Trump menerbitkan buku pertamanya, “Trump: The Art of the Deal”, melalui ghostwriter Tony Schwartz pada tahun 1987. Buku ini menjadi bestseller di AS selama 51 minggu. Namun, berbagai kesepakatan real estate yang digambarkan sebagai kesuksesan dalam buku tersebut sebenarnya dicapai melalui cara-cara yang tidak etis. Saya sendiri terperdaya dan membeli buku itu.
Sekarang, pertanyaannya adalah apakah film ini bisa dirilis di AS. Saat ini, banyak yang meragukannya. Distributor besar seperti Searchlight milik Disney, Sony Pictures Classics, dan Focus milik Universal tidak tertarik untuk membeli film ini. Bahkan, distributor film indie yang biasanya mendistribusikan film eksperimental juga tidak tertarik.
Dengan kemungkinan besar Trump terpilih kembali dalam pemilihan presiden berikutnya, banyak pihak yang berhati-hati. Tim hukum Trump sudah siap menggugat jika film ini dirilis. Basis pendukung Trump yang fanatik juga menjadi pertimbangan. Tidak ada distributor yang bersedia menanggung risiko hukum dan politik untuk menayangkan film ini.
Saat ini, industri film Amerika sedang sibuk dengan berbagai kesepakatan besar. Sony Pictures bekerja sama dengan Apollo untuk mengakuisisi Paramount. Warner Bros Discovery juga menjadi target potensial untuk diakuisisi oleh Comcast, yang merupakan pemilik Universal dan Focus. Jika Trump akhirnya terpilih dan menghalangi proses akuisisi tersebut, tentu akan menjadi bencana.
Batu sandungan lainnya adalah persetujuan dari investor utama film ini, miliarder Dan Snyder, yang memiliki hubungan dekat dengan Trump. Snyder dikabarkan kesal dengan isi film yang menggambarkan Trump sebagai orang yang terjerumus dalam kekuasaan dan kekayaan.
Dalam film tersebut, Trump digambarkan memperkosa mantan istrinya Ivana dan menyalahgunakan amfetamin. Snyder meminta beberapa adegan dihapus, namun versi aslinya justru diputar di Cannes.
Sutradara Abbasi, yang mendapat pujian kritis untuk "Holy Spider", memilih untuk membuat film tentang Trump meskipun banyak yang memperingatkannya agar menggunakan pendekatan yang lebih metaforis.
"Anda tidak bisa menghadapi gelombang fasisme dengan cara yang baik dan metaforis. Anda hanya bisa melakukannya dengan cara yang kotor," kata Abbasi.
"Masalah dengan dunia ini adalah bahwa orang-orang baik sudah terlalu lama berdiam diri," lanjutnya setelah pemutaran film tersebut di Festival Film Cannes.