ponsel yang terus di-scroll. Buku yang dibawa ke pantai hanya menjadi hiasan, sementara perhatian sepenuhnya teralihkan ke layar. Instagram Reels, dengan video berdurasi beberapa detik, memenuhi hasrat penonton akan alur yang cepat. Â Namun, dari perspektif sastra, cerita pendek yang dihadirkan dalam video ini ibarat makanan cepat saji; memberi rasa kenyang sementara namun minim kepuasan mendalam. Para pencandu video pendek akan terus mencari lebih banyak, seperti orang yang merasa lapar meski baru saja makan.
Survei The Reading Agency menunjukkan, lebih dari sepertiga orang dewasa di Inggris telah meninggalkan kebiasaan membaca sebagai hiburan (reading for pleasure), dan jumlah yang tidak membaca sama sekali telah meningkat dua kali lipat sejak tahun 2015. Minat baca ini bahkan lebih rendah di kalangan generasi muda, dengan 44% remaja berusia 16 hingga 24 tahun mengaku jarang atau tidak pernah membaca sebagai hiburan.
Meskipun ada fenomena seperti 'BookTok' di TikTok, di mana Gen Z memamerkan buku yang mereka baca, namun ini adalah fenomena yang jarang terjadi. Tren ini menciptakan kesan seolah-olah buku sedang mengalami lonjakan popularitas. Rak buku yang disusun rapi agar terlihat jelas sebagai latar saat panggilan Zoom atau menenteng tas kain Daunt Books yang sedang tren, semakin memperkuat ilusi tersebut.
Namun, ada perbedaan besar antara memamerkan buku dan benar-benar membacanya. Survei The Reading Agency mengungkapkan bahwa 3 dari 10 orang dewasa merasa kesulitan membaca atau tidak mampu fokus lebih dari beberapa menit. Literasi mereka terhadap teks panjang semakin menurun.
Yang paling mengkhawatirkan adalah kenyataan bahwa generasi muda mulai kehilangan minat terhadap membaca. Hanya 40% dari anak-anak Inggris berusia 8 hingga 18 tahun yang membaca di waktu luang mereka, ini merupakan persentase terendah sejak survei dimulai pada tahun 2005. Kebiasaan membaca yang lebih tinggi pada anak perempuan kini juga mulai menghilang, bahkan lebih cepat daripada anak laki-laki dan mereka yang berasal dari keluarga berpenghasilan rendah.
Anak-anak sebenarnya tidak kehilangan minat pada storytelling, namun mereka mencarinya di media lain. Jika tren ini berlanjut, membaca buku akan menjadi hobi yang eksotis dan elit seperti catur atau mengoleksi piringan hitam tua.
Situasi ini sangat mengkhawatirkan, terutama dampaknya terhadap anak-anak. Membaca di pangkuan orang tua bukan hanya memperkuat ikatan, tetapi juga penting untuk perkembangan kemampuan berbicara dan bahasa pada anak-anak, terutama bagi anak-anak yang kurang beruntung.
Analisis BookTrust menunjukkan, anak-anak berusia lima tahun yang tumbuh dalam kemiskinan memiliki peluang lebih besar untuk keluar dari kemiskinan saat dewasa, jika mereka membaca. Studi lain menunjukkan bahwa anak-anak yang suka membaca lebih percaya diri, memiliki integritas lebih tinggi, dan kesehatan mental yang lebih baik.
Mendorong anak-anak untuk membaca dan mengajak orang tua membaca bersama anak-anak mereka adalah salah satu kebijakan paling efektif yang harus difokuskan oleh pemerintah Inggris, yang saat ini merasa khawatir tentang mobilitas sosial, hasil pendidikan, dan kesehatan mental anak-anak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H