Oleh: Kopong Bunga Lamawuran
Baiklah catatan singkat ini diawali  sebuah ungkapan singkat dan sederhana: "Jika penulis hilang kepekaan, apalah arti seribu tetes tinta?"
Agak menyayat hati, bahkan menyedihkan, jika penulis-penulis yang kita miliki membangun kerajaannya di atas awan, jauh di atas sana, dan tertawa melihat petani-petani yang berdoa memohon tetes-tetes hujan.
Sesuai dengan judul catatan ini, apa yang tertulis pada dua kalimat pertama di atas, ditujukan kepada Asosiasi Guru Penulis Indonesia (Agupena) NTT.
Bukannya mau cerewet, tapi persoalan nasib guru honorer ini mesti dikait-kaitkan dengan sepak terjang Agupena NTT, yang selama ini memiliki nama besar namun terkesan diam-diam saja menyangkut nasib guru honorer.
Di Kabupaten Flores Timur, seperti yang pernah saya dalam beberapa medium, terdapat guru-guru honorer yang digaji secara tidak manusiawi. Tanpa mau berbangga-bangga, di kabupaten ini juga terdapat sebuah perhimpunan, Agupena Flotim, yang sayapnya sudah melebar luas. (Bisa dicek di akun-akun medsos, silakan, Kawan!).
Tentang upah guru honorer sebesar Rp 300 ribu sebulan ini (ini kasus di Flotim, saudara-saudara sekalian), beberapa waktu lalu saya sempat membuat pernyataan kurang enak kepada Agupena Flotim, bahwa persoalan atau kondisi yang sangat tidak manusiawi ini boleh menjadi lahan perjuangannya juga.
Untuk itulah, himbauan demi himbauan kita perdengarkan kembali, bahwa Agupena (NTT) perlu mengambil peran secara nyata, baik melalui tulisan maupun organisasi untuk bersama-sama berjuang melawan ketidakadilan di pelupuk mata ini.
Maka sekali lagi, bukan bermaksud untuk cerewet, hal ini perlu dituliskan kembali. Tentu saja ada klaim-klaim tanpa dasar yang jelas mengatakan bahwa persoalan guru honorer bukan menjadi tupoksi dari Agupena NTT
Siapapun yang berpikiran jernih pada akhirnya tidak akan meribetkan soal ini dan menyalahkan Agupena NTT, jika Agupena NTT akan melanggar tupoksi untuk memperjuangkan nasib guru honorer. Percayalah, sebagian besar masyarakat NTT akan senang sekali jika Agupena NTT turut berjuang.
Dari sisi kemanusiaan, pengambilan tanggung jawab memperjuangkan nasib guru honorer ini merupakan sebuah kemuliaan. Alasannya sederhana: jika para guru tetap diupah secara tidak manusiawi, maka apapun cara yang kita lakukan, tidak akan bisa meningkatkan kualitas pendidikan kita, dan cukup penting juga, tidak akan bisa melahirkan guru-guru penulis sebagaimana dikehendaki Agupena NTT.
Imbas dari upah yang tak layak ini alangkah baiknya dibiarkan mengawang begitu saja, menguap, karena rasanya tak elok diungkit berulang-ulang kali.
Yang ingin saya tulis berikutnya adalah tanggung jawab seorang guru penulis dan pengarang (orang-orang yang tergabung dalam Agupena) terhadap realitas kehidupan tidak manusiawi di depan mata ini.
Setiap orang bisa saja menjadi penulis. Bahkan setiap orang adalah penulis. Seorang sekretaris adalah seorang penulis. Seorang wartawan adalah seorang penulis. Bahkan guru, yang setiap hari menuliskan soal-soal, adalah seorang penulis. Tidak ada yang perlu dilebih-lebihkan dari predikat penulis ini.
Untuk itu, saya tidak ingin memosisikan beberapa anggota Agupena NTT sebagai penulis (writer). Mereka sudah lebih dari itu. Beberapa di antara mereka adalah pengarang (author), sebuah predikat yang jarang dicapai oleh semua penulis.
Walau tentu ada perbedaan besar dan dalam antara kedua predikat ini, ada satu hal yang harus dimiliki keduanya, yaitu rasa kepekaan sosial. Tanpa kepekaan, saya percaya kita tidak akan membaca ratusan buku yang ditulis para pengarang atau ribuan puisi yang ditulis para penyair.
Kepekaan sosial haruslah menyatu-paduh dalam dirinya sang pengarang dan penulis. Dan sungguh terasa aneh, bahkan ajaib, dalam kasus nasib guru honorer, kepekaan para anggota Agupena NTT itu hilang remuk redam tak berbentuk.
Bagi saya alasan tupoksi tidak akan membenarkan ketidakpedulian ini. Pengarang dan penulis yang tergabung dalam Agupena NTT, bagi saya, adalah manusia-manusia merdeka yang bisa berbuat banyak hal demi kemanusiaan, tanpa harus terganggu dengan hal-hal yang tidak substansial.
Dengan alasan ini, sampai sekarang saya tidak bisa menemukan alasan paling masuk akal ketidakpedulian yang selalu ditunjukkan Agupena NTT. Sekaligus saya menyangsikan predikat yang diemban, karena alasan kepekaan.
Karena, tentu, para anggota Agupena NTT bukanlah makhluk halus yang lahir dan tumbuh besar di planet lain, yang terbebas dari situasi nyata yang terjadi di sekeliling kita. Dengan mengandalkan organsiasi dan kekuatan yang dibawakan Agupena NTT, saya percaya organisasi ini bisa memperjuangkan hak-hak guru honorer. Tapi ternyata mereka masih apatis.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H