Sekolah itu berdiri sekitar tahun 2007. Selama beberapa tahun, sekolah itu masih mendapatkan bantuan dana dari pendiri sekolah dan pihak yayasan.
Namun sejak tahun 2015, pendiri dan yayasan telah lepas tangan. Secara praktis, sekolah itu hidup dan bernafas dari bantuan dana BOS.
Kondisi sekolah itu cukup memrihatinkan, karena sebagian dinding sekolah telah bolong. Jendela-jendela pada beberapa kelas hanya dipasang kawat karatan.
Di situ, kami bertemu Herlin Sanu (30), seorang guru perempuan yang digaji Rp 150 ribu sebulan. "Kalau kami mementingkan diri sendiri, kami sudah tidak mengajar lagi," kata Herlin.
"Kami dibayar maksimal Rp 150 ribu sebulan. Itupun kami peroleh tiga bulan sekali. Kadang tidak dibayar juga. Katanya diputihkan. Kalau kami ego, kami bisa saja keluar. Tapi kalau kami keluar, bagaimana dengan anak-anak?" sambungnya.
Tentu gaji itu tidak akan pernah cukup menghidupinya. Untuk itulah dia membuka sebuah kios dan berjualan usai mengajar.
"Saya perempuan," katanya, "Kebutuhan saya pun lebih banyak dibanding laki-laki. Kalau saya tidak jualan, saya tidak mungkin bertahan. Saya jualan apa saja setelah pulang sekolah. Modal awal usaha saya dapat dari keluarga."
Herlin tentu seorang wanita yang kuat. Dia masih bertahan mengajar di sekolah itu, sampai sekarang.
Sedangkan sahabat saya, Lamen, telah memutuskan ke luar NTT. Dia sekarang mengajar di Pulau Borneo. Mereka hanyalah contoh wajah guru honorer di provinsi ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H