Untuk itulah kemudian Ignas Kleden membagi melek huruf menjadi tiga kelompok. Pertama, tingkat melek huruf secara teknis. Dalam tingkatan ini, seorang dikatakan melek huruf apabila dia mampu menuliskan namanya, alamatnya, ataupun identitas diri lainnya.Â
Orang-orang pada tingkatan ini sudah mendapatkan latihan membaca dan menulis, namun karena bahan bacaan begitu langkah, mereka jarang mengasah kemampuan membacanya. Orang pada tingkatan ini secara teknis sudah melek huruf, namun secara fungsional dan budaya masih buta huruf.
Kedua, orang yang secara teknis dan fungsional sudah melek huruf. Para murid sanggup membaca buku pelajaran, seorang pedagang sanggup menghitung pemasukan dan pengeluaraannya, seorang guru mampu menuliskan perangkat pembelajaraanya.Â
Membaca atau menulis adalah sebuah fungsi yang harus dijalankan dalam pekerjaan. Jika hal ini saja yang bisa dilakukan, maka orang-orang ini secara teknis dan fungsional sudah melek huruf, namun secara budaya masih buta huruf.
Kelompok ketiga adalah orang-orang yang di samping mempunyai kesanggupan baca tulis secara teknis dan fungsional, namun sudah menjadikan baca tulis sebagai kebutuhan hidup sehari-hari dalam berkomunikasi, dengan membaca dan menuliskan hal-hal yang tidak sebatas pada tuntutan pekerjaannya.Â
Jika Gerson Poyk menuliskan novel atau cerpen dan Soe Hok Gie menuliskan catatan hariannya, hal itu semata-mata bukan karena tuntutan pekerjaan, namun lebih kepada kebutuhan secara budaya.Â
Ignas menyimpulkan, bahwa dengan angka melek huruf yang begitu tinggi namun dengan jumlah penerbitan buku yang begitu rendah, maka besar kemungkinan melek huruf yang dimaksud adalah melek huruf secara teknis dan fungsional, tapi pastilah bukan melek huruf secara budaya.
Apa yang dipaparkan Ignas Kleden di atas sepertinya masih relevan dan perlu direnungkan lebih jauh. Tingkat melek huruf selalu berkaitan dengan akses terhadap buku. Dan akses terhadap buku selalu berkaitan dengan penerbit dan tingkat daya beli masyarakat. Fenomena antara penerbit dan pembeli ini yang selalu disebut sebagai fenomena 'ayam dan telur'.Â
Terhadap mahalnya harga sebuah buku dan rendahnya daya beli suatu masyarakat, dari kedua belah pihak memiliki alasan yang sama baiknya. Pembeli akan mengaku bahwa dia akan membeli sebuah buku jika harga bukunya tidak terlalu mahal.Â
Sebaliknya, penerbit tidak akan mencetak sebuah buku dengan oplah yang banyak dan menjualnya dengan harga murah, jika mereka tahu bahwa tingkat daya beli dan minat baca suatu masyarakat masih rendah.
Terlepas dari mahalnya  harga jual sebuah buku yang ditetapkan pihak penerbit karena oplah yang dicetak tidak terlalu banyak (ini juga berkaitan dengan daya beli suatu masyarakat yang rendah), bagi saya harus adalah sebuah prasyarat untuk bisa memampukan seorang pembeli untuk membeli dan memiliki sebuah buku.