Catatan Kopong Bunga Lamawuran
Membaca karya fiksi kadang menumbuhkan perasaan-perasaan tertentu. Dengan alur yang diatur, latar yang pilih, tema yang diseleksi, tokoh dan penokohan yang dibentuk, tidak menutup kemungkinan kita akan menangis. Kita bisa menangis, demikianlah yang kadang terjadi, walau kita tahu bahwa cerita fiksi itu dipintal sesuai keinginan pengarang.
Kadangkala, karena terlalu tenggelam menyelami sebuah cerita, saya malah merasa bahwa apa yang ditulis oleh pengarang -- yang tidak pernah saya lihat raut wajahnya itu -- adalah salinan dari kehidupan saya sendiri. Mungkin karena mendekatkan dunia dan membangkitkan emosional kita itulah, novel maupun cerpen sering membuat banyak orang menangis.
Usai atau sedang membaca sebuah cerita, saya pun kadang menangis, sebuah tindakan yang menurut beberapa lelaki adalah sebuah tingkah memalukan. Pengalaman membaca komik Doraemon sewaktu sekolah dasar tentu tidak ada kaitannya dengan isi karya yang membuat saya harus menangis.Â
Seorang guru yang baik hati, waktu melihat saya membaca komik dalam ruangan sewaktu pelajaran berlangsung, terpaksa harus mengambil buku itu dari tangan saya, dan justru tindakannya itulah yang membuat saya sedih.Â
Saya bersedih bukan karena isi komiknya, namun karena, seolah-olah, saya dijauhkan dari dunia yang begitu membahagiakan. Guru yang baik itu membawa pulang ke rumahnya komik Doraemon itu, dan komik itu telah hilang sewaktu saya tanya seminggu kemudian.
Lain halnya dengan dua buku (novel) yang saya baca beberapa tahun kemudian. Pertama adalah Kekaisaran Langit 1 dan 2 karya Linda Ching Sledge. Membaca dua buah seri novel ini bagi seorang anak sekolah menengah pertama, tentu membutuhkan kesabaran.Â
Satu hal yang membuat saya tetap sabar adalah karena soal terbangkitkannya (wow) perasaan saya, tentang berbagai hal yang dialami dalam novel. Saya paham bahwa perang akan menghilangkan kebahagiaan orang-orang, seperti yang digambarkan dalam novel itu, tapi novel itu tentu tidak hanya bicara soal perang.Â
Ada juga cinta. Dan tumbuhnya rasa antara Rulan dan Pao An (mudah-mudahan nama cowok ini betul adanya) membangkitkan rasa sedih sekaligus nyaman, lantaran kisah hidup sang cowok yang penuh dengan perjuangan dan kesengsaraan. Novel kedua ialah Taiko karya Eiji Yoshikawa (novel yang sangat menginspirasi saya untuk tiap minggu tetap ke gereja).Â
Waktu itu saya hanya membaca empat seri karena tidak ada seri sambungannya. Saya menghabiskannya sewaktu saya ke Kota Kupang, ibukota Provinsi NTT tercinta. Dan bagaimana rasa sedih dan suka bisa dimunculkan dalam novel ini? Saya kesulitan merangkumnya, tapi alasan sederhananya, karena si Hideyoshi, manusia berwajah kera, berhasil menjadi Taiko, penguasa tunggal negeri Jepang.Â
Dari mana asal Hideyoshi? Dia pemuda desa miskin yang miskin, dan karena perjuangannya, dia mampu menjadikan lawan menjadi kawan, musuh menjadi sahabat, dan mampu melalui berbagai tantangan dalam masa-masa perang. Novel ini memenuhi seluruh hayalan  idealku tentang perjuangan seorang anak dalam kehidupan nyata.
Beberapa novel yang saya baca kemudian tentu memiliki peran serupa: membangkitkan perasaan! Orhan Pamuk mungkin menjadi seorang pengarang yang sangat bagus dalam memekarkan perasaan-perasaan kita di dalam membaca karya sastra. Atau V.S Naipaul dalam Sepetak Rumah untuk Tuan Biswas.Â
Novel ini menyimpan segala sesuatu, segala hal yang saya rasakan dan bayangkan, di dalam sebuah buku ataupun kehidupan nyata. Membaca novel ini seperti membaca salinan kampung halaman bersama budaya-budayanya.
Atau, seperti sewaktu membaca Kebangkitan karya Leo Tolstoy. Dan mungkin di sini, saya mengalami kejadian yang memalukan. Saya membaca buku itu, dan sampai pada halaman kesekian, saya menemukan beberapa kejadian yang ditulis hanya dalam beberapa paragraf. Adegan hanya dalam beberapa paragraf itu sangat sedih, membuat saya harus mengelap air mata di samping beberapa perempuan yang lagi sibuk membaca.
Tapi apakah ada kegunaan dari kegiatan-kegiatan seperti itu? Apakah ada kegunaan dari upacara tangis-menangis hanya karena membaca beberapa paragraf sebuah novel? Apakah ada kegunaan dari atraksi tertawa, lantaran mendapatkan kisah lucu dalam sebuah cerita?Â
Mungkin secara praktis, kegunaan buku dan membaca tidak seperti sebuah bom yang secara praktis mampu menghancurkan sebuah kota. Membaca buku karya fiksi juga tidak membuat anak-anak NTT akan kenyang dengan sendirinya. Karya fiksi memang tidak mewakili kegunaan-kegunaan praktis seperti itu.
Tapi satu hal yang pasti, semua hal yang dikisahkan pengarang dan kemudian dibaca oleh pembaca, saya ulangi, semua hal yang ditulis oleh pengarang, akan menjadi milik pembaca. Kita bertambah kaya dengan semua hal itu, dan bisa menjadi, barangkali, sesuatu yang berharga suatu hari kelak.Â
Semua nilai dan kejadian yang dipikirkan, ditulis, dihapus, ditulis lagi, oleh pengarang selama berbulan-bulan dan bertahun-tahun, akan menjadi milik pembaca. Semua nilai dalam karya itu, mudah-mudahan, akan meresap dalam relung hati pembaca, dan menjadi harta kekayaan pembaca.Â
Tanpa teresapnya semua hal dan nilai yang tergambarkan dalam cerita itu, mungkin lebih baik kita tidak usah membaca. Karena, membaca itu sebuah pekerjaan yang membuang waktu. Kalau tidak banyak berguna, tinggalkan saja.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI