Meraung dalam Sunyi
Oleh: Rafael L Pura
Fakta fiksi Ilalang Tanah Gersang, karya Ambuga Lamawuran
Judul: Ilalang Tanah Gersang
Karya: Kopong Bunga Lamawuran
Penerbit: Penerbit Kuncup
Halaman: xvi + 266
Dunia sastra, karena berhubungan dengan manusia di dalamnya, meminjam istilah Maman S. Mahayana, maka ia adalah produk pengarang yang hidup di lingkungan sosial. Dengan begitu, karya sastra merupakan dunia imajinatif pengarang yang selalu terkait dengan kehidupan sosial.
Mencermati setiap Karya Ambuga, sebagai seorang pengarang, juga sebagai bagian dari sebuah komunitas masyarakat, ia dilahirkan, dibesarkan dan memperoleh pendidikan di tengah-tengah kehidupan sosial.
Oleh karena itu, ia juga, secara sadar atau tidak telah menjalankan perannya sebagai anggota masyarakat sejak lahir, dan tentu saja berpengaruh kepada kiblat perjuangan kepangaranganya, tentang apa saja, ketidak adilan sosial, politik, hukum, pendidikan; yang dilihatnya, mungkin juga dirasakannya.
Namun semua ketidakadilan itu, tidak ia suarakan dengan protes keras, unjuk rasa di jalanan atau menyampaikan mosi tidak percaya kepada sasaran tembaknya, Ia memilih jalan sunyi dan meraung di dalammnya.
---
Kali ini, Ambuga kembali memotret kehidupan sosial lewat novelnya Ilalang Tanah Gersang. Perjalanan kehidupan Daruk, boleh jadi mewakili sebagaian besar masyarakat di lingkungannya. Semua itu, ia kisahkan dengan cair, namun dibaliknya, ada semacam sebilah pisau yang tersembunyi yang siap dirahakan sebagai sasaran kritiknya.
Novel Ilalang Tanah Gersang mengisahkan perjalanan hidup Daruk, seorang pemuda di Kecamatan Witihama. Pemuda miskin ini, bersama Ajal, sahabatnya, telah mengeluarkan diri dari sekolah dan seumur hidup tidak mengenyam pendidikan formal.
Novel ini dengan penuh olok-olok menuturkan perjalanan hidup Daruk, dari satu pekerjaan ke satu pekerjaan lain. Walau memiliki sifat menjengkelkan di mata semua orang, ada satu yang membuatnya cukup berarti, yaitu kerja. Dengan kerja, dia berharap satu saat bisa membangun rumah impiannya, dengan keringatnya sendiri.
Mulailah ia bekerja dari satu pekerjaan ke pekerjaan lain, dan semua pekerjaan itu tidak mampu mendatangkan keuntungan secara material. Awalnya dia bekerja sebagai pembuat roti di Kios Rembulan. Karena upah yang kecil dan tidak bisa memberikan kenyamanan bagi semua pekerja, dia menemui pemilik kios dan meminta kenaikkan upah. Hasilnya: ia dipecat dan pulang ke rumahnya dengan membawa sebungkus rokok.
Dia kembali ke desanya, dan dari situ bersama pemuda lainnya, ia menggeluti pekerjaan kebun dan segela tetek-bengeknya. Mereka melakukan pekerjaan kebun disertai segala ritual-ritual adat, dan kepercayaan masyarakat kepada adat dan nenek moyang masih begitu kental. Ketika ada lowongan pekerjaan baru, ia mendaftarkan diri dan ikut bekerja di Kota Larantuka. Di tempat itu, dia bertemu dengan seorang perempuan yang bakalan menjadi istrinya.
Selesai dari pekerjaan itu, dia kembali ke desa, membangun rumah tangganya yang tampak menyedihkan, dan musibah demi musibah selalu menderah. Setelah anaknya masuk sekolah, rumahnya ludes terbakar karena ulahnya sendiri. Ia hijrah ke desa istrinya, Mudakeputuk, dan melanjutkan hidup dengan angan-angan suatu waktu akan kembali ke desa asal dan membangun kembali rumahnya.
Dengan kerja seadanya, ia berhasil menyekolahkan putra semata wayangnya sampai perguruan tinggi di Kota Kupang, dan selain mendirikan rumah, itu adalah satu-satunya hal yang patut dibanggakan dari perjalanan hidupnya yang menggelikan. Setelah beberapa lama hidup di desa istrinya, ia berhasil kembali ke tanah kelahirannya, bersama istrinya, dan berhasil membangun kembali rumah yang di atas lahan yang pernah terbakar itu. Daruk meninggal usai mendirikan rumah itu, dan hanya rumah itu yang ia wariskan bagi istri dan anaknya.
---
Membaca novel ini membuat kita memahami bagaimana sifat-sifat para pemuda dalam suatu kurun waktu tertentu. Kritik yang dilayangkan dalam novel ini tergambar dengan lebih halus, ketimbang seperti dalam buku antologi Perzinahan di Rumah Tuhan.
Dalam pengantar berjudul "Melukis Keseharian, Melawan Kemapanan", Marianus Kleden yakin bahwa novel ini tak hanya menggambarkan kehidupan sebuah keluarga miskin. Tapi juga sebuah perlawanan terhadap kemapanan. Ini dibuktikan dengan pengisahkan dalam novel. Sebagai sebuah perlawanan, novel ini tidak menggambarkan Daruk sebagai seorang pemuda pintar dan kaya raya, atau seorang Arjuna. Novel ini malah mengisahkan seorang pemuda miskin yang terlihat kacau secara mental.
Ditangan Ambuga, karya sastra tidak lagi sekedar teks cukup sebatas dibaca di ruang pribadi sambil mengunya permen karet, melainkan coba mengembalikan sebagai pentas publik dan sekaligus menjadi alat memprovoaksi problem moral, ideologi, bahkan kehidupan politik bangsa ini.
Kiblat perjuangan Ambuga seperti inilah akan membuat karyanya tetap hidup. Ada semangat zaman yang diusung didalamnya; persolaan manusia dan kemanusiaan.
Selamat membaca..
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H