Pernah, katanya, penyaluran air bersih itu berhasil masuk ke Desa Beiwali. Tapi tak bertahan lama. Yang bertahan sampai sekarang adalah mandek dan tidak berfungsinya semua hal yang dibangun untuk warga tersebut.
Yang terjadi kemudian, warga Beiwali harus membeli air tangki yang dijual. Jika musim hujan, warga terpaksa harus meminum air hujan yang ditadah. Tentu agak berlebihan juga menggunakan kata "terpaksa" dalam konteks ini, karena mereka melakukan itu tiap tahun tanpa ada satu paksaan, dan justru mereka bersyukur masih bisa menggunakan air tadahan tersebut.
Jika hujan turun dari bulan Desember sampai bulan April, maka sekitar empat bulan mereka tidak perlu membeli air. Untuk antisipasi menghadapi krisis air ini, mereka membangun bak penampungan air untuk menampung air selama musim hujan, yang akan digunakan sewaktu usai musim hujan.
Namun, tentu saja air tadahan itu tak bertahan lama.
"Tergantung besarnya bak dan pemakaian. Kalau ukuran bak tidak terlalu besar, belum satu bulan airnya sudah habis. Untuk makan, minum, cuci, dan lainnya," ujarnya.
Dengan tutur yang masih bersahaja dan bersahabat, ia kemudian menggambarkan bahwa krisis air bersih menjadi satu faktor kemiskinan di Desa Beiwali. Dalam setahun saja, satu keluarga harus mengeluarkan uang jutaan rupiah untuk membeli air, yang hanya dipakai dalam kurun waktu lima sampai enam bulan.
Angka jutaan rupiah itu akan menjadi angka yang sangat besar, jika dijumlahkan dengan banyaknya jumlah keluarga di Beiwali, yakni 372 KK.
Tahun 2017, total pengeluaran seluruh KK di desa ini untuk membeli air bersih mencapai 750-an juta rupiah.
"Bayangkan kalau setiap tahun," kata Nikolaus dengan tenang.
"Banyak bak yang dibangun oleh pemerintah tapi tidak terisi air. Karena memang air tidak ada," jelasnya.