Catatan Perjalanan Kopong Bunga Lamawuran
Di Kota Bajawa, kita selalu disambut oleh dingin dan kabut. Dingin dan kabut membuat para pemilik toko menutup lebih cepat tokonya pada malam hari, dan janganlah dibayangkan kita bisa leluasa berkeliaran di tengah malam tanpa menggigil seperti orang yang mengalami demam hebat.
Tak hanya dingin dan kabut, tentunya. Kita pun menyaksikan betapa air yang jernih bisa mengalir di sisi luar kota, menyusuri kali yang dinaungi rimbun dedaun bambu. Satu wilayah dengan aliran air yang terletak tak jauh dari pusat wilayah itu, jelas menyingkirkan pikiran-pikiran buruk, semisal krisis air bersih. Tapi itu tidak terjadi di Desa Beiwali.
Desa Beiwali terdapat di Kecamatan Bajawa, Kabuapten Ngada; berjarak hanya sekitar tiga kilometer dari jantung Kota Bajawa. Dari tahun ke tahun, warga desa ini terpaksa mengeluarkan uang jutaan rupiah untuk membeli air bersih yang dijual para sopir tangki air.
Saya sampai di desa tersebut pada siang hari bersama seorang wartawan setempat, dan sepanjang perjalanan, tak henti-hentinya saya mengagumi keindahan dan hijaunya alam menuju Beiwali.
Di jalan, kami bertemu dengan beberapa sopir oto tangki yang memarkir kendaraannya di pinggir jalan, di sisi atas sebuah kali. Empat buah oto tangki parkir di antara rumpun bambu, dan beberapa sopir sedang menunggu giliran. Rumpun bambu itu begitu subur, tumbuh menjulang tinggi, sehingga menghalangi sinar matahari yang berusaha tembus sampai ke tanah.
Jarak kali itu ke pusat Desa Beiwali hanya sekitar dua kilometer. Menurut penjelasan kawan seperjalanan, area aliran air itu masih termasuk dalam wilayah Desa Beiwali. Tapi begitulah. Air yang terisi penuh dalam tangki-tangki oto tersebut akan dijual pula kepada warga Desa Beiwali. Sebenarnya di sekitar desa itu, selain dari aliran air di kali itu, ada juga sumber air yang terletak beberapa kilometer saja ke arah perbukitan.
Semakin dekat dengan pusat Desa Beiwali, kami menemukan satu buah bak penampungan air dan beberapa pipa penyalur air bersih. Pipa-pipa itu membentang di sisi bukit, dipasang begitu saja di antara sisi-sisi pohon yang rindang. Pipa tersebut, begitulah penjelasan Kepala Desa Beiwali yang ditemui beberapa saat kemudian, dibangun sekitar tahun 2011 dan 2012, dengan tujuan untuk menyalurkan air menuju bak penampung. Tentu agak aneh, karena bak penampung yang dimaksud justru dibangun pada sekitaran tahun 2015.
"Itu tidak jelas. Mulai bangun sampai sekarang air tidak pernah masuk-masuk," katanya menjelaskan fungsi bak penampung yang dibangun itu. Dengan nada bersahaja, ia masih mengeluh bahwa pembangunan itu ditujukan untuk warga, tapi tidak pernah dinikmati oleh warga.
Pernah, katanya, penyaluran air bersih itu berhasil masuk ke Desa Beiwali. Tapi tak bertahan lama. Yang bertahan sampai sekarang adalah mandek dan tidak berfungsinya semua hal yang dibangun untuk warga tersebut.
Yang terjadi kemudian, warga Beiwali harus membeli air tangki yang dijual. Jika musim hujan, warga terpaksa harus meminum air hujan yang ditadah. Tentu agak berlebihan juga menggunakan kata "terpaksa" dalam konteks ini, karena mereka melakukan itu tiap tahun tanpa ada satu paksaan, dan justru mereka bersyukur masih bisa menggunakan air tadahan tersebut.
Jika hujan turun dari bulan Desember sampai bulan April, maka sekitar empat bulan mereka tidak perlu membeli air. Untuk antisipasi menghadapi krisis air ini, mereka membangun bak penampungan air untuk menampung air selama musim hujan, yang akan digunakan sewaktu usai musim hujan.
Namun, tentu saja air tadahan itu tak bertahan lama.
"Tergantung besarnya bak dan pemakaian. Kalau ukuran bak tidak terlalu besar, belum satu bulan airnya sudah habis. Untuk makan, minum, cuci, dan lainnya," ujarnya.
Dengan tutur yang masih bersahaja dan bersahabat, ia kemudian menggambarkan bahwa krisis air bersih menjadi satu faktor kemiskinan di Desa Beiwali. Dalam setahun saja, satu keluarga harus mengeluarkan uang jutaan rupiah untuk membeli air, yang hanya dipakai dalam kurun waktu lima sampai enam bulan.
Angka jutaan rupiah itu akan menjadi angka yang sangat besar, jika dijumlahkan dengan banyaknya jumlah keluarga di Beiwali, yakni 372 KK.
Tahun 2017, total pengeluaran seluruh KK di desa ini untuk membeli air bersih mencapai 750-an juta rupiah.
"Bayangkan kalau setiap tahun," kata Nikolaus dengan tenang.
"Banyak bak yang dibangun oleh pemerintah tapi tidak terisi air. Karena memang air tidak ada," jelasnya.
Ia masih bercerita, tahun 2016, ada tim dari Provinsi NTT yang turun ke desa ini dan melakukan pengecekkan terhadap tiga titik, sekiranya bisa dibangun sumur bor. Nikolaus turut serta dengan tim itu ke lapangan untuk mengecek lokasi, dan sampai saat ini, tidak ada informasi lanjutan dari tim itu.
"Waktu itu saya tanya, 'ini bisa dibantu atau tidak?'. Tapi sampai sekarang tidak ada informasi," katanya.
Begitulah. Di desa ini tidak ada sumur bor, dan warga hanya bisa memakai air hujan di kala musim hujan, lalu membeli air jika musim kemarau tiba.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H