Bupati Flores Timur, Anton Hadjon, dalam kunjungannya beberapa waktu lalu ke Kota Kupang sempat menegaskan, Kabupaten Flores Timur pada 2018 akan menjadi contoh paling sempurna dari program "Indonesia Terang". Tentu ucapan ini bisa diukur dengan mengunjungi dusun Oring Bele Gunung ini.
Hari itu, kami sempat berkunjung ke beberapa kawan gurunya, mengobrol sambil minum tuak yang disuguhkan. Seorang guru lelaki, teman minum kami, mengatakan kalau dia pun digaji Rp 300-400 ribu sebulan. Itupun tidak diberikan tiap bulan. Tapi tiga bulan sekali. "Saya sudah 9 tahun mengabdi di sini," katanya.
Saya membayangkan kehidupannya selama sebulan adalah ujian maha berat. Apalagi lelaki itu telah beristri. "Di sini, kami mengabdi dengan tulus. Tapi kalau tidak diperhatikan, kami sengsara juga," katanya lagi.
Banyak hal yang kami bicarakan, dan kadang saya merasa menyesal karena mengajak mereka mendirikan sebuah komunitas baca di sekolah ini. Kami minum beberapa lama, dan pulang. Besoknya, kami akhirnya mendirikan komunitas baca di tempat itu, Komunitas Bao Langu. Mereka, dua orang guru bergaji Rp 300 ribu itu adalah pendirinya.
Perjalanan saya hanya dua hari itu menyisakan permenungan yang dalam. Begitu banyak guru honorer digaji dengan angka yang sangat tidak manusiawi. Mereka menghabiskan pendidikannya, berusaha bekerja, namun upah yang mereka peroleh pun tidak sebanding dengan keringatnya.
Untuk memahami sikap diam guru honorer di Flores Timur, para lulusan sarjana yang mau kerja begitu saja tanpa adanya kepastian upah yang layak, ada beberapa kemungkinan sekaligus alasan, salah satunya adalah budaya "gelekat" (saya mengulas ini dalam tulisan "Gelekat Lewo dan Kesejahteraan Guru").
Untuk orang Flores Timur, gelekat (mengabdi, membangun lewo tana/kampung) adalah sebuah konsep mengabdi yang sangat familiar. Orang-orang akan rela mengabdi dengan bayaran sangat rendah, jika pengabdian itu dianggap sebagai gelekat. "Gaji kecil tidak mengapa, asal gelekat," ujar banyak orang yang saya jumpai dalam hidup saya.
Ibukota Provinsi
Di ibukota provinsi, Kota Kupang, setahun setelah mengunjungi sekolah sahabat saya itu, saya diajak seorang fotografer asal Jakarta mengunjungi sebuah sekolah.
Awalnya kami berencana meliput kasus "Topan", namun karena istri Topan keberatan, kami urungkan niat itu. Topan sendiri adalah seorang warga biasa yang dituduh melakukan pembunuhan. "Kompas telah menulis 'Polisi Bunuh Polisi'," kata fotografer itu.
Akhirnya, kami menerima tawaran Marsel (sopir yang selalu membantu kami) untuk mengunjungi SD Kristen Kuasaet, di Kecamatan Maulafa, Kota Kupang.