Mohon tunggu...
Justin Jeongho Kim
Justin Jeongho Kim Mohon Tunggu... Wiraswasta - Jurnalis dan Konsultan Bisnis

Konsultan asing yang berbisnis di Indonesia dan Korea Selatan. Jurnalis dengan fokus pada isu internasional. Menyukai seni dan menghubungkan berbagai budaya. Hobi berbagi ide bisnis antara Indonesia dan Korea Selatan.

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Bagaimana Trump Menjadi Monster di Film "The Apprentice"

4 Juli 2024   13:38 Diperbarui: 7 Juli 2024   08:54 185
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

The Apprentice, sebuah film baru karya sutradara Iran-Denmark, Ali Abbasi. Film ini berkompetisi di Festival Film Cannes pada bulan May lalu dan mendapatkan tepuk tangan meriah selama 8 menit setelah pemutarannya.

Saya belum menonton film ini, namun berencana untuk menontonnya nanti. Saat melihat posternya, saya penasaran dengan jalan ceritanya, lalu mencari info di Google dan ternyata film ini cukup menarik.

Ali Abbasi, 42, memenangkan Palme d'Or di Festival Film Cannes ke-71 untuk film keduanya, “Border” (2018). Film ketiganya, “Holy Spider” (2022), memenangkan Palme d'Or untuk Aktris Terbaik di Festival Film Cannes di tahun 2022. "The Apprentice" sendiri adalah film keempatnya, jelas sudah bahwa Cannes sangat mengapresiasi karya-karya Abbasi.


Tokoh utama dalam The Apprentice adalah mantan Presiden AS, Donald Trump. Film ini mengisahkan bagaimana Trump berkembang menjadi raja real estate pada tahun 1970-an dan 1980-an. Judul "The Apprentice" sendiri merujuk pada Trump sebagai murid yang membutuhkan seorang mentor. Dan, mentor dalam film ini adalah pengacara terkenal, Roy Cohn.

Poster film The Apprentice menampilkan Trump duduk dengan latar belakang emas, sementara pria di belakangnya adalah Roy Cohn. Poster ini secara implisit menyampaikan pesan bahwa Trump yang sekarang merupakan hasil didikan Cohn. 

Seseorang merangkum cerita film ini sebagai kisah tentang Trump muda yang berusaha meraih kekuasaan melalui perjanjian Faustian dengan pengacara sayap kanan berpengaruh di masa itu, Roy Cohn. Ini artinya, Trump “menjual jiwanya” kepada Cohn untuk mewujudkan semua ambisinya.

Roy Cohn berasal dari keluarga Yahudi kaya di New York dan menjadi jaksa federal setelah lulus dari Columbia Law School. Sebagai jaksa, ia melihat peluang menjadikan kariernya melesat dengan cara memberantas para komunis selama Perang Dingin. Ia menuntut pasangan Rosenberg, yang akhirnya dieksekusi karena diduga membocorkan teknologi nuklir AS. 

Selama penyelidikan, ia menggunakan berbagai cara ilegal seperti suap, intimidasi, dan penyiksaan terhadap para tersangka. Hal ini menarik perhatian Direktur FBI saat itu, J. Edgar Hoover. Senator Joseph McCarthy kemudian memanggil Cohn ke Washington untuk memimpin perburuan komunis antara tahun 1950 dan 1954, yang dikenal sebagai McCarthyism. Di Indonesia, Cohn bisa diibaratkan sebagai jaksa penuntut publik yang sangat berpengaruh. Setelah McCarthy kalah dalam pemilihan umum, Cohn beralih menjadi pengacara.

Sejak awal, ia menargetkan orang-orang kaya dan berkuasa, yang menggunakan segala cara untuk mendapatkan uang dan kekuasaan. Ia juga bekerja sebagai broker politik, memperkenalkan kliennya pada kampanye Nixon dan menggunakan mafia untuk mendapatkan pengaruh.

Di usia 50-an, Cohn yang berpengalaman dalam berbagai intrik politik, mulai berhubungan dengan Trump, seorang pengusaha real estate berusia 30-an, dan membantu Trump berkembang di dunia real estate Manhattan. Bisa dibilang, 80% Trump saat ini adalah hasil karya Cohn. Trump dan Roy Cohn menjadi sebuah tim untuk menyelesaikan berbagai kesepakatan, baik secara legal maupun ilegal.

Trump dan Roy Cohn banyak menggunakan cara-cara ilegal untuk menyelesaikan kesepakatan bisnis. (Sumber: New York Times)
Trump dan Roy Cohn banyak menggunakan cara-cara ilegal untuk menyelesaikan kesepakatan bisnis. (Sumber: New York Times)

Trump menerbitkan buku pertamanya, “Trump: The Art of the Deal”, melalui ghostwriter Tony Schwartz pada tahun 1987. Buku ini menjadi bestseller di AS selama 51 minggu. Namun, berbagai kesepakatan real estate yang digambarkan sebagai kesuksesan dalam buku tersebut sebenarnya dicapai melalui cara-cara yang tidak etis. Saya sendiri terperdaya dan membeli buku itu.

Sumber: Periplus
Sumber: Periplus

Sekarang, pertanyaannya adalah apakah film ini bisa dirilis di AS. Saat ini, banyak yang meragukannya. Distributor besar seperti Searchlight milik Disney, Sony Pictures Classics, dan Focus milik Universal tidak tertarik untuk membeli film ini. Bahkan, distributor film indie yang biasanya mendistribusikan film eksperimental juga tidak tertarik.

Dengan kemungkinan besar Trump terpilih kembali dalam pemilihan presiden berikutnya, banyak pihak yang berhati-hati. Tim hukum Trump sudah siap menggugat jika film ini dirilis. Basis pendukung Trump yang fanatik juga menjadi pertimbangan. Tidak ada distributor yang bersedia menanggung risiko hukum dan politik untuk menayangkan film ini.

Saat ini, industri film Amerika sedang sibuk dengan berbagai kesepakatan besar. Sony Pictures bekerja sama dengan Apollo untuk mengakuisisi Paramount. Warner Bros Discovery juga menjadi target potensial untuk diakuisisi oleh Comcast, yang merupakan pemilik Universal dan Focus. Jika Trump akhirnya terpilih dan menghalangi proses akuisisi tersebut, tentu akan menjadi bencana.

Batu sandungan lainnya adalah persetujuan dari investor utama film ini, miliarder Dan Snyder, yang memiliki hubungan dekat dengan Trump. Snyder dikabarkan kesal dengan isi film yang menggambarkan Trump sebagai orang yang terjerumus dalam kekuasaan dan kekayaan. 

Dalam film tersebut, Trump digambarkan memperkosa mantan istrinya Ivana dan menyalahgunakan amfetamin. Snyder meminta beberapa adegan dihapus, namun versi aslinya justru diputar di Cannes.

Sutradara Abbasi, yang mendapat pujian kritis untuk "Holy Spider", memilih untuk membuat film tentang Trump meskipun banyak yang memperingatkannya agar menggunakan pendekatan yang lebih metaforis. 

"Anda tidak bisa menghadapi gelombang fasisme dengan cara yang baik dan metaforis. Anda hanya bisa melakukannya dengan cara yang kotor," kata Abbasi. 

"Masalah dengan dunia ini adalah bahwa orang-orang baik sudah terlalu lama berdiam diri," lanjutnya setelah pemutaran film tersebut di Festival Film Cannes.

Masih harus dilihat apakah film Abbasi akan sampai ke bioskop-bioskop di AS, dan jika ya, apa dampak sosial dan politik yang akan ditimbulkannya, dan apakah film ini akan berpengaruh dalam pemilihan presiden AS mendatang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun